Sunday 21 September 2008

PESAN SOSIAL AL-QUR'AN

Oleh: Abdul Basit

Bulan ramadlan merupakan bulan yang penuh berkah. Salah satunya disebabkan karena pada bulan ini Allah swt menurunkan al-Qur’an yang didalamnya berisi petunjuk-petunjuk yang dapat membawa keberkahan pada manusia, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 185 “bulan ramadlan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”.
Untuk dapat menikmati keberkahan yang diberikan oleh Allah melalui ajaran yang disampaikan oleh Al-Qur’an, maka tugas manusia adalah menggali dan memahami maksud-maksud yang terkandung dari pesan yang ada di dalam al-Qur’an.
Ayat yang pertama kali diturunkan, surat al-Alaq ayat 1-5, memerintahkan kepada manusia untuk membaca. Jika makna ini ditafsirkan lebih luas, manusia diperintahkan untuk mengembangkan pendidikan. Pendidikan menjadi kunci sukses bagi individu maupun bangsa dalam meraih kebahagiaan. Melalui pendidikan, manusia dapat mengembangkan kreativitas, meningkatkan wawasan, memiliki keahlian, dapat menggali potensi diri, dan berbagai manfaat laiinya.
Dalam realitas, kita dapat menyaksikan betapa banyak negara-negara yang maju disebabkan karena mereka telah mempersiapkan manusianya melalui proses pendidikan yang berkualitas. Sebaliknya, banyak negara yang tidak menginvestasikan di bidang pendidikan mengalami kehancuran atau menjadi negara-negara yang terbelakang.
Selanjutnya, dalam ayat-ayat yang diturunkan pada masa awal, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk memperjuangkan misi kemanusiaan. Al-Qur’an tidak menganjurkan untuk memberantas berhala, patung-patung atau sesembahan kaum Arab. Justru enam surat al-Qur’an yang paling awal diturunkan (al-lahab, al-Humazah, al-ma’un, al-takatsur, al-layli, dan al-balad) menyinggung masalah keserakahan terhadap kekayaan dan ketidakpedulian terhadap orang-orang yang menderita.
Surat al-Lahab, yang turun dalam urutan ketiga, disinggung bahwa harta kekayaan dan usaha seseorang sama sekali tidak akan menyelamatkannya dari hukuman di hari akhirat (QS. 111:2-3). Surat al-Humazah, yang turun dalam urutan keenam, dengan keras mengingatkan akan nasib celaka bagi mereka yang dengan serakah menumpuk-numpuk kekayaan dan menganggap kekayaannya itu bisa mengabadikannya (QS. 104:1-4). Surat al-Ma’un, yang turun dalam urutan ketujuh, mengatakan bahwa orang-orang yang tidak memperdulikan penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dikualifikasi sebagai orang-orang yang membohongi agama (QS. 107:1-3).
Demikian juga, surat al-Takatsur yang turun dalam urutan kedelapan, memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang asyik berlomba-lomba dalam kemewahan dan kekayaan (QS.102: 1-2). Surat al-Layl yang diwahyukan dalam urutan kesepuluh, diberikan kabar baik terhadap mereka yang suka memberi dan sebaliknya kabar buruk bagi mereka yang kikir dan bakhil (QS. 92: 5-10). Terakhir surat al-Balad, yang diturunkan dalam urutan kesebelas, menyinggung keengganan manusia memberikan bantuan kepada sesamanya yang hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan (QS. 90: 10-17).
Untuk mencapai misi kemanusiaan tersebut, al-Qur’an mengajarkan kepada manusia untuk senantiasa merubah dan memperbaiki mentalitas dirinya. “Allah tidak akan merubah suatu kaum sehingga kaum itu sendiri yang merubah dirinya” (QS. 13:11). Langkah terbaik adalah manusia dianjurkan untuk senantiasa mensucikan dirinya dengan cara ingat kepada Allah dan melaksanakan shalat atau dalam bahasa lain manusia perlu menghadirkan Allah dalam dirinya.
Dengan menghadirkan Allah dalam diri manusia, secara mental manusia lebih siap untuk menghadapi perubahan apapun. Manusia tidak akan menipu dirinya, keluarga, masyarakat, dan bangsa karena keberadaannya senantiasa diawasi oleh Allah. Bahkan, dengan kesadaran akan adanya Allah dalam dirinya, manusia akan memiliki semangat (ghiroh) dan optimisme dalam menjalani hidup. Manusia terus berjuang untuk meningkatkan prestasi dan kemajuan karena didalamnya tertanam harapan yang besar bahwa dia kelak akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah yang memiliki alam semesta ini atas apa yang telah diusahakan.
