Friday 12 November 2010

AKTUALISASI NILAI-NILAI QURBAN DALAM KEHIDUPAN

Istilah hari raya qurban dalam pelafalan orang Indonesia seringkali disebut dengan istilah hari raya korban. Padahal makna korban lebih identik dengan arti mangsa seperti kata korban kecelakaan, korban bencana. Jika makna ini dikaitkan dengan hari raya idul adha berarti hari dimana harus ada korban yang siap untuk dimangsa, yakni daging. Makna ini menjadi sangat sederhana dan bisa menimbulkan salah tafsir. Jika seorang berkata ”kalbuku sakit”, maksud sebenarnya adalah qalbu (hati) yang sakit, tetapi pengucapannya kalbu, dalam bahasa arab berarti anjing. Oleh karena itu, istilah hari raya korban perlu diluruskan menjadi hara raya qurban, yang berasal dari bahasa arab qaraba yang berarti dekat. Jadi orang yang berqurban adalah orang yang mendekatkan diri kepada Allah.
Mendekatkan diri kepada Allah menjadi kata kunci dan hakekat dari perayaan idul qurban. Pada kata inilah terjadi titik temu antara orang mampu yang berqurban dengan orang tidak mampu yang mendapatkan daging qurban. Mendekatkan diri menjadi hak setiap individu dalam menjalankan ajaran agamanya. Orang yang berqurban tidak akan mendapatkan manfaatnya manakala dirinya jauh dari Tuhannya. Demikian juga, orang yang mendapatkan daging qurban tidak memetik hasilnya apabila dirinya tidak dekat dengan Tuhannya. Firman Allah swt:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Artinya: Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Kabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Kabil). Ia berkata (Kabil): "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa".(Q.S. Al-Maidah: 27)
Dalam mendekatkan diri kepada Allah swt, manusia oleh Allah diberikan potensi besar berupa akal, nafsu dan hati. Akal yang diberikan oleh Allah hendaknya difungsikan secara maksimal, baik dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan, berinovasi dalam memperkaya kehidupan, maupun dalam rangka membangun hubungan dengan Tuhan. Sebagai bangsa yang dianugerahkan sumber daya alam yang berlimpah, sudahkah kita memfungsikan akal kita secara maksimal? Pertanyaan ini perlu kita ajukan dalam diri kita secara terus menerus agar menjadi bahan introspeksi diri. Bangsa yang maju dan bangsa yang besar adalah bangsa yang memfungsikan akal dengan sebaik-baiknya. Indikatornya, bangsa ini adalah bangsa yang cinta dan peduli pada pendidikan masyarakatnya, bangsa yang mampu menggali kekayaan alamnya, dan bangsa yang hidupnya dibangun melalui pola pikir dan perilaku yang rasional.
Meskipun demikian, akal bukanlah satu-satunya alat yang dapat mengantarkan kita pada kebahagiaan yang sejati. Akal manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan. Betapa banyak kita menyaksikan peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini, akal tidak mampu menjangkaunya. Peristiwa tsunami, gempa bumi, dan masalah-masalah gaib merupakan sebagian contoh peristiwa-peristiwa yang sulit dijangkau oleh akal manusia. Pada konteks ini manusia harus mengakui adanya alat diri lain yang perlu diikuti yaitu hati nurani. Hati nurani inilah yang perlu dipedomani agar manusia dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Hati dalam diri manusia menjadi benteng pertahanan. Jika hati ini sakit atau tertutup dengan nilai-nilai kebaikan, maka manusia akan mengalami kerugiaan dan terjerumus dalam kehidupan yang jauh dari Tuhan.
Selain akal dan hati, manusia juga diberikan nafsu. Dengan nafsu manusia berani untuk melawan kejahatan. Dengan nafsu, manusia dapat mengembangkan kasih sayang, dan dengan nafsu juga manusia dapat terjerumus dalam kenistaan. Untuk itulah nafsu yang diberikan Allah pada manusia hendaknya diarahkan pada nafsu yang bersifat positif. Manusia boleh berambisi dalam meraih kesuksesan, pangkat, jabatan, dan berbagai posisi, tetapi ambisi tersebut harus disesuaikan dengan kompetensi, profesionalitas dan moralitas yang baik. Jangan kita mengorbankan diri kita sendiri hanya untuk meraih kesuksesan duniawi yang sifatnya sementara.
