Wednesday 26 January 2011

PENGARUH KELUARGA TERHADAP EFEKTIVITAS KERJA

Berbicara tentang efektivitas kerja bukanlah perkara yang mudah. Para pakar di bidang manajemen telah lama melakukan penelitian tentang efektivitas kerja. Walhasil mereka belum mampu menjawab secara tuntas faktor-faktor yang menjadi penyebabnya. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh Elton Mayo di Perusahaan Western Electric Company, Amerika Serikat, pada tahun 1924. Dari penelitian tersebut hanya mampu mengungkap bahwa ketidakefektivan bekerja para karyawan disebabkan karena perlakuan yang kurang manusiawi dari para manajernya.[1] Dari hasil penelitian ini, kemudian para pakar di bidang manajemen mencoba mengembangkan ilmu manajemen dengan cara melibatkan ilmu tabiat atau behavioral science.
Akhir-akhir ini sudah ada beberapa pakar manajemen yang mulai memper-hatikan dan memperbincangkan sesuatu yang lebih mendalam dari sekedar tabiat manusia. Orang sudah mulai memperbincangkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tabiat manusia. Peter F. Drucker dan Konosuke Matsusita adalah sebagian tokoh yang memandang pentingnya sistem nilai dalam manajemen.[2]
Perubahan yang terjadi pada kajian di bidang manajemen menggiring kita untuk mengkaji lebih jauh tentang perilaku manusia yang melakukan tindakan untuk bekerja secara efektif atau tidak efektif. Dalam hal ini tentunya faktor manusianya yang menjadi urgen untuk dikaji sebagai pelaku utama dalam melakukan pekerjaan.
Menurut Kurt Lewin, perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan lingkungan.[3] Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks.
Terlepas dari berbagai teori psikologi yang memprediksi perilaku manusia. Jelasnya bahwa perilaku manusia tidaklah sederhana untuk dipahami dan diprediksikan. Begitu banyak faktor-faktor internal dan eksternal dari dimensi masa lalu, saat ini, dan masa datang yang ikut mempengaruhi perilaku manusia.
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, secara sederhana dapat diketahui bahwa keluarga merupakan salah satu faktor yang menyumbang adanya pengaruh terhadap efektivitas kerja. Mengingat keluarga merupakan sebagian dari lingkungan yang banyak berinteraksi dengan karyawan atau para pekerja. Meskipun demikian, hal yang menarik untuk diketahui yakni seberapa besar pengaruh tersebut terhadap efektivitas kerja, bagaimana proses terjadinya, dan tindakan apa yang mesti dilakukan untuk meningkatkan efektivitas kerja? Untuk menjawab persoalan yang pertama tentu membutuhkan penelitian yang mendalam. Karenanya pada tulisan ini hanya dijelaskan hal-hal yang berkaitan dengan proses terjadinya dan tindakan-tindakan yang mesti dilakukan agar efektivitas kerja dapat ditingkatkan.
Keluarga merupakan aset yang sangat penting. Individu tidak bisa hidup sendirian, tanpa adanya ikatan dalam keluarga. Secara fitrahnya manusia membutuhkan orang lain untuk berkumpul baik untuk mendapatkan kehangatan maupun untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Tempat berkumpul pertama dan utama bagi manusia adalah keluarga. Oleh karena itu, keluarga memberikan pengaruh yang besar terhadap seluruh anggotanya. Hal ini disebabkan karena di dalam keluarga selalu terjadi interaksi yang paling bermakna dan paling berkenan dengan nilai yang sangat mendasar dan sangat intim. Keluarga merupakan sumber pertama dalam proses sosialisasi dan sebagai transmitter budaya.[4]
Mengingat begitu urgennya keberadaan keluarga, maka di dalam islam proses pembentukan keluarga sangat diperhatikan. Dalam pandangan Islam keluarga merupakan kesatuan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dilakukan melalui akad nikah menurut ajaran Islam. Bahkan, dalam Islam diperhatikan proses pembentukan keluarga dari pra-perkawinan, proses berkeluarga hingga masalah perpisahan.