Perubahan lain yang diajarkan al-Qur’an agar misi kemanusiaan berjalan dengan baik yaitu perlunya perubahan secara kultur dan sistem kemasyarakatan. Kultur yang ada pada masyarakat terbentuk dari dua komponen utama yaitu pola pikir dan perilaku. Dua hal ini yang banyak mendapatkan sorotan dari al-Qur’an agar manusia mau merubahnya sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Pola pikir dan perilaku manusia harus dibebaskan dari proses penghambaan dan ketergantungan.
Ketika seseorang sudah menyatakan syahadat tentu dalam dirinya harus dibebaskan dari pola pikir dan perilaku penghambaan dan ketergantungan, baik yang menyangkut akidah maupun muamalah. Karena Islam itu adalah agama pembebasan dari segala macam bentuk penghambaan dan ketergantungan. Disinilah Islam menekankan perlunya kemandirian (enterpreunership) kepada setiap individu muslim. Kemandirian ini perlu dibentuk dan ditanamkan sejak dini melalui proses pendidikan dan pengalaman langsung.
Selain kemandirian, al-Qur’an juga mendorong umatnya untuk bekerja keras (QS. 62:10, 94:7), disiplin dalam memanfaatkan waktu (QS. 103: 1-3), memiliki rencana dalam mendesign masa depan (QS. 59:18), dan berbagai dorongan positif lainnya. Semua dorongan tersebut dalam kerangka untuk memacu pola pikir dan perilaku manusia agar menjadi manusia yang terbaik, unggul, dan berkualitas.
Sementara, perubahan sistem kemasyarakatan yang diajarkan al-Qur’an dan dipraktekkan oleh Rasulullah adalah membangun sinergi antara state (penguasa), privat sector (konglomerat), dan civil society (masyarakat). Di zaman Rasulullah, ada dua struktur masyarakat yang menguasai sistem kemasyarakatan yaitu kelompok al-mala (pemuka dan penguasa masyarakat) dan kelompok al-mutrafin (kaum konglomerat). Sedangkan kelompok al-mustad’afin (kaum miskin dan awam) adalah kelompok yang tertindas. Karenanya, perjuangan Rasulullah adalah bagaimana mengangkat orang miskin menjadi berdaya dengan cara melibatkan kelompok al-mala dan al-mutrafin dalam membangun sistem kemasyarakatannya.
Pesan sosial yang diajarkan oleh al-Qur’an tersebut amat relevan dengan ibadah puasa yang sedang kita laksanakan sekarang ini. Titik relevansinya bukan hanya al-Qur’an diturunkan pada bulan ramadlan, melainkan juga pada nilai sosial yang terkandung dalam ibadah puasa. Puasa yang merupakan latihan untuk mensucikan diri, pada dasarnya mengajarkan umat Islam untuk memiliki rasa tanggung jawab sosial. Rasulullah mengajarkan agar dalam ibadah puasa kita dianjurkan untuk mengeluarkan zakat dan memperbanyak shadaqah. Maksudnya, umat Islam perlu mensinergikan antara kesadaran spiritual dengan tanggung jawab sosialnya. Kesadaran spiritual berhimpitan erat dengan tanggungjawab sosial. Semakin tinggi kesadaran spiritual (keberagamaan), mestinya makin tinggi kualitas kemanusiaannya.
Untuk dapat mengaplikasikan pesan sosial dari al-Qur’an pada bulan ramadlan ini, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, yaitu: Pertama, kebiasaan tadarus al-Qur’an yang dilakukan oleh umat Islam hendaknya ditingkatkan lebih jauh lagi dengan cara melakukan kajian-kajian terhadap kandungan al-Qur’an. Tadarus al-Qur’an baik untuk meningkatkan kesucian dan kedekatan pembacanya dengan Allah. Akan lebih baik lagi manakala apa yang dibaca tersebut dapat dipahami sehingga dapat menjadi titik awal untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sosial.
Kedua, pesan sosial al-Qur’an perlu terus menerus disosialisasikan kepada masyarakat sehingga muncul kesadaran bahwa tanggung jawab sosial itu penting untuk kemajuan suatu bangsa. Apalagi dalam bulan ramadlan ini ada moment untuk memperingatinya yaitu peringatan nuzulul Qur’an. Moment ini semestinya membahas al-Qur’an terkait dengan fungsi sosialnya bagi manusia. Terkadang muballigh/da’i hanya mengapresiasi al-Qur’an dalam teologis yang jauh dari kehidupan manusia sehari-hari.
Ketiga, sekecil apapun pesan sosial al-Qur’an hendaknya umat Islam dapat mewujudkannya secara optimal dalam kehidupan sehari-hari. Seperti penghimpunan zakat dan shadaqah yang banyak dilakukan oleh umat Islam pada bulan ramadlan ini hendaknya dikelola dengan baik agar kepercayaan umat tinggi terhadap pengelola zakat tersebut.
Akhirnya, penulis berharap mudah-mudahan bulan ramadlan ini menjadi titik awal bagi masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam untuk dapat mengaplikasikan pesan sosial al-Qur’an bagi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Pesan sosial dari Al-Qur’an tidak hanya berhenti pada saat umat Islam melaksanakan ibadah puasa, tetapi tetap berjalan pada bulan-bulan berikutnya. Amien.
Wallahu a’lam bi al-Shawab