Dalam memaksimalkan ketiga alat yang diberikan oleh Allah, kita bisa belajar dari peristiwa qurban yang dilakukan oleh Ibrahim AS. Ibrahim yang dilahirkan dalam lingkungan manusia yang menyembah berhala berupa binatang-binatang dan patung-patung yang terbuat dari bebatuan. Suatu benda yang tidak dapat menghidupkan atau mematikan apalagi menciptakan. Keadaan masyarakat pada saat itu tidak memfungsikan akalnya dengan sebaik-baiknya. Mereka tidak dapat berfikir dengan baik, mengapa patung yang tidak bisa berbuat apa-apa, disembah dan dihormati.
Berbeda dengan masyarakatnya pada saat itu, Ibrahim mencoba memaksimalkan akalnya. Dia memperhatikan dan mengkaji bintang, bulan, matahari, yang pada saat itu dianggap sebagai kekuatan. Melalui penalaran yang matang akhirnya Ibrahim mampu menyimpulkan bahwa benda-benda tersebut bukanlah Tuhan yang memberikan kekuatan. Benda-benda tersebut hanyalah makhluk dan ciptaan-Nya. Akhirnya Ibrahim menemukan Tuhannya. Ia yakin Tuhan Allah sebagai Tuhan yang Esa dan Tuhan yang wajib disembah. Dari pengalaman Ibrahim inilah lahir satu prinsip penting dalam menjalankan agama yakni orang yang beragama harus berangkat dari satu Keyakinan kuat kepada Allah SWT. Keyakinan inilah yang menjadi pondasi dalam menjalani kehidupan keberagamaannya.
Keyakinan Ibrahim ini diuji oleh Allah melalui peristiwa penyembelihan anaknya Ismail. Anak yang diharapkan oleh keluarga Ibrahim cukup lama. Ibrahim sudah tua belum dikarunia anak dari pernikahannya dengan siti sarah. Akhirnya siti Sarah menganjurkan untuk menikahi pembantunya Siti Hajar agar dia memperoleh keturunan. Melalui pernikahan dengan Siti hajar akhirnya Ibrahim memperoleh anak yang bernama ismail, dan tidak berlangsung lama siti Sarah (isteri pertama Ibrahim) mengandung dan melahirkan Ishak as. Ujian utama kepada Ibrahim berupa nafsu. Apakah ibrahim berani untuk mengorbankan anaknya, tegakah ibrahim mengorbankan anaknya demi keyakinannya kepada Allah, siapkah Ibrahim mengorbankan nafsu dirinya untuk mempertahankan anaknya? Nyatanya Ibrahim mampu menyalurkan nafsunya dengan baik, ia berani, punya tekad yang kuat, dan hati yang lapang.
Manusia akan terhalang berhubungan dengan Tuhannya manakala manusia tersebut tertutup hatinya oleh keego-an dirinya. Manusia dibimbing oleh hawa nafsu untuk terus mengejar keaku-annya. Manusia selalu mengejar harta dan menumpuk-numpuknya, tergila-gila pada jabatan, segala kepandaian dikuasai, dan segala kekuatan dimilikinya. Sementara kedekatan dirinya kepada Tuhan senantiasa diabaikan. Contoh yang sederhana, manusia selalu menganggap dirinya tidak mampu untuk berqurban. Padahal di sisi lain ia mampu membeli televisi yang harganya sama dengan hewan qurban. Merasa tidak puas dengan televisi, manusia membeli kulkas, membeli emas, membeli kendaraan, dan sebagainya. Sementara untuk membeli hewan qurban yang harganya tidak seberapa selalu beralasan tidak mampu. Inilah contoh sederhana betapa manusia banyak yang mementingkan keegoan dirinya dan mengabaikan perintah Tuhannya untuk berqurban.
Menyembelih hewan ternak dan membagi-bagikan dagingnya kepada sanak kerabat, tetangga dan teman dekat merupakan wujud nyata latihan untuk mengendalikan hawa nafsu dan egoisitas ke-aku-an agar tunduk dan patuh di hadapan Tuhan. Selain itu, kita juga dapat berbagi protein kepada mereka-mereka yang selama ini belum banyak mendapatkan protein. Jika pada ramadlan yang lalu ada kewajiban setiap individu (berupa zakatfitrah) untuk memberikan bekal karbohidrat bagi manusia. Sekarang umat Islam dianjurkan untuk melengkapinya dengan memberikan protein yang juga menjadi kebutuhan manusia. Allah sama sekali tidak membutuhkan darah dan dagingnya tetapi Allah hanya akan menilai ketaqwaan yang mengiringi penyembelihan hewan qurban.