Melalui keluarga seorang pekerja akan mendapatkan nilai-nilai, motif, dan sifat kepribadian. Seberapa besar nilai, motif dan sifat kepribadian yang diterima seorang pekerja sangat bergantung kepada seberapa lama dia berinteraksi dengan keluarganya. Jika waktu 24 jam digunakan untuk bekerja selama 8 jam, maka sisa waktu 16 jam dihabiskan di keluarga. Ada juga waktu 24 jam digunakan untuk bekerja 8 jam, digunakan untuk kegiatan sosial 2 jam, maka sisa waktu 14 jam ada di keluarga. Oleh karena itu, hampir sebagian besar waktu kita banyak dihabiskan di dalam keluarga.
Apabila keluarga yang dijadikan landasan nilai, motif, dan sifat kepribadian anggotanya mengalami ketegangan (penuh konflik), tidak harmonis, dan tidak ada rasa kasih sayang, maka akan berpengaruh terhadap pembentukan nilai, motif, dan sifat kepribadian. Demikian juga, keluarga yang sangat mengedepankan sisi material dalam pembentukan keluarganya, maka akan berpengaruh terhadap nilai, motif, dan sifat keperibadian dari para anggota keluarganya.
Nilai, motif, dan sifat kepribadian inilah yang nantinya dibawa oleh pekerja keluar rumahnya. Jika pekerja tidak banyak berinteraksi dengan masyarakat atau orang lain, maka keluarga memberikan pengaruhi yang signifikan terhadap aktivitas di tempat kerjanya. Berbeda halnya dengan pekerja yang banyak berinteraksi dengan orang lain di luar rumahnya, maka pengaruh terhadap dunia kerjanya bisa berasal dari keluarga dan lingkungan dimana ia berinteraksi.
Untuk menghindar dari pengaruh lingkungan yang tidak memacu pada produktifitas di dunia kerja dibutuhkan adanya pemahaman yang utuh dari seseorang tentang kerja itu sendiri sehingga di dalam dirinya akan terbangun satu kepercayaan yang kuat tentang kerja yang efektif. Disamping itu, di dalam keluarga juga perlu dibangun suasana dan kondisi yang menyenangkan agar individu yang akan bekerja memiliki perasaan yang nyaman, aman, dan penuh kasih. Dari kepercayaan dan perasaan yang telah terbangun dengan baik akan melahirkan kerja yang produktif.[5]
Kerja merupakan hakekat keberadaan kita sebagai manusia. Allah menciptakan manusia dengan perangkat atau potensi yang lengkap agar manusia mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun hamba Allah. Manusia diberi panca indera, akal, hati, dan hawa nafsu agar manusia mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Allah berfirman “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)”.
Dalam Islam dimensi kerja sangat terkait dengan dimensi spiritual. Firman Allah dalam Surat al-Jumuah ayat 10 “Apabila telah selesai melaksanakan shalat hendaklah kamu bertebaran di muka bumi dan mencari ridla Allah serta ingat kepada Allah sebanyak-banyaknya agar kamu memperoleh keberuntungan”. Karena itu ajaran Islam memberikan petunjuk tentang etika bekerja.
Islam melarang umatnya bekerja demi kerja itu sendiri. Menurut Islam, kerja dipandang bernilai sejauh dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia dan menciptakan keseimbangan dalam kehidupan individu dan sosial. Kita bekerja keras sampai larut malam, tetapi lupa dengan kewajiban kita sebagai hamba Allah yang perlu beribadah kepada-Nya. Kita bekerja dengan menguras tenaga tetapi lupa dengan kewajiban-kewajiban sosial kita. Bahkan, kita bekerja hanya untuk menumpuk-numpuk harta dan mencari kesenangan. Oleh karena itu, islam memerintahkan untuk membagi waktu dengan fase sepertiga untuk bekerja, sepertiga untuk istirahat dan tidur, dan sepertiga lagi untuk ibadah, keluarga dan kegiatan sosial.