Friday 5 September 2008

SIFAT-SIFAT ORANG YANG BERTAQWA

SIFAT-SIFAT ORANG YANG BERTAQWA
Oleh: Abdul Basit

Umat Islam berbahagia memiliki bulan seperti bulan ramadhan. Pada bulan ini Allah banyak memberikan keberkahan, hikmah, manfaat, dan pengalaman yang sulit untuk digambarkan dan diprediksikan. Sangat disayangkan apabila pada bulan yang suci dan mulia ini dilewatkan begitu saja, tanpa diisi dengan kegiatan-kegiatan atau amaliah ramadlan..
Perintah melaksanakan Ibadah puasa pada bulan ramadlan dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183 “wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar supaya kamu bertaqwa”. Dalam ayat ini dinyatakan secara jelas bahwa tujuan utama dari ibadah puasa, yakni menjadi orang-orang yang bertaqwa. Dalam hal ini, kata taqwa menjadi kata kunci yang harus dipahami agar kita dapat mengambil pelajaran dan dapat menerapkan hasil didikan puasa dalam kehidupan kita sehari-hari.
Secara bahasa istilah taqwa biasa diartikan dengan takut. Kemudian secara istilah para ulama mendefinisikan taqwa adalah melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya Dari arti dan definisi tersebut diatas, nampak begitu luas dan sangat umum sehingga sulit untuk menggambarkan seperti apakah orang yang bertaqwa itu? dan bagaimana mewujudkannya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara? Hamka, sebagai seorang ulama dan pujangga Indonesia, mengatakan bahwa kata taqwa jangan selalu diartikan takut, sebab takut hanyalah sebagian arti kecil taqwa.Dalam kata taqwa terkandung makna cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, berani, dan sebagainya. Intinya taqwa adalah Pertama, pelaksanaan iman dan amal shaleh. Kedua, memelihara hubungan dengan Tuhan, bukan saja karena takut, melainkan lebih dari itu, karena kesadaran diri sebagai hamba Allah.
Untuk memperjelas makna taqwa yang sesungguhnya kita perlu mengkaji dan memahami dari ayat-ayat al-Qur’an yang untuk pertama kalinya menggunakan kata taqwa itu sendiri. Istilah taqwa dengan kata-kata jadiannya di dalam al-Qur’an seluruhnya berjumlah 242 kali, 102 ayat turun di kota Mekkah dan 140 ayat turun di kota Madinah. Dari sejumlah ayat tersebut dapat dipetik beberapa sifat yang harus dimiliki oleh orang yang bertaqwa, yaitu:

1. Memiliki kesadaran diri yang tinggi.
Sifat ini diturunkan dari ungkapan al-Qur’an yang selalu menggandengkan kata taqwa dengan kata iman. Seperti yang terdapat di dalam surat al-Baqarah ayat 2-4, yang terjemahannya sebagai berikut:
“Artinya: Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”.
Dari ayat ini jelas bahwa keimanan merupakan kekuatan (energi) yang bersumber dari dalam diri seseorang untuk melakukan kegiatan atau perubahan. Wujud konkret dari keimanan berupa kesadaran. Kesadaran akan arti pentingnya kehadiran Tuhan dalam dirinya, melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, percaya kepada kitab-kitab, dan percaya kepada hari akhir. Kesadaran inilah yang terus menerus membingkai perilaku seorang muslim baik pada saat berada di Masjid, di rumah, di tempat kerja, di pasar, dan diberbagai aktivitas kehidupan lainnya.
Kesadaran merupakan unsur terpenting di dalam kehidupan seseorang. Segala aktivitas atau kegiatan sehari-hari yang kita lakukan tidak akan memiliki makna manakala tidak dibangun dari adanya kesadaran yang muncul dari dalam diri. Kita melaksanakan puasa bukan hanya menggugurkan kewajiban sebagai seorang muslim, melainkan karena di dalam diri kita ada kesadaran bahwa puasa itu penting bagi kehidupan. Kita tahu bahwa kebersihan itu penting bagi diri kita, keluarga, dan lingkungan. Tetapi jika masing-masing individu tidak menyadari tentang hal tersebut, maka sulit tercipta keluarga, lingkungan, dan kota yang bersih. Demikian pula, kita tahu ketertiban dan kedisiplinan itu penting, tetapi jika tidak diimbangi dengan kesadaran sulit akan tercipta lingkungan dan masyarakat yang tertib dan disiplin.
Oleh karena itu, melalui didikan puasa ini diharapkan tingkat kesadaran kita semakin meningkat sehingga apa-apa yang telah dicapai oleh pemerintah daerah bersama masyarakat selama ini dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya dan sekaligus dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi. Selain itu, dengan kesadaran yang tinggi pula kita dapat menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini dengan damai dan harmonis sesuai dengan cita-cita yang diinginkan oleh kita bersama

