Monday 9 June 2008

STRATEGI DAKWAH

STRATEGI DAKWAH
OLEH: ABDUL BASIT
Dakwah yang berarti ajakan, seruan, dan panggilan ke jalan Allah merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Istilah dakwah begitu akrab, familiar dan menyatu dalam diri masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, istilah dakwah ini dalam tataran aplikasinya terjadi proses pemaknaan yang beragam. Ada yang memaknai dakwah dalam arti luas, yakni dakwah adalah Islam itu sendiri. Ada juga yang mengartikan dakwah secara sempit, yakni dakwah adalah proses penyampaian Islam (tabligh).
Perbedaan pemahaman terhadap dakwah akan berimplikasi pada strategi dakwah yang akan diterapkan. Bagi mereka yang memaknai dakwah dalam arti luas, strategi apa pun yang dikembangkan untuk kepentingan Islam diklaim sebagai strategi dakwah. Kelemahannya, strategi dakwah menjadi amat luas dan seluruh lini kehidupan menjadi bagian dari dakwah. Implikasinya, aktivitas dakwah menjadi tidak fokus dan ada kesulitan untuk mengevaluasi hasil yang dicapai. Demikian juga, adanya pemahaman yang terlalu sempit tentang makna dakwah akan berimplikasi pada strategi dakwah yang bertumpu pada penyampaian dakwah secara lisan saja.
Untuk menjembatani perbedaan pemahaman dakwah tersebut, diperlukan adanya pemahaman bersama tentang hakekat dari dakwah itu sendiri. Pertama, di dalam Al-Qur’an surat Fushshilat (41) ayat 33 dinyatakan bahwa dakwah merupakan proses mengajak baik dalam bentuk lisan maupun amal. Kedua, dalam surat an-Nahl (16) ayat 125 dakwah perlu dilakukan dengan menggunakan strategi atau manajemen yang rapih dan terorganisir, yakni metode yang sesuai dengan kebutuhan obyek dakwah. Ketiga, dalam al-Qur’an surat al-Imran (3) ayat 110 dinyatakan bahwa dakwah memiliki tujuan yang jelas yakni membebaskan manusia dari berbagai hal yang menghambat kehidupannya, amar ma’ruf nahi munkar, dan beriman kepada Allah SWT.

