Sunday 15 April 2012

ALAM SEMESTA

Alam semesta diciptakan oleh Allah dengan haq (QS. 39: 5) dan tidak diciptakan Tuhan secara main-main (QS. 21:16) serta tidak pula secara palsu (QS. 38:27). Oleh karena itu, menjadi tugas manusia untuk senantiasa mencari tahu maksud utama diciptakan alam semesta ini oleh Allah swt. Manusia harus mengerahkan dan mencurahkan akalnya untuk mengetahui maksud diciptakan alam semesta dan sekaligus untuk memahami alam semesta bagi kehidupan manusia. Konsekuensi logis dari pemahaman tersebut, maka alam semesta menjadi objek pemahaman sekaligus sumber pelajaran bagi mereka yang mau berpikir (QS. 3:190-191).
Dengan potensi akal yang diberikan oleh Allah dan alam semesta diciptakan dengan ukuran dan ketentuan yang pasti (QS. 25:2; 36: 38-39; 54:49), maka alam semesta dapat diprediksi dan dipelajari. Manusia ketika melihat awan gelap dan terjadi gemuruh, kemudian turun hujan. Peristiwa tersebut terjadi berulangkali dalam kehidupan manusia, maka dengan akalnya, manusia bisa menyimpulkan bahwa setiap awan gelap dan terjadi gemuruh, manusia perlu bersiap-siap diri untuk menghadapi hujan yang akan turun. Demikian juga dengan kejadian-kejadian alam yang lainnya seperti meletus gunung, banjir, dan sebagainya, semua itu dapat diprediksi dan dipelajari agar manusia dapat mengantisipasi peristiwa yang menimpa dirinya.
Lebih jauh lagi manusia dapat belajar dari kehidupan alam yang penuh harmonis dan penuh hikmah. Manusia bisa belajar dari kehidupan burung yang dengan penuh semangat dan etos kerja yang tinggi, tidak mengenal musim hujan atau kemarau, burung terus terbang mencari nafkah untuk menghidupi anak-anaknya. Bahkan, ketika di suatu wilayah, makanan sudah tidah memungkinkan lagi didapat, burung bisa melakukan hijrah ke berbagai wilayah untuk mendapatkan makanan. Kehebatan burung merupakan salah satu pertanda adanya kekuasaan dan kekuatan yang menciptakannya. Oleh karena itu, alam semesta sebagai ayat-ayat yang menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia. Hakekat alam yang penuh hikmah, harmonis dan baik itu mencerminkan hakekat Tuhan, Maha Pencipta, Yang Maha Kasih dan Sayang (QS. 67: 3).
Manusia pun terkadang tidak bisa mengelak dari peristiwa-peristiwa alam yang tidak bisa diprediksikan seperti terjadinya gempa, meletusnya gas bumi, munculnya penyakit yang mematikan dan sebagainya. Semua peristiwa tersebut menunjukkan betapa Tuhan Maha Kuasa, bisa melakukan apa saja terhadap kehidupan di alam semesta ini. Alam semesta adalah milik Allah (QS. 4: 126). Dia dapat menghancurkan dan membangun kembali alam semesta beserta segala isinya sesuai dengan kehendak-Nya. Manusia tidak bisa berlaku sombong dan sewenang-wenang dalam memanfaatkan alam semesta. Allah mengamanahkan alam semesta kepada manusia yang shaleh (QS. 21:105, 7:128) untuk terus dibangun dan dikembangkan (QS. 11:61, 14:32-33).
Sekalipun manusia adalah makhluk tertinggi dan khalifah di bumi, namun hubungan manusia terhadap alam harus disertai sikap rendah hati yang sewajarnya, dengan melihat alam sebagai sumber ajaran dan pelajaran untuk menerapkan sikap tunduk kepada Allah. Manusia harus menyertai alam sekitarnya dalam bertasbih memuji Allah (QS. 17: 44), antara lain dengan memelihara alam itu dan menumbuhkannya ke arah yang lebih baik dan bukannya melakukan perusakan dan kerusakan di muka bumi.