2. Mampu mengontrol dirinya.
Sifat yang kedua dari orang yang bertaqwa adalah mampu mengontrol diri, terutama dari perbuatan amarah. Hal ini sejalan dengan firman Allah di dalam surat al-Imran ayat 133-134, yang artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa salah satu sifat orang yang bertaqwa adalah mampu menahan amarahnya. Banyak kejadian-kejadian yang dapat merusak baik pada dirinya, keluarga, maupun pada masyarakat disebabkan karena mereka tidak mampu menahan amarahnya. Secara individu orang yang suka marah dapat menimbulkan penyakit seperti jantung, darah tinggi, diabetes, dan rusaknya pencernaan. Di dalam keluarga, orang yang suka marah dapat mempengaruhi kehidupan keluarga yang keras dan dapat merusak hubungan keluarga. Selanjutnya di tengah-tengah masyarakat sifat amarah ini apabila dikembangkan dapat merusak lingkungan dan hubungan sosial. Oleh karena itu di dalam hadits Nabi menyatakan bahwa orang yang suka marah adalah orang yang mendapatkan murka dari Allah sebagaimana sabdanya: ”Apa yang bisa menyelamatkanku dari murka Allah? Rasulullah bersabda Jangan Marah” (H.R. Thabrani).
Dalam hadits lain Nabi mengatakan yang artinya“siapakah orang yang paling kuat diantara kamu, para sahabat menjawab yaitu seorang yang tidak bisa dibanting (dijatuhkan), Rasulullah menjawab: bukan, orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika sedang marah (H.R. Muslim dan Abu Dawud).
Puasa merupakan media yang efektif untuk mendidik kita menahan amarah. Melalui ibadah puasa hawa nafsu kita dikekang sehingga keinginan-keinginan untuk marah dapat dihindari. Didikan puasa ini hendaknya dapat kita terapkan pada bulan-bulan berikutnya setelah ibadah puasa. Kekerasan-kekerasan yang terjadi di masyarakat selama ini dapat dikurangi manakala kita sebagai bagian dari anggota masyarakat mampu mengontrol diri kita dari sikap marah. Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini, khatib menghimbau agar dalam proses menyalurkan aspirasi dan keinginan hendaknya diimbangi dengan sikap yang bijak dan demokratis, hindari perkataan-perkataan dan sikap-sikap yang dapat menimbulkan marah, sehingga kita dapat terhindar dari murka dan azab Allah.

3. Memiliki kesadaran dan keahlian sosial.
Sifat ketiga dari orang yang bertaqwa adalah memiliki kesadaran dan keahlian sosial. Di dalam ayat al-Qur’an banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang perlunya dibangun kesadaran dan keahlian sosial. Dalam hal ini, khatib hanya menggambarkan tiga keahlian sosial yang mesti dimiliki oleh orang yang bertaqwa, yaitu:
Suka menolong orang lain.:
Sikap ini diturunkan dari kata taqwa yang terdapat di dalam surat al-Maidah ayat 2: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
Ayat ini mengajarkan secara jelas agar orang yang bertaqwa memiliki sikap suka menolong orang lain. Karena itu ibadah puasa melatih kita sebagai umat Islam supaya memiliki sikap tolong menolong. Kita dibiasakan pada siang hari untuk lapar agar kita bisa memiliki sikap empati kepada saudara-saudara kita yang fakir dan miskin. Mereka (fakir dan miskin) di dalam kehidupannya hampir setiap hari merasakan kelaparan dan kekurangan. Sebagai seorang muslim dan bertaqwa apa rela dan tidak terketuk hati kita melihat saudara-saudara kita yang kelaparan, sementara kita dapat bersenang-senang? Apalagi pada akhir-akhir ini banyak sauadara-saudara kita yang mendapatkan musibah baik bencana alam, tsunami, wabah penyakit, dan sebagainya. Untuk itulah sikap untuk berbagi perlu terus dipupuk dan dikembangkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
b. memiliki sikap persamaan
Dalam surat al-Hujurat ayat 13 Allah menyatakan yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu…(Q.S. al-Hujurat ayat 13).
Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa orang yang bertaqwa adalah orang yang memiliki sikap persamaan. Tidak membedakan apakah ia kaya, miskin, bodoh, pinter, jelek, cakep, dan sebagainya. Untuk membangun sikap ini di dalam ayat sebelumnya Allah menjelaskan agar umat Islam jangan suka mengolok-olok, jangan suka mencela, jangan memanggil dengan panggilan yang buruk, jauhi berburuk sangka, jangan mencari-cari kesalahan orang lain, dan jangan suka bergibah (menggunjing orang lain). Apabila semua itu dibangun tentu kita akan terhindar dari adanya konflik antar sesama. Apalagi di kota Bekasi, dimana penduduknya bersifat heterogen (banyak suku), maka sikap persamaan amat penting sekali untuk dikembangkan agar kita benar-benar menjadi orang yang bertaqwa.
c. berlaku adil dalam segala perbuatan.
Berbuat adil merupakan salah satu ciri dari orang yang bertaqwa sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Maidah ayat 8).
Berlaku adil dalam wujudnya bukan berarti semuanya harus sama, melainkan bagaimana menempatkan sesuatu secara proporsional atau pada tempatnya. Hal ini berlaku untuk segala aktivitas, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sikap adil ini akan terbangun manakala di dalam diri kita masing-masing memiliki sikap tanggungjawab artinya bahwa sikap adil tidak hanya menjadi milik para pemimpin, melainkan juga perlu diimbangi dengan sikap tanggungjawab dari orang yang dipimpin. Karenanya sikap adil dan tanggungjawab merupakan dua hal yang dalam pelaksanaannya tidak bisa dilepaskan.
Demikianlah tulisan singkat ini saya sampaikan. Intinya bahwa puasa melatih kita sebagai orang-orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Dengan berbekal taqwa diharapkan kita sebagai umat Islam semakin berkualitas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Wallahu’alam bi al-shawab

