Wednesday 5 November 2008

MEMBACA ULANG MAKNA MEMAKMURKAN MASJID

OLEH: ABDUL BASIT

Di dalam realitas, persepsi umat Islam dalam proses memakmurkan masjid cenderung pada memakmurkan dalam arti fisik. Mereka membangun masjid dengan begitu megah, indah, dan nyaman untuk digunakan. Pemahaman seperti ini memang tidak ada salahnya, tetapi apalah artinya sebuah bangunan megah, sementara orang-orang yang mengisi masjid itu memiliki jiwa yang kropos dan fisik yang lemah. Padahal dalam surat at-taubah ayat 18, Allah menyinggung orang yang memakmurkan masjid adalah orang yang jiwanya kuat dalam arti memiliki keyakinan yang teguh kepada Allah dan hari akhir serta menunaikan shalat. Di samping itu, secara fisik ia juga harus menjadi orang yang kuat dalam hal ekonomi sehingga mampu mengeluarkan zakat untuk menghidupi aktivitas yang ada di dalam masjid.
Dengan demikian, persoalan memakmurkan masjid adalah persoalan bagaimana meningkatkan kualitas dari jamaah masjid itu sendiri. Kualitas yang dimaksud tidak hanya sebatas pada seberapa sering jamaah mengikuti aktivitas di Masjid, melainkan juga pada kualitas kehidupan yang dijalani setiap harinya. Jangan sampai ada jamaah yang rajin datang ke masjid, namun dalam kehidupannya ia tidak bisa makan, kurang peduli kepada sesama, bersikap egois, kurang pendidikan, dan sebagainya.
Untuk itulah persepsi yang harus diubah di kalangan umat Islam yakni pemahaman tentang memakmurkan masjid. Pada era sekarang sudah seharusnya dikembangkan pada pemahaman bagaimana masjid mampu memakmurkan umat Islam, terutama jama’ah di lingkungan masjid. Kehadiran masjid di lingkungan jamaah tidak dijadikan sebagai beban yang dapat memberatkan para jamaah. Justru sebaliknya, masjid dapat memberikan kenyamanan, ketenangan, dan kebahagian bagi para jamaahnya.
Langkah yang dapat ditempuh untuk melakukan perubahan tersebut, yakni: Pertama, membentuk dan memaksimalkan peran dari pengurus masjid. Bagi masjid yang belum memiliki struktur yang jelas perlu kiranya dilakukan pembentukan dan pembuatan aturan yang jelas sehingga masing-masing pengurus mempunyai rasa memiliki dan rasa bertanggung jawab terhadap tugasnya masing-masing. Pembentukan pengurus amat urgen untuk dilakukan. Mengingat masjid memiliki jamaah yang didalamnya terdapat perbedaan-perbedaan baik dari sisi pengetahuan, pemahaman, tingkat religiusitas, status sosial, dan sebagainya. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut diperlukan adanya penggerak, pemersatu, dan pengayom yang dapat menyatukan persepsi di antara para jamaah.
Bagi masjid yang telah ada struktur kepengurusannya tentu perlu dimaksimalkan peran dan fungsinya sebagai ta’mir masjid. Kelemahan yang ada selama ini, pengurus masjid hanya berperan sebagai imam besar di masjid dan sebagai koordinator dalam kegiatan-kegiatan ibadah di masjid. Ke depan yang perlu dikembangkan adalah bagaimana pengurus masjid itu memiliki wawasan yang luas, inovatif, dan kreatif sehingga dalam mengelola masjid mampu mengembangkan dan memaksimalkan potensi yang ada baik potensi yang dimiliki oleh masjid itu sendiri maupun potensi yang ada pada para jamaahnya. Dengan demikian, pengelolaan masjid yang dilakukan oleh pengurus perlu menerapkan manajemen modern yang profesional, akuntable, dan terbuka..
Langkah kedua adalah perlunya pendataan jama’ah masjid baik menyangkut jumlah jama’ah maupun potensi yang dimilikinya. Berkenaan dengan jumlah jama’ah perlu di data dari segi usia, jenis kelamin, pendidikan, mata pencaharian, kecenderungan ormas yang diikuti, dan alamat yang jelas. Sedangkan dari sisi potensi yang perlu diketahui adalah ekonominya, pemahaman keagamaannya, dan status sosialnya. Data-data ini diperlukan agar pengurus masjid ketika ingin memberdayakan jama’ahnya akan mudah melakukannya. Pengurus akan tahu siapa yang dapat membantunya dalam mengembangkan ilmu, siapa yang dapat membantu dalam pengembangan ekonomi, siapa yang dapat membantu dalam sektor keagamaan, dan siapa yang layak untuk dibantu, dan berbagai hal lainnya yang dapat dikembangkan di lingkungan masjid.