Strategi Dakwah Islam
Dalam keilmuan dakwah, ada dua strategi yang dikembangkan dalam penyebaran dakwah Islam yaitu strategi tawsi’ah (perluasan) dan tarqiyah (peningkatan). Strategi tawsi’ah dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah umat Islam. Dalam hal ini dakwah dilakukan kepada orang-orang yang belum memeluk Islam. Sedangkan strategi tarqiyah diarahkan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan orang yang telah memeluk Islam.
Jika dicermati dari berbagai aktivitas dakwah yang ada, nampak sekali bahwa orientasi strategi dakwah yang dilakukan selama ini lebih mengarah pada strategi tarqiyah. Strategi ini sebenarnya tidak ada salahnya, bahkan amat dibutuhkan. Indonesia yang mayoritas beragama Islam dilihat dari kualitas keislamannya masih rendah. Betapa banyak kita menemukan orang yang menyatakan diri Islam (baca: dalam KTP), tetapi sangat minim dalam mengamalkan ajaran Islam. Demikian juga, banyak praktek-praktek keberagamaan yang dicampurbaurkan antara ajaran Islam dengan tradisi, yang akhirnya menimbulkan adanya sinkritisme. Belum lagi ditambah dengan mereka yang menyatakan dirinya muslim tetapi mengamalkan ajaran-ajaran yang bersifat kebatinan.
Kondisi demikian tentunya tidak terlepas dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Menurut catatan sejarah, Islam masuk dan berkembang di Indonesia pada abad ke-14, jauh setelah Islam mengalami kemunduran. Selain itu, Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Gujarat, India yang notabene kental dengan tradisi sufisme. Akibatnya, Islam yang berkembang di Indonesia masih dalam tataran kulit luar dan parsial. Oleh karenanya, strategi dakwah tarqiyah masih amat dibutuhkan.
Meskipun demikian, strategi tersebut perlu dilakukan evaluasi sehingga tujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dapat tercapai. Di kalangan masyarakat awam, dakwah lebih banyak ditampilkan dalam bentuk ceramah (keahlian retorika), sehingga ada kesan di masyarakat bahwa dakwah yang berhasil adalah dakwah yang disampaikan dengan bahasa yang humoris. Masyarakat tidak memandang apakah materi yang disampaikan itu berkualitas, bahkan masyarakat tidak tahu apakah materi yang disampaikan itu dapat merubah dirinya. Sebaliknya, da’i pun terkadang tidak peduli apakah masyarakat yang didakwahkannya itu sedang lapar, sesuai dengan background masyarakat atau tidak, dan sebagainya.
Selain itu, materi-materi yang disampaikan dalam dakwah selama ini masih berkisar pada tabsyir dan tandzir, memberi kabar gembira dan menakutkan atau dengan bahasa lain masih berputar pada surga dan neraka. Amat minim, da’i yang menyampaikan materi-materi yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat, kehidupan berbangsa dan bernegara, peningkatan diri, dan materi-materi yang up to date dan kontekstual.
Jika orientasi dakwah kita masih didominasi oleh keahlian retorika dan berputar pada pembahasan surga dan neraka, niscaya umat Islam tidak akan mengalami kemajuan. Kesulitan ekonomi akibat kenaikan harga BBM seharusnya menjadi keprihatinan bersama dari umat Islam. Umat Islam yang mampu tidak bisa tinggal diam melihat saudaranya sesama muslim hidup dalam kesengsaraan atau kelaparan. Dalam konteks ini, dakwah perlu diorientasikan pada peningkatan ekonomi umat. Para aktivis dakwah dapat membentuk lembaga dakwah yang profesional dalam mengelola potensi ekonomi umat sehingga melalui lembaga dakwah tersebut dikembangkan beberapa program peningkatan ekonomi umat. Dengan meningkatnya ekonomi umat diharapkan umat Islam terhindar dari apa yang dikatakan oleh Nabi “kada al-fakr an yakun kufr” (kefakiran atau kemiskinan dapat menimbulkan kekufuran).
Selanjutnya, dakwah juga bisa diorientasikan pada peningkatan rasa tenang dan tentram bagi umat Islam. Saudara-saudara kita yang berada di rumah sakit, panti asuhan dan di lembaga pemasyarakatan sangat membutuhkan sentuhan dakwah. Mereka gelisah dan bahkan ada yang sedang jauh dengan Tuhan. Karenanya dibutuhkan orang-orang yang profesional untuk memberikan bimbingan, konseling, dan terapi keagamaan. Penulis terharu ketika Pimpinan lembaga pemasyarakatan di Nusakambangan Cilacap berkata kepada penulis “mana para aktivis dakwah atau umat Islam yang mau terlibat dalam kegiatan dakwah di Lembaga pemasyarakatan Nusakambangan, padahal dari agama lain hampir setiap hari melakukannya”.
Dengan demikian, orientasi strategi dakwah tarqiyah perlu didekatkan dengan kebutuhan dasar dari audiens (masyarakat yang menjadi obyek dakwah). Dakwah perlu melakukan pemetaan dan penelitian tentang kebutuhan umat. Hasil dari pemetaan dan penelitian dapat dimanfaatkan untuk melakukan berbagai bentuk kegiatan dan amal. Dakwah bisa dilakukan dengan lisan, tulisan, tindakan, keteladanan, seni, dan sebagainya. Semuanya diarahkan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Adapun orientasi strategi dakwah yang bersifat tawsi’ah (perluasan) belum banyak dilakukan. Perlu ada peningkatan yang lebih masif dan terencana. Mengingat Islam sampai hari ini dikesani sebagai Islam yang tidak ramah dengan lingkungan, Islam yang masih melanggar Hak Asasi Manusia, Islam yang identik dengan kekerasan, dan berbagai penilaian pejoratif lainnya. Penilaian ini tentunya menyudutkan umat Islam, yang pada akhirnya umat di luar Islam tidak simpati dan tidak tertarik untuk masuk Islam.
Dakwah perlu meluruskan pemahaman umat di luar Islam dan memperkenalkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Langkah pertama yang mesti dilakukan adalah mengajak seluruh umat Islam untuk menampilkan diri baik dalam bentuk perkataan, sikap, dan perbuatan yang mencerminkan nilai-nilai Islam. Umat Islam perlu menunjukkan sikap ramah dan bersahabat serta tidak anarkis, menjaga lingkungan dan tidak merusak alam, bekerja keras, tepat waktu, disiplin, dan sebagainya. Dengan menampilkan hal-hal positif seperti disebutkan di atas, umat di luar Islam akan menunjukkan simpatinya dan tertarik untuk memeluk Islam.
Kedua, umat Islam dapat memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi untuk mensosialisasikan ajaran Islam dan melakukan berbagai aktivitas dakwah. Umat Islam perlu menulis dan membuat karya-karya yang dapat dipublikasikan dalam dunia internasional baik dalam bentuk buku, majalah, karya seni atau bentuk yang lainnya. Tujuannya agar masyarakat internasional dapat mengenal Islam lebih luas dan komprehensif.
Ketiga, lembaga-lembaga dakwah di tingkat lokal, regional, nasional, dan internasional perlu melakukan tindakan-tindakan konkrit dalam meningkatkan kualitas dan mensejahterakan umat serta memiliki keberpihakan pada kepentingan umat Islam yang lebih luas.
Umat Islam tidak bisa berpangku tangan untuk mengharapkan simpati dan dukungan dari orang lain, melainkan harus ada upaya yang maksimal dan profesional dalam mengembangkan dakwah Islam. Karenanya dua strategi dakwah yang penulis uraikan di atas perlu terus menerus diupayakan secara seimbang dan berkesinambungan serta terencana dengan baik.
Wallahu a’lam bi al-shawab