Wednesday 3 September 2008

manajemen diri

MANAJEMEN DIRI DALAM AKTIVITAS DAKWAH
Oleh: Abdul Basit

Pendahuluan
Manajemen sebagai ilmu lahir dari dunia Barat, tetapi inspirasi tentang perlunya manajemen dalam berbagai hal bersumber dari Al-Qur’an. Dalam surat al-Hasyr ayat 18
يايهاالذين امنوا اتقواالله ولتنظرنفس ماقدمت لغد واتقواالله ان الله خبير بما تعملون
Allah memerintahkan kita untuk merencanakan masa depan dengan memperhatikan situasi dan potensi diri berdasarkan ajaran Allah menuju pada tujuan keberuntungan jangka panjang dengan penuh kesungguhan dan menyerap sifat-sifat Allah ke dalam diri sumber daya manusia. Perintah Allah tersebut mengisyaratkan tentang pentingnya manajemen dalam kehidupan manusia.
Berkenaan dengan aktivitas dakwah, keberadaan manajemen amat dibutuhkan. Seorang da’i ketika hendak menyampaikan dakwahnya perlu mempertimbangkan kebutuhan dasar dari mad’u baik secara psikologis maupun sosial. Dakwah tidak akan efektif manakala obyek dakwah yang sedang lapar diberikan ceramah oleh seorang da’i. Begitu juga, seorang petani yang membutuhkan modal untuk pengembangan pertaniannya hanya diberikan ceramah-ceramah yang sifatnya teoritis tanpa memberikan solusi langsung. Jika manajemen diabaikan dalam aktivitas dakwah tentu akan berimplikasi pada keberlangsungan dakwah. Aktivitas dakwah akan mengalami penurunan, dakwah akan ditinggalkan oleh umatnya, dan lebih jauhnya agama menjadi mandul atau tidak bisa berperan dalam kehidupan masyarakat.
Manajemen dalam kacamata Barat diartikan sebagai “getting things done through people” (mengupayakan agar sesuatu dapat terlaksana melalui orang lain).[1] Dari pengertian tersebut, manajemen terkait dengan organisasi dan kepemimpinan atau dalam bahasa yang berbeda organisasi amat membutuhkan manajemen dan manajemen membutuhkan peranan dari kepemimpinan. Mengingat tulisan ini tidak dimaksudkan untuk penguatan pada organisasi dakwah seperti yang penulis ungkapkan pada bagian awal, maka manajemen dalam tulisan ini lebih diarahkan pada peran kepemimpinan. Dalam perspektif Islam, seperti yang diungkapkan dalam hadits, setiap individu adalah pemimpin. Hadits tersebut menegaskan bahwa manajemen berawal dari diri sendiri. Tidak seperti pandangan Barat bahwa manajemen muncul karena ada orang lain. Pandangan Islam inilah yang dijadikan titik pijak dalam tulisan ini, yakni bagaimana memanaj diri seorang muballigh atau muballighah sehingga mereka dapat lebih maksimal dalam menjalankan perannya. Sebelum memberikan penjelasan lebih jauh, terlebih dahulu dijelaskan tentang pengertian dakwah sehingga ada persamaan persepsi dalam memahami dakwah.