Setelah mengetahui data jama’ah, langkah selanjutnya adalah bagaimana mengembangkan kegiatan-kegiatan yang dapat memakmurkan jama’ah. Masjid tidak hanya difungsikan untuk ibadah mahdah saja, tetapi perlu dikembangkan kepada ibadah yang ghairu mahdah. Di zaman Rasulullah saja, masjid difungsikan untuk segala macam aktivitas yang diperlukan seperti mengatur strategi perang, tempat menuntut ilmu, sumber informasi, dan kegiatan lainnya. Apalagi pada era modern ini dimana kehidupan manusia sudah begitu kompleks dan persoalan yang dihadapinya juga semakin banyak. Karenanya masjid dapat dijadikan alternatif untuk pengembangan masyarakat. Jadikan masjid sebagai basis dan media untuk pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam peningkatan kualitas sumber daya manusianya.
Dalam pengembangan kegiatan banyak hal yang bisa dilakukan seperti pendidikan, pelatihan, kajian-kajian ilmiah, kesehatan, perekonomian, jasa, konseling, perpustakaan, pembinaan muslimat, dan sebagainya. Dalam pengembangan kegiatan bisa dilakukan di lingkungan masjid atau dilakukan di masyarakat yang menjadi jama’ah masjid. Maksudnya masjid dapat memberikan modal kepada masyarakat untuk mengembangkan usaha jama’ah atau kerjasama dengan jama’ah dalam mengembangkan pertanian yang dimiliki oleh jama’ah. Pertimbangan dasar yang perlu dijadikan acuan dalam pengembangan kegiatan yakni adanya dukungan, kemauan, dan kepercayaan yang kuat dari jama’ah dan pengurus ta’mir Masjid..
Pada masa sekarang, dalam memakmurkan masjid dibutuhkan kreasi-kreasi yang briliant. Kita akan ketinggalan dan jauh dari kemajuan manakala dalam proses pemakmuran masjid hanya berjalan secara alamiah dan tidak terencana dengan baik. Untuk itulah, pengurus perlu melakukan terobosan dengan cara memaksimalkan potensi yang ada di masjid maupun jama’ah dan melakukan kerjasama baik antar masjid atau dengan ormas dan lembaga-lembaga lain baik pemerintah maupun swasta.
Seiring dengan pengembangan kegiatan-kegiatan yang ada di masjid, pengurus juga dapat membentuk dan mengembangkan lembaga-lembaga fungsional yang dapat dijadikan sebagai media untuk meningkatkan kualitas jama’ah dan dalam kerangka membangun jaringan. Umpamanya, kegiatan yang dikembangkan lebih mengarah pada pemberdayaan petani di lingkungan masjid, maka kita dapat membentuk koperasi petani yang ada di masjid. Koperasi ini selain berfungsi sebagai wadah berkumpulnya para petani, juga bisa dikembangkan sebagai media untuk memberikan informasi berkenaan dengan ekonomi syari’ah, pembinaan etos kerja, pemberian ketrampilan dan sebagainya.
Selain tiga langkah di atas, ada hal lain yang dapat dimanfaatkan untuk merubah persepsi masyarakat tentang cara memakmurkan mesjid, yakni peran dari organisasi Dewan Masjid Indonesia yang menjadi wadah silaturrahim dan wadah untuk pengembangan masjid. Organisasi ini dapat melakukan sosialisasi melalui media tentang arti penting memakmurkan jamaah dan bisa juga melakukan pelatihan-pelatihan bagi pengurus masjid agar lebih kreatif, inovatif, dan professional dalam mengembangkan masjid.
Sebagai catatan akhir, penulis mengingatkan bahwa suatu usaha untuk memakmurkan masjid perlu didukung secara bersama-sama. Karenanya membangun persepsi yang sama dan menjalin komunikasi yang intens antara jama’ah dengan pengurus merupakan kunci utama menuju kesuksesan. Akhirnya, penulis berharap mudah-mudahan, masjid-msajid yang ada di lingkungan umat Islam,dapat berperan sebagai basis dan media untuk memberdayakan masyarakat baik yang bersifat ruhaniah maupun yang bersifat material.

Wallahu a’lam bi al-shawab.