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُون
Artinya: Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik (QS. Al-hadid: 16).
Para ulama banyak memberikan penjelasan tentang hikmah dan fadilah dari peristiwa qurban, diantaranya: menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim, mendidik jiwa ke arah taqwa, mengikis sifat tamak, menjalin hubungan kasih sayang dan sebagainya. Dari sekian hikmah tersebut, hal terpenting yang dapat dijadikan pelajaran dan pegangan dari peristiwa qurban yakni adanya ujian dalam menjalani kehidupan dan keberagamaan ”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Q.S. Al-Mulk:2). Ujian inilah yang menjadi ukuran kualitas seseorang. Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad telah menjalani berbagai cobaan, ada yang dimakan ikan hiu, ada yang dibakar, ada yang terkena penyakit, ada yang dipenjara, dan sebagainya. Begitu juga, para wali, orang-orang sukses banyak mendapatkan ujian dan tantangan dalam menjalani kehidupannya.
Untuk menjalani ujian dengan baik, maka manusia membutuhkan alat petunjuk yang menjadi pedoman hidupnya. Alat inilah yang disebut dengan hati. Rasulullah bersabda:
ألا وإن فى الجسد مضغة اذا صلحت صلح الجسد كله واذا فسدت فسد الجسد كله الا وهي القلب
Artinya: Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat sekerat daging, jika sekarat daging tersebut baik, maka seluruh jasad akan baik. Namun jika sekarat daging tersebut rusak, maka seluruh jasad jug akan rusak, ingatlah sekerat daging yang dimaksud adalah hati. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Sebagai kata akhir, marilah peringatan hari idul adha kali ini dapat dijadikan sebagai bahan introspeksi diri di akhir tahun. sudahkah tiga potensi yang diberikan Allah berupa akal, nafsu dan hati difungsikan dengan sebaik-baiknya? Pertanyaan ini sejatinya terus menerus menghiasi diri ini agar kita sebagai individu dan makhluk social dapat berbuat maksimal dan mampu menjalankan perannya sebagai hamba dan Khalifah Allah di muka bumi. Akhirnya, marilah kita berdo’a kepada Allah swt seraya menundukkan kepala kehadirat-Nya. Kita mohon ampun atas segala dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat dan kita memohon mudah-mudahan Allah memberikan hidayah dan taufik-Nya sehingga kita dapat memaksimalkan potensi yang diberikan oleh Allah dalam menjalani kehidupan ini. Amin 3x Ya Rabbal Aalamin.

PENDIDIKAN KARAKTER DAN LIFE SKILL BAGI PEMUDA INDONESIA

Ekspektasi masyarakat terhadap kaum muda amat besar dalam mengawal perubahan-perubahan yang ada di Indonesia. Paling tidak, ada dua alasan besar mengapa masyarakat memiliki ekspektasi yang besar terhadap kaum muda. Pertama, pemuda pada umumnya memiliki idealisme, intelektual dan semangat untuk melakukan perubahan. Kedua, dalam catatan sejarah di Indonesia, pemuda angkatan 28, angkatan 45, angkatan 66, angkatan 74 dan angkatan 98 telah menorehkan sejarah yang gemilang dalam melakukan perubahan dan perbaikan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia.
Ekspektasi masyarakat yang besar tersebut jangan sampai ternodai oleh ulah para pemuda yang kurang bertanggung jawab dalam mempertahankan eksistensi dan perannya. Mereka hanya bangga sebagai pemuda, tetapi sikap dan perilakunya hanya berhura-hura, malas-malasan, dan acuh tak acuh dengan kegiatan sosial-kemasyarakatan. Demikian juga, masyarakat tidak ingin dibebankan oleh pemuda akibat sikap dan perilaku yang mereka lakukan seperti tawuran, konflik pemuda, narkoba dan sebagainya.
Masyarakat berharap agar para pemuda mengambil bagian dalam mengusung proses perubahan[1] yang terjadi di Indonesia. Bagi masyarakat, perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Tanpa perubahan hidup ini tidak memiliki makna apa-apa. Perubahan yang diharapkan oleh masyarakat bukan hanya pada perubahan kelembagaan dan sistem pemerintahan saja, melainkan juga pada perubahan yang bersifat kultural. Artinya pola pikir dan sikap masyarakat juga perlu berubah seiring dengan tuntutan reformasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, masyarakat berharap perubahan sistem pemerintahan, kelembagaan, dan kultur dapat berimplikasi pada perubahan kehidupan masyarakat yang lebih adil, demokratis dan sejahtera.