Pengertian Dakwah
Istilah dakwah merupakan istilah yang diperkenalkan langsung oleh Allah melalui ayat al-Qur’an. Istilah dakwah tersebut bisa bermakna ajakan kepada jalan kebaikan والله يدعوا الى دار السلام (QS. Yunus: 25) dan bisa pula mengajak kepada kejahatan رب السجن أحب الي ممايدعونني اليه (QS. Yusuf:33). Karenanya istilah dakwah biasanya diikuti dengan kata Islam sehingga maknanya menjadi jelas yakni dakwah Islam.
Selain kata dakwah itu sendiri, Al-Qur’an juga banyak memperkenalkan istilah-istilah dakwah yang maknanya berhimpitan dan bahkan sering digunakan sebagai makna dakwah seperti amar ma’ruf nahi munkar, tabligh, taushiyat, nasehat, ta’lim, tadzkir, tabsyir dan tandzir, tanbih, dan sebagainya.
Begitu banyaknya istilah dakwah yang diperkenalkan oleh al-Qur’an, para ulama berbeda-beda dalam menafsirkan makna dakwah. Ada yang memaknai dakwah itu identik dengan Islam itu sendiri artinya setiap aktivitas yang dilakukan oleh umat Islam disebut dengan aktivitas dakwah.[2] Pemahaman ini semakin diperkuat dengan hadits yang mewajibkan bahwa setiap individu memiliki kewajiban untuk berdakwah, seperti hadits riwayat muslimمن رأى منكم منكرا فليغيره بيده فان لم يستطع فبلسانه وان لم يستطع فبقلبه وهو اضعف الايمان" Pemahaman semacam ini memang tidak ada salahnya, hanya saja dalam konteks manajemen dakwah, pemahaman semacam ini memiliki banyak kelemahan. Dakwah menjadi aktivitas yang bersifat natural, kurang memiliki tujuan yang jelas dan lebih jauh lagi dakwah tidak bisa menjadi kajian ilmu. Semua bidang kehidupan (pendidikan, ekonomi, politik, budaya, psikologi, dan sebagainya) menjadi bagian dari dakwah.
Di sisi lain, ada juga pemahaman dakwah yang begitu sempit, dakwah dimaknai dengan tabligh/ceramah saja. Pemahaman semacam ini yang banyak berkembang di masyarakat. Seorang da’i adalah seorang yang pintar bicara. Dengan pemahaman semacam ini tidak heran jika ada orang yang memiliki retorika baik tetapi pemahaman keagamaannya lemah lebih terkenal atau popular dibandingkan dengan seorang yang memiliki kedalaman ilmu agama tetapi kurang memiliki kemampuan dalam retorika. Konsekuensi logisnya akan lahir da’i-da’i karbitan pada era sekarang ini.
Jika dicermati lebih dalam dari ayat-ayat al-Qur’an yang memperkenalkan istilah dakwah, ada tiga unsur penting berkenaan dengan dakwah yaitu:
1. Tabligh, yakni proses penyampaian baik secara lisan maupun tulisan
أبلغكم رسلت ربي وانصح لكم واعلم من الله مالاتعلمون (QS. Al-A’raf ayat 62)
2. Perubahan (change) dan pengembangan (developmental), makna ini diistilahkan dalam al-Qur’an “Ahsanu ‘amala” sebagaimana firman Allah dalam surat Fushilat ayat 33 yang berbunyi: ومن احسن قولا ممن دعا الى الله وعمل صالحا وقال انني من المسلمين dan bisa juga diturunkan dari makna-makna amar ma’ruf nahi munkar yang banyak disebutkan dalam al-Qur’an.
3. Keteladanan. Dalam ajaran Islam, keteladanan diistilahkan dengan akhlak. Akhlak merupakan tugas utama dari Nabi sebagaimana sabda Beliau “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Tugas ini juga menjadi tugas para pengikutnya yang menyatakan dirinya sebagai muslim (QS. Yusuf: 108) dan karenanya mencontoh kepada Rasulullah sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ahzab ayat 21 “sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

Kompetensi Muballigh
Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam menjalankan perannya. Bagi muballigh, kompetensi memiliki kedudukan yang penting karena menjadi prasyarat utama untuk dapat melaksanakan perannya sebagai muballigh. Menurut penulis, paling tidak, ada empat kompetensi utama yang mesti dimiliki oleh seorang muballigh[3] yaitu:
1. Kompetensi Personal
Kompetensi personal berkenaan dengan kepribadian seorang muballigh yang menjadi daya tarik bagi mad’u. Muballigh hendaknya memiliki penampilan yang menarik, bertutur kata yang baik, bersikap dan berperilaku lemah lembut, penyayang, penuh perhatian, demokratis, dan tawadlu.
2. Kompetensi Sosial
kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan seorang muballigh dalam bergaul dengan sesamanya. Muballigh hendaknya memiliki keahlian social dengan cara menumbuhkan sikap simpati dan empati kepada sesamanya. Sikap ini ditunjukkan dengan cara berprasangka baik dengan mad’u, sikap saling menyayangi, saling tolong menolong, saling menasehati, bermusyawarah, mau berbaur dengan masyarakat, dan memiliki toleransi yang tinggi.[4]
3. Kompetensi Substantif
Kompetensi substantif berkenaan dengan kemampuan seorang muballigh dalam penguasaan terhadap pesan-pesan atau materi-materi yang akan disampaikan. Dalam hal ini, seorang muballigh harus memiliki pengetahuan dan wawasan yang mendalam tentang Islam baik yang menyangkut akidah, syari’ah maupun muamalah.
4. Kompetensi Metodologis
kompetensi metodologis berkenaan dengan kemampuan dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah secara efektif dan efisien.