KONSEP MANUSIA DALAM AL-QUR'AN

Manusia merupakan salah satu makhluk Tuhan yang ada di muka bumi ini. Berbeda dengan makhluk lainnya seperti binatang, tumbuhan dan malaikat. Keberadaan manusia di muka bumi menempati posisi utama sebagai khalifah. Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah ”ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ”sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi...” (Q.S. 2: 30). Sebagai seorang khalifah, maka tugas manusia di muka bumi ini adalah memakmurkan alam semesta ini ”Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya”. (QS. 11:61).
Posisi manusia yang istimewa ini hendaknya dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Mengingat manusia berada di muka bumi ini tidak berlangsung lama. Setiap manusia akan mengalami kematian ”tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati” (QS. 3:185) atau dengan perkataan lain manusia hidup memiliki keterbatasan waktu, usia dan tenaga. Jika dihitung rata-rata kehidupan manusia antara 60-70 tahun, maka waktu yang bisa dimanfaatkan secara efektif untuk meraih kehidupan yang lebih baik antara 30-40 tahun. Waktu yang relatif singkat ini pun apabila tidak dimanfaatkan secara maksimal tentu akan menimbulkan kerugian yang besar bagi kehidupan kita seperti kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan dan sebagainya.
Oleh karena itu, langkah awal untuk mempersiapkan diri yang lebih baik yaitu perlunya mengenal lebih jauh tentang diri kita sendiri dan amanah apa yang mesti dijalankan sebagai hamba Allah di muka bumi.
Manusia di dalam al-Qur’an digambarkan sebagai makhluk yang memiliki dua unsur utama yaitu fisik dan jiwa (mental). Penciptaan manusia secara fisik digambarkan oleh Allah di dalam surat al-Mu’minin (23) ayat 12-14 ”dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka maha sucilah Allah, pencipta yang paling baik. Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat”. Uraian yang senada (hampir sama) tentang proses penciptaan manusia secara fisik ini dapat dilihat di dalam surat al-Hajj (22) ayat 5.
Adapun penciptaan jiwa ---dalam hal ini ruh---manusia digambarkan di dalam al-Qur’an surat as-Sajdah (32) ayat 7-9 ”yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hatti, (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.
Dari dua unsur yang berbeda ini ternyata di dalam diri manusia terdapat dua sifat yang saling tarik menarik ”maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS. 91:8). Di satu sisi manusia yang berasal dari tanah ---dimana tanah merupakan unsur yang rendah berada di bawah kaki manusia dan menjadi tempat kotoran---yang memiliki sifat-sifat jelek. Hal ini banyak digambarkan di dalam al-Qur’an yang menyatakan manusia memiliki sifat-sifat tercela seperti sombong (QS. 4:36), iri hati (QS. 2:109), melampaui batas (QS. 96:6-7), kikir (QS. 17:100), suka tergesah-gesah (QS. 70:19-20) dan sebagainya. Di sisi lain, di dalam diri manusia ada ruh yang suci keberadaannya. Karena itu, di dalam diri manusia ada sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat yang cenderung kepada Tuhan.
Untuk dapat mengenali dan menjalankan kehidupannya dengan baik, maka manusia diberikan kebebasan untuk menentukan sikapnya. Apakah ia memilih jalan kebaikan atau kejahatan. Jelasnya, manusia diberikan alat atau potensi oleh Allah untuk memilih jalan berupa akal dan nafsu. Jika dua alat ini dikelola dengan baik, manusia tidak akan terjerumus dalam memilih jalan kehidupannya. Kecenderungan manusia berbuat baik lebih besar dibandingkan dengan kecenderungan manusia untuk berbuat jahat. Oleh karena itu, pilihan yang diambil manusia nantinya perlu dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Karena manusia diciptakan bukan untuk main-main, tetapi memiliki tujuan yang jelas ”apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?”. (QS. 75:36). Dalam ayat lain dikatakan ”maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara bermain-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (QS.23:115).
Manusia bisa berbuat apa saja di dunia, baik menyangkut pada perbuatan baik maupun pada perbuatan yang buruk. Jika manusia melakukan perbuatan baik, maka manusia tersebut digolongkan sebagai manusia yang baik. Sebaliknya, apabila seorang manusia melakukan perbuatan jahat, maka ia digolongkan sebagai manusia yang tidak baik. Oleh karena itu, hakekat keberadaan manusia ditentukan oleh amal (perbuatan) manusia itu sendiri (QS. 53: 39-40).
Dalam melakukan amal di dunia, manusia membutuhkan petunjuk atau arah agar amal yang dikerjakannya tidak sia-sia. Dalam hal ini manusia dapat memanfaatkan akal yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. Akal difungsikan untuk menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena itu, manusia diwajibkan untuk mencari ilmu pengetahuan. Al-Qur’an dan beberapa ayatnya menganjurkan dan mendorong kepada manusia untuk menuntut ilmu. Dengan ilmu, Adam dapat mengalahkan makhluk Tuhan yang lainnya dan malaikat sujud kepadanya (QS. 2:31-34), manusia akan diangkat derajatnya oleh Allah swt (QS. 58:11), orang yang berilmu tidak sama dengan orang yang tidak berilmu (QS. 39:9), dan berbagai kelebihan lain yang ditunjukkan oleh Allah kepada orang-orang yang mau menuntut ilmu dan mengamalkannya.
Ilmu yang dimiliki manusia bisa saja dipergunakan oleh manusia untuk mengerjakan amal yang jelek atau untuk merusak manusia dan alam semesta. Seperti bom yang awalnya diciptakan oleh manusia untuk kebaikan, yakni untuk memanfaatkan alam, tetapi oleh manusia digunakan untuk menghancurkan dan menyengsarakan manusia. Demikian pula, manusia dengan kecanggihan otaknya dapat membobol uang di bank melalui pemanfaatan teknologi komunikasi. Dengan ilmu juga, manusia banyak yang melakukan korupsi dan memanipulasi orang untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya. Oleh karena itu, ilmu menjadi bermanfaat atau membawa kemudharatan lebih bergantung kepada manusia itu sendiri.
Untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh manusia terhadap ilmu, maka manusia perlu dibimbing dengan iman. Iman menjadi landasan gerak yang utama dan mengarahkan manusia kepada sasaran atau tujuan hidup yang sesungguhnya. Iman merupakan proses pembenaran hati yang dalam aplikasinya perlu diwujudkan dalam amal sehari-hari. Orang yang beriman adalah orang yang memiliki hati yang tentram dan senantiasa ingat atau berzikir kepada Allah serta memiliki sikap optimisme (semangat yang tinggi) dalam menjalankan kehidupan di dunia.
Dengan iman yang tertanam dalam dirinya, manusia dipercaya oleh Tuhan untuk memikul amanah yang diberikan oleh Allah kepada manusia ”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. 33:72-73).
Amanat yang diberikan Allah kepada manusia terkait dengan tugas kemanusiaan di muka bumi ini. Tugas yang pertama adalah manusia menjadi hamba Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an ”dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. 51:56). Sebagai seorang hamba, manusia perlu mematuhi aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh tuannya. Aturan-aturan ini dapat diketahui melalui berita yang dibawa oleh seorang Rasul. Dalam hal ini aturan-aturan yang tertera dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Amanat kedua adalah manusia sebagai khalifah di muka bumi. ”ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi...” (QS. 2:30). Sebagai seorang khalifah, maka tugas manusia di muka bumi ini adalah memakmurkan alam semesta ini ”Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya” (QS. 11:61). Cara untuk memakmurkan alam ini tentunya dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang didapat manusia melalui proses berpikir dan berkomunikasi melalui bahasa. Selain itu, alam yang diciptakan oleh Tuhan sudah berdasarkan ketentuan dan ukuran yang pasti sehingga dapat diprediksi oleh manusia.
Dari uraian di atas sangat jelas sekali bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan bertujuan untuk menjalankan misi sebagai hamba Allah dan khalifatullah di muka bumi ini. Misi manusia dapat dijalankan dengan baik manakala manusia memiliki iman kepada Allah dan ilmu pengetahuan.