Harapan besar masyarakat akan tercapai manakala pemuda memiliki karakter dan keahlian hidup (life skill). Karakter merupakan filsafat pribadi tentang nilai-nilai hidup yang paling mendasar, seperti dermawan, kreatif, disiplin, adil dan sebagainya. Sedangkan keahlian hidup (life skill) adalah kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan sehingga ia dapat menjalani kehidupan dengan baik. Keahlian hidup dapat diwujudkan dalam bentuk kesadaran social (social awareness), kemampuan membangun tim dan menjalin interaksi secara konstruktif.
Persoalannya, bagaimana membentuk karakter dan keahlian hidup itu dilakukan di kalangan pemuda? Jika dilakukan melalui proses pendidikan apakah pendidikan karakter dan keahlian hidup itu sama dengan memberikan pendidikan agama atau pendidikan kewarganegaraan yang masuk dalam kurikulum? Jika tidak, bagaimana proses pendidikannya?
Makalah singkat ini mencoba menawarkan arah dan proses pendidikan karakter dan keahlian hidup bagi para pemuda. Namun, sebelumnya Penulis akan menguraikan tentang perlunya pengakuan dari elemen masyarakat terhadap peran yang dilakukan oleh pemuda. Tanpa ada pengakuan yang kuat dari masyarakat, maka keberadaan dan peran pemuda menjadi tidak berarti apa-apa.
A. Pengakuan Peran Pemuda di Masyarakat
Menurut Ramlan, jumlah generasi muda yang begitu besar bisa berarti keuntungan sekaligus kerugian bagi bangsa Indonesia yang sedang membangun. Ia merupakan keuntungan jika dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan pembangunan, akan tetapi kerugianlah yang akan terjadi jika mereka menjadi beban dan tanggungan bagi anggota masyarakat lainnya.[2] Mengingat komposisi generasi muda yang berusia antara 15-35 tahun merupakan jumlah terbesar dari penduduk Indonesia, yaitu sebesar 37% dari total Penduduk Indonesia yang 220 juta.[3]

Jumlah generasi muda yang besar tersebut terkadang hanya dijadikan sebagai komoditas politik belaka bahwa pemuda merupakan agen perubahan dan generasi yang sangat diharapkan eksistensinya. Sementara, pengakuan nyata terhadap generasi muda sebagai kategori sosial yang menjadi elemen penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kurang mendapatkan tempat.[4] Pemuda masih dianggap anak-anak apabila mereka belum menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, pekerjaan tetap dan memiliki emosi yang stabil.[5] Karenanya, banyak pemuda yang pragmatis dengan mengambil sikap acuh tak acuh dengan problematika yang berkembang di masyarakat atau hanya tekun belajar untuk meraih prestasi yang tinggi tanpa peduli dengan kehidupan orang lain.
Akibat lemahnya pengakuan terhadap pemuda, mereka mengalami problem identitas yang berpotensi menggiring pada melemahnya ikatan-ikatan sosial di antara pemuda dan masyarakat. Mereka mengalami disorientasi sosial terhadap fungsi dan perannya sebagai pelaku perubahan.[6] Padahal salah satu hal yang membuat peran pemuda menjadi sangat penting adalah karena keberadaan pemuda yang mengisyaratkan adanya semangat perubahan.[7] Jiwa mereka masih “segar” dan “baru”. Pemuda cenderung berani mengambil keputusan tanpa takut akan resiko yang mereka hadapi. Tidak heran jika Soekarno mengatakan “berikan sepuluh pemuda untukku, akan kuguncangkan dunia ini”.[8]
Masyarakat Indonesia yang sedang mengalami krisis multidimensional ini membutuhkan adanya perubahan-perubahan yang positif dan inovatif. Menurut Rikard Bagun, arus perubahan sendiri bisa menjamin hukum besi yang membinasakan. Lebih-lebih bagi mereka atau bangsa yang tidak siap beradaptasi dan melakukan antisipasi. Sebaliknya, bagi yang mampu beradaptasi, perubahan selalu menghadirkan peluang yang menawarkan kesempatan baru bagi kemajuan.[9] Untuk itulah, pemuda perlu mendapatkan tempat dan perhatian dari para orang tua, pendidik, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, pemimpin agama, pemimpin Negara dan berbagai elemen masyarakat lainnya.