Upaya Peningkatan Kompetensi Muballigh
Upaya peningkatan kompetensi muballigh yang bersifat personal dan social dapat dilakukan secara langsung oleh muballigh itu sendiri dengan cara menumbuhkan kesadaran pada dirinya bahwa muballigh merupakan seorang prominent figure (tokoh terkemuka) di masyarakat karenanya segala tutur kata, sikap, dan perilakunya menjadi sorotan masyarakat. Menumbuhkan kesadaran diri dapat dilakukan dengan cara muhasabah (diri cermin)[5], meminta kepada orang lain yang dapat dipercaya untuk menilai diri muballigh seperti yang dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah dengan membentuk dua saudara, atau mengikuti training seperti yang dilakukan oleh ESQ Training.
Demikian juga dengan peningkatan kompetensi yang bersifat substantif hendaknya diupayakan secara terus menerus. Muballigh jangan merasa puas dan cukup dengan keilmuan yang dimilikinya sekarang. Ilmu senantiasa mengalami perkembangan sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat yang notabene mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman dan situasi yang terus berubah dari waktu ke waktu, bahkan dari menit ke menit. Waktu era orde lama, memakai dasi merupakan perbuatan yang dilarang oleh sebagian umat islam karena dianggap meniru perilaku orang Barat (Belanda), tetapi pada era sekarang banyak Kyai atau ustadz yang banyak memakai dasi dalam kegiatan-kegiatan dakwah. Contoh lain, zaman Rasulullah belum ada yang namanya asuransi. Sekarang manusia butuh asuransi untuk menjamin kehidupan diri dan generasinya menjadi lebih baik, maka diadakan asuransi.
Apalagi melihat kecenderungan masyarakat sekarang ini dan pada masa depan yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan menggunakan cara berfikir rasional dan pemanfaatan teknologi tinggi. Dalam hal ini, muballigh tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu yang berbasiskan agama saja, melainkan juga ilmu-ilmu dasar yang mendukung kebutuhan hidup manusia seperti ilmu ekonomi, politik, psikologi, dan sosiologi. Muballigh dituntut bagaimana mengaitkan ilmu-ilmu agama yang dimiliki dengan ilmu-ilmu lainnya atau mengaitkan dengan tema-tema yang sedang up to date seperti tema demokrasi, HAM, good governance, masyarakat madani dan sebagainya. Dengan cara tersebut tidak lagi terkesan muballigh hanya menyampaikan materi-materi dakwah yang tidak jauh dengan surga dan neraka atau mad’u menjadi enggan untuk menghadiri majlis ta’lim/pengajian karena materinya tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan mad’u pada era kekinian.
Sebenarnya untuk mendapatkan materi-materi dasar yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia tidak harus melalui pendidikan formal yang tinggi, tetapi jika memungkinkan memang lebih baik. Muballigh dapat memanfaatkan buku-buku bacaan yang dimiliki oleh anak-anak kita, majalah-majalah, menonton televisi, mendengarkan radio, dan bisa mengikuti forum-forum semacam ini. Walhasil, muballigh dituntut untuk banyak membaca buku/majalah/artikel dan lingkungan sebagai sumber utama dalam menyampaikan pesan-pesan dakwahnya.
Adapun cara meningkatkan kompetensi yang bersifat metodologis dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Peningkatan kemampuan berceramah
Ceramah atau berbicara di depan umum merupakan prasyarat dasar bagi seorang muballigh. Memang setiap orang memiliki kemampuan untuk berbicara di depan umum, tetapi kepandaian berbicara di depan umum tidak dimiliki oleh setiap orang. Kepandaian berbicara membutuhkan latihan dan eksperimen terus menerus. Semakin sering seorang muballigh dilatih dan diterjunkan dalam aktivitas ceramah akan semakin pandai dalam berbicara. Dalam ilmu dakwah, melatih berbicara dikenal dengan khitobah atau dalam ilmu komunikasi dikenal dengan istilah retorika atau public speaking. Retorika merupakan seni berbicara atau menyampaikan pesan secara efektif. Maksud dari efektif adalah penggunaan bahasa yang baik, tujuan atau sasaran tercapai, waktu yang tepat, tempat yang tepat, dan mengesankan. Kepandaian dalam berretorika tidak identik dengan kepandaian dalam membuat humor. Karenanya dalam retorika hal-hal penting yang harus dikembangkan adalah: body language (bahasa tubuh), sistematika pesan, dan intonasi.
2. Mengenal kebutuhan mad’u dengan baik
Sekurang-kurangnya muballigh dalam menyampaikan pesan-pesan harus memperhatikan kebutuhan psikologis dan sosiologis dari mad’u. lebih baik lagi apabila muballigh dapat mengenali karakteristik dari mad’u seperti tingkat pendidikan, ideologi yang digunakan, sistem nilai/tradisi yang dipakai, dan pemahaman keagamaannya. Pengenalan ini dimaksudkan agar apa yang disampaikan oleh muballigh dapat diterima oleh mad’u dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kebutuhan psikologis manusia berupa kebutuhan yang bersifat kognitif dan afektif. Kebutuhan yang bersifat kognitif dapat berupa kebutuhan akan informasi dan kebutuhan untuk menambah keyakinan atau kepercayaan. Sedangkan kebutuhan yang bersifat afektif adalah kebutuhan yang menyangkut emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek baik senang, sedih, takut, malu, dan sebagainya.
Kebutuhan sosiologis adalah kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan rasa aman dapat berupa kebutuhan makan, sandang dan papan. Sedangkan kebutuhan aktualisasi diri dapat berupa pengakuan dari orang lain akan eksistensinya dan kebutuhan untuk dilibatkan dalam berbagai aktivitas masyarakat.
Dalam prakteknya memang terkadang tidak mudah untuk membedakan satu kebutuhan dengan kebutuhan yang lainnya. Yang pasti janganlah muballigh memaksakan materinya kepada seluruh mad’u. Kita perlu menghindari terjadinya da’i kaset artinya materi yang sama diputar dalam beragam obyek. Materi dakwah harus menyesuaikan dengan mad’unya.( خاطب الناس بقدر عقولهم ). Untuk itulah muballigh perlu mengenal kecenderungan masyarakat, situasi dan kondisi, serta waktu menyampaikan. Sebagai contoh, Orang yang terpelajar atau masyarakat perkotaan membutuhkan penguatan keyakinan atau informasi tentang agama yang dijalaninya sehingga tidak bertabrakan dengan kehidupan modernnya, seperti adanya asuransi, pembelian saham, donor ginjal, kehidupan sufi modern, dan sebagainya.
Contoh lain, ketika kita berbicara di depan jama’ah tahlilan dengan jama’ah arisan harus dibedakan baik dari sisi materi, bahasa tubuh maupun intonasi pembicaraan. Demikian juga berbicara di depan orang banyak (di lapangan) dengan berbicara di depan orang yang sedikit (di dalam kelas) harus dibedakan. Orang yang di lapangan cenderung emosional, sedangkan orang yang berada di dalam kelas cenderung rasional. Muballigh juga memperhatikan waktu-waktu atau tanggal-tanggal penting seperti hari HIV/Aids sedunia, hari buruh sedunia, hari kebangkitan nasional, hari pendidikan, hari lingkungan, dan sebagai. Sesuaikan materi-materi yang disampaikan dengan peristiwa-peristiwa yang ada sehingga pendengar merasa dekat dengan kebutuhannya.