Kerja merupakan ibadah kepada Allah swt dan karenanya niat untuk mencari ridla-Nya menjadi motivasi kuat dalam melaksanakan kerja itu sendiri. Motivasi merupakan salah satu unsur penentu kesuksesan seseorang dalam berkarir. Ahli Psikologi merumuskan bahwa prestasi adalah motivasi dikalikan dengan kemampuan. Selain motivasi, kemampuan juga menjadi unsur penting dalam meraih kesuksesan bekerja. Rasulullah mengajarkan tentang perlunya keahlian dalam melakukan pekerjaan. Keahlian dalam islam diistilahkan dengan ihsan. Rasulullah mencontohkan bagaimana ketika beliau menyembelih binatang perlu dilakukan secara profesional (ihsan) dengan cara menyiapkan alat yang tajam agar menghasilkan potongan yang maksimal.
Dengan berbekal kepada pemahaman yang utuh tentang kerja, maka akan muncul suatu keyakinan yang kuat dalam diri pekerja untuk melakukan pekerjaan secara efektif. Pekerja berkeyakinan bahwa prestasi kerjanya bukan hanya dinilai oleh atasan langsung, tetapi mendapatkan penilaian langsung dari Allah SWT. Karenanya dia harus bekerja secara maskimal dan dapat menunjukkan eksistensinya sebagai manusia.
Selanjutnya, di rumah juga perlu dibangun keluarga yang harmonis sesuai dengan tujuan pembentukan keluarga yang ada dalam Islam, yakni keluarga yang penuh rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rahmah) seperti yang terungkap dalam al-Qur’an surat ar-rum (30) ayat 21. Keluarga yang mawaddah wa rahmah akan memberikan perasaan yang damai dan penuh kasih bagi pekerja sehingga perasaan ini terus terbawa dalam lingkungan kerjanya. Untuk mencapai tujuan tersebut Nabi memberikan petunjuk tentang pembinaan keluarga sebagaimana sabda beliau “ apabila Allah menghendaki suatu keluarga menjadi keluarga yang baik (bahagia), dijadikannya keluarga itu memiliki penghayatan ajaran agama yang benar, anggota keluarga yang muda menghormati yang tua, berkecukupan rezeki dalam kehidupannya, hemat dalam membelanjakan nafkahnya, dan menyadari cacat-cacat mereka dan kemudian melakukan taubat. Jika Allah SWT menghendaki sebaliknya, maka ditinggalkan-Nya mereka dalam kesesatan (H.R. Dailami dari Anas).
Akhirnya penulis menyimpulkan bahwa pengaruh keluarga terhadap efektivitas bekerja ada melalui proses interaksi di dalam keluarga yang nantinya akan melahirkan nilai, motif, dan sifat kepribadian yang melekat pada diri si pekerja. Untuk menghindari adanya pengaruh yang negatif terhadap pekerja, maka diperlukan adanya pemahaman yang utuh tentang kerja dan perlu dukungan yang kuat dari keluarga dalam menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis sehingga menimbulkan perasaan yang nyaman dan penuh kasih. Dengan pemahaman akan melahirkan sebuah keyakinan yang kuat dan didukung dengan perasaan yang nyaman dan penuh kasih tentunya akan melahirkan efektivitas dalam bekerja.
Wallahu a’lam bi al-Shawab
[1] Lihat Jurnal Ulumul Qur’an No. 6 Vol. II. 1990. hal 38-40.
[2] Ibid.
[3] dikutip dari Saifuddin Azwar, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), cet. VII, 2003, hlm.10.
[4] Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan & Konseling, (Bandung: Remaja Rosda Karya), 2005, hlm.177.
[5] Menurut Saifuddin Azwar bahwa kepercayaan dan perasaan merupakan dua unsur yang banyak mempengaruhi perilaku seseorang. Baca Saifuddin Azwar, opcit., hlm. 27.