Mengapa pemuda membutuhkan adanya pengakuan? Masa pemuda adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada masa inilah, pemuda mencari identitas dirinya. Dengan adanya pengakuan statusnya yang pasti, pemuda merasa aman dalam menjalankan aktivitasnya dan hal ini ikut membina pribadi dan penyesuaian diri pemuda. Jika pengakuan terhadap pemuda tidak ada, mereka merasa gelisah dan terkadang melakukan tindakan-tindakan yang seakan-akan menentang nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Di samping itu, dengan adanya pengakuan, pemuda merasa terayomi dan terbimbing dalam menjalani kehidupannya.
Apalagi di era modern ini, pemuda dihadapkan pada berbagai informasi negatif yang begitu membanjir dalam kesehariannya, baik yang bersumber dari televisi, internet, film, buku-buku dan majalah-majalah. Informasi negatif yang diterima secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pola pikir dan sikap pemuda di masyarakat. Ditambah lagi, pemuda dihadapkan pada kehidupan yang tidak menentu dan terkadang banyak menimbulkan konflik. Semua itu akan menambah beban bagi pemuda untuk menapaki kehidupannya.

B. Pendidikan Karakter dan keahlian hidup Bagi Pemuda Indonesia
Upaya yang bisa dilakukan dalam rangka membentuk karakter dan keahlian hidup pemuda adalah melalui proses pendidikan. Pendidikan maknanya lebih luas daripada pembinaan maupun pengajaran. Pendidikan tidak hanya transfer of knowledge, melainkan juga transfer of values. Dalam pendidikan ada proses-proses penanaman nilai-nilai. Oleh karena itu, menurut Abdul Munir Mulkhan, dalam pendidikan perlu dikembangkan kepribadian yang mandiri dan kreatif serta memiliki moralitas dan spiritualitas yang dapat menggerakkan seluruh sendi kehidupan dalam menjalankan tugas sebagai hamba Allah dan khalifah Allah.[10]
Di dalam al-Qur’an, istilah pendidikan (rabb--tarbiyah)[11] berkaitan dengan peran orang tua sebagai perantara Tuhan di muka bumi dalam mendidik atau sebagai murabbi. Peran ini merupakan perwujudan dari salah satu sifat atau nama Allah yang ditanamkan kepada anak yaitu Rabb, sang pemelihara. Orang tua diharapkan dapat menghidupkan sikap tauhid rububiyah pada diri anak. Sikap ini adalah sebagai pengakuan akan Allah sebagai satu-satunya zat yang telah menciptakan, memelihara, memberi rezeki dan segala nikmat yang ada. Pendidikan juga berkaitan dengan wiqayah (penjagaan)[12] dari hal-hal yang dapat merusak moralitas dan spiritualitas anak. Karenanya, orang tua melakukan preventif dengan cara memberikan lingkungan yang kondusif dan bimbingan yang baik. Al-Qur’an juga mengaitkan pendidikan dengan mau’idzah (wa’adz)[13] seperti yang dilakukan oleh Luqman kepada putranya. Wa’adz merupakan nasehat menyangkut berbagai kebajikan dengan cara menyentuh hati.[14] Orang tua berperan dalam memberikan nasehat kepada anaknya agar anak dapat berada dalam bimbingan dan jalan Allah. Bertitik tolak dari penjelasan yang ada di dalam al-Qur’an tersebut berarti pendidikan adalah proses pemeliharaan, penjagaan dan penasehatan yang dilakukan oleh orang tua atau masyarakat.