Penutup
Demikianlah gambaran singkat untuk meningkatkan kemampuan muballigh/ muballighah. Upaya peningkatan yang disampaikan di atas akan berhasil manakala ada kemauan yang keras dari para muballigh/muballighah dalam meningkatkan diri dan kemampuannya dalam menyampaikan dakwah. Kemauan muballigh/muballighah dalam meningkatkan dirinya akan berimplikasi besar pada peningkatan kualitas umat Islam. Mengingat dakwah yang ada di Indonesia merupakan dakwah yang bersifat peningkatan, bukan dakwah perluasan. Selain itu, masih banyak umat Islam yang masih membutuhkan dakwah. Akhirnya, penulis berharap mudah-mudahan kegiatan semacam ini dapat menjadi pemicu bagi muballigh/muballighah dalam mengembangkan dirinya dan terus berupaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam Indonesia.

Wallahu a’lam bi al-Shawab

[1] Ulumul Qur’an No. 6 Vol. II. 1990, hal. 19
[2] Pendapat ini diungkapkan oleh Hasan Al-Bana, seorang pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir.
[3] Menurut Abdul Munir Mulkhan kompetensi muballigh ada dua yaitu kompetensi yang bersifat substantif dan kompetensi yang bersifat metodologis. Penulis menambahkan dua kompetensi lagi agar lebih jelas dengan cara menurunkan apa yang disebut oleh Mulkhan dengan kompetensi substantif yang meliputi akhlak dan penguasaan materi. Lihat Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, Yogyakarta: SI Press, 2002.
[4] Menurut al-Bayanuni, seorang da’i/muballigh adalah seorang yang احسان الظن بالمسلمين, ان يستر على الناس عيوبهم, ان يخالط الناس حيث تحسن الخلطة ويعتزلهم حيث بحسن الاعتزال, ان ينزل الناس منازلهم ويعرف لأهل الفضل فضلهم, ان يتعاون مع غيره من الدعاة ويشاورهم ويتناصح معهم, lihat Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni, al-Madkhal ila ‘Ilm al-da’wah, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1991, hal. 163-167.
[5] Diri cermin adalah istilah yang diperkenalkan oleh Charles Horton Cooley (1922) dengan istilah looking-glass self dengan cara kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita, dan kita mengalami perasaan bangga atau kecewa orang mungkin merasa sedih atau malu. Lihat Joseph A. Devito, The Interpersonal Communication Book, New York: Longman, 2001, hal. 60