Proses pendidikan, menurut Albert Bandura dapat dilakukan melalui Learning by response concuequences yaitu proses belajar dari pengalaman individu dan Learning through modelling yaitu proses belajar dengan cara meniru perjalanan orang lain yang diperolehnya melalui observasi terhadap bentuk-bentuk tingkah laku yg terdapat pada lingkungan sosialnya. Artinya pendidikan karakter dan keahlian hidup pemuda dapat dilakukan dengan cara memberikan pengalaman langsung kepada pemuda tentang karakter-karakter pemuda Indonesia dan keahlian hidup yang dibutuhkan pemuda Indonesia dalam menghadapi kehidupan modern dan global. Bisa juga dilakukan dengan cara mencontoh karakter dan keahlian hidup yang dilakukan oleh para tokoh panutan.[15]
Proses tersebut tentunya tidak dilakukan secara instan---sebatas pelatihan atau seminar---melainkan melalui proses panjang (long life education) dan berkelanjutan (sustainable). Dalam bahasa Islam, pendidikan harus dilakukan dari mulai rahim hingga liang lahad (utlub al-‘ilm min al-mahd ila al-lahd). Karenanya, pendidikan karakter dan ketrampilan hidup melibatkan semua orang, dari mulai orang tua, guru, tokoh masyarakat, ustadz dan para aktivis organisasi. Begitu juga, pendidikan karakter dan keahlian hidup tidak bisa diberikan seperti halnya pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan yang lebih banyak mengandalkan kemampuan kognitif saja. Mengingat pendidikan karakter dan keahlian hidup akan melibatkan semua kemampuan yang ada pada pemuda yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Kemudian dalam proses pendidikan karakter dan keahlian hidup, pemuda jangan hanya dijadikan sebagai obyek saja, tetapi perlu dilibatkan sebagai subyek atau pelaku. Karenanya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua atau masyarakat berkaitan dengan pemuda agar dalam proses pendidikan tidak mengalami hambatan yang signifikan, diantaranya:
Pertama, penampilan fisik merupakan aspek penting bagi pemuda dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Biasanya mereka mempunyai standar-standar tertentu tentang sosok fisik ideal yang mereka dambakan. Pemuda perlu menanamkan keyakinan bahwa keindahan lahiriah bukanlah makna yang sesungguhnya dari kecantikan dan ketampanan. Kecantikan dan ketampanan sejati justru bersumber dari hati nurani, akhlak serta kepribadian yang baik.
Kedua, pada umumnya pemuda ingin memperoleh kebebasan emosional. Mereka ingin bebas melakukan apa saja yang mereka sukai. Terkadang, mereka mencoba hal-hal yang baru dan menantang meskipun melanggar etika dan norma yang berlaku di masyarakat. Tindakan yang mereka lakukan tersebut disebabkan karena mereka tidak ingin hanya menjadi obyek dari orang tua atau orang lain. Mereka ingin menjadi orang dewasa. Karenanya, mereka berusaha agar pendapat atau pikiran-pikirannya diakui dan disejajarkan dengan orang dewasa. Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemuda dengan orang tua, biasanya pemuda cenderung lari dan berkumpul dengan pemuda yang lainnya. Dengan demikian, ikatan emosional antar pemuda amat kuat dan menjadi penting keberadaannya.
Ketiga, kemampuan untuk melakukan interaksi sosial juga sangat penting dalam membentuk konsep diri yang positif, sehingga dia mampu melihat dirinya sebagai orang yang kompeten dan disenangi oleh lingkungannya. Konsep pergaulan semestinya lebih ditekankan kepada hal-hal yang positif, seperti untuk mempertegas eksistensi diri atau guna menjalin persaudaraan serta menambah wawasan yang bermanfaat. Dengan demikian, maka diharapkan dia dapat memiliki gambaran yang wajar tentang dirinya sesuai dengan kenyataan.
Keempat, setiap kelebihan atau potensi yang ada dalam diri manusia sesungguhnya bersifat laten. Artinya, ia harus digali dan terus dirangsang agar keluar secara optimal. Dengan mengetahui dan menerima kemampuan diri secara positif, maka seorang pemuda diharapkan lebih mampu menentukan yang tepat terhadap apa yang akan ia jalani, seperti memilih sekolah atau jenis kegiatan yang akan diikutinya.
Kelima, bagi keluarga muslim atau keluarga yang beragama, nampaknya harus mulai ditanamkan pemahaman bahwa pemuda sudah termasuk baligh. Artinya dia sudah taklif atau bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban agama serta menanggung sendiri dosa-dosanya apabila melanggar kewajiban-kewajiban tersebut. Dengan pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai moral dan agama, maka lingkungan yang buruk tidak akan membuatnya menjadi buruk. Bahkan boleh jadi, si pemuda sanggup proaktif mempengaruhi lingkungannya dengan kerangka agama.
Di samping itu, pemuda juga perlu memiliki motivasi yang kuat dan standar nilai yang dijadikan pedoman. Menurut Sidi Gazalba, maju dan mundurnya masyarakat dalam proses perubahannya ditentukan oleh nilai yang dipedomani. Oleh karena itu, jika pemuda ingin merubah karakternya, diperlukan pedoman nilai. Pancasila sebagai ideology bangsa merupakan salah satu pedoman nilai yang dapat dijadikan dasar dalam pendidikan karakter dan keahlian hidup. Kemudian nilai-nilai yang ada di Pancasila, secara substansial tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.[16]

C. Penutup
Sebagai kata akhir, penulis berkeyakinan bahwa pemuda merupakan aktor penting yang dapat merubah kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemuda perlu memiliki karakter dan ketrampilan hidup agar pemuda dapat berperan dalam mengisi perubahan yang ada di Indonesia.
Karakter dan ketrampilan hidup dapat dibentuk melalui proses pendidikan yang berlangsung lama dan berkelanjutan. Karenanya, prosesnya membutuhkan keterlibatan dari berbagai pihak. Bukan hanya pemuda saja, melainkan seluruh elemen masyarakat perlu terlibat. Disamping itu, diperlukan juga adanya pedoman yang dapat dijadikan standar dalam melakukan proses transformasi nilai dalam diri pemuda. Nilai Pancasila dapat dijadikan sebagai pedoman yang bisa mengantarkan pemuda memiliki karakter dan ketrampilan hidup.
Wallahu ‘alam bi al-shawab

[1] Perubahan yang dimaksudkan tentunya perubahan yang mengarah pada perbaikan dan kemajuan, bukan perubahan yang menghancurkan dan merendahkan masyarakat, seperti bencana alam, perusakan fasilitas umum, konflik, dan sebagainya.
[2] Ramlan, Problematika Pemuda Dewasa ini dan Solusinya, dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol.XVIII, No. 2, 2001, hal.188.
[3] BPS. (n.d.). Data Statistik Indonesia. Retrieved Mei 2008, from http://www.datastatistik-indonesia.com
[4] Pandu Dewanata & Chavchay Saifullah, Rekonstruksi Pemuda, Kementerian Negara Pemuda dan Olah raga, 2008, hal. 13.
[5] Zakiah Daradjat Mengatakan “pada masyarakat yang telah maju, dimana kepandaian dan ketrampilan yang diperlukan untuk dapat hidup tidak bergantung kepada orang lain, dapat aktif dalam masyarakat dan dapat diberi tanggung jawab sebagai seorang dewasa yang matang sangat banyak, maka pemuda perlu menempuh masa yang panjang dalam pendidikan dan masa pemudanya menjadi lebih panjang. Selain itu, problem pemuda yang dideritanya jauh lebih banyak karena perjuangan untuk mencapai kedudukan dalam masyarakat itu lama dan banyak macamnya”. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang), Cet, 15, 1996, hal. 71.
[6] Aziz Syamsudin, 23 Karakter Pemuda Pilihan, (Jakarta: RMBOOKS), 2009, hal.xiii.
[7] Aziz Syamsudin, 23 Karakter.....hal. 3. Sedangkan menurut Muhammad Hatta, pemuda memiliki peran penting karena: pertama, pemuda masih murni jiwanya dan ingin melihat pelaksanaan secara jujur apa-apa yang telah diperjuangkan rakyat. Kedua, pemuda dididik secara ilmiah yang tujuannya untuk mencari kebenaran. Muhammad Hatta, Peranan Pemuda Menuju Indonesia Merdeka Indonesia Adil dan makmur, (Bandung: Angkasa), 1966, hal. 12.
[8]Dikutip dari Pandu Dewanata & Chavchay Saifullah, Rekonstruksi.....hal. 7.
[9] Rikard Bagun, “Tuntutan Perubahan Perilaku”, Kompas Jum’at 26 Juni 2009.
[10] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: SI-Press), 1993, hal. 236.
[11] QS. Al-Isra ayat 24: وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
[12] QS. At-Tahrim ayat 6 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
[13] QS. Luqman ayat 13 وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
[14] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 11, (Jakarta: Lentera Hati), cet. Ke-IX, 2008, hal. 126.
[15] Buku yang dapat dijadikan rujukan untuk mencontoh beberapa tokoh yang memiliki karakter kuat adalah buku Aziz Syamsudin, 23 Karakter Pemuda Pilihan, (Jakarta: RMBOOKS), 2009.
[16]Agama dalam hal ini dijadikan sebagai sumber nilai yang kebenaran bersifat absolut.