WACANA AL-QUR'AN TENTANG TUHAN

Pembahasan tentang Tuhan merupakan pembahasan yang tidak pernah selesai, baik di kalangan Filosof, Teolog, Ilmuwan, Budayawan dan para ahli lainnya. Tuhan selalu menarik untuk dibicarakan; siapa Tuhan, mengapa kita harus menyembah Tuhan, bagaimana kita berhubungan dengan Tuhan, bagaimana peran Tuhan dalam kehidupan manusia, dan berbagai pertanyaan lain yang senantiasa menghantui diri manusia. Menariknya Tuhan untuk selalu dibicarakan karena Tuhan bersifat non-empiris, sementara eksistensi dan peran Tuhan dalam kehidupan di alam dunia ini dapat dirasakan oleh manusia.
Adanya kematian, bencana alam, siang dan malam, musim hujan dan kemarau, serta berbagai fenomena alam lainnya merupakan simbol-simbol yang menunjukkan adanya peran Tuhan di dalamnya. Tragedi yang dialami manusia, seperti kematian dan bencana alam, menyebabkan manusia berupaya untuk mengungkap siapa yang berperan dibalik itu semua. Manusia meyakini ada kekuatan di luar diri manusia. Pada konteks inilah manusia meyakini bahwa kekuatan tersebut adalah Tuhan. Awalnya manusia mempersepsi kekuatan tersebut bersumber dari roh-roh yang ada di alam, yang kemudian melahirkan paham animisme. Selanjutnya, pemikiran manusia mengalami perkembangan dan manusia meyakini banyaknya kekuatan-kekuatan atau Tuhan-Tuhan yang membantu hidup manusia, maka lahirlah keyakinan banyak Tuhan atau politeisme.
Jika kita mengajukan pertanyaan, kapan manusia memiliki kesadaran mengenal adanya eksistensi dan peran Tuhan di alam semesta ini, nampaknya teramat sulit untuk diberikan penjelasan secara detail dan jelas. Sumber utama yang bisa kita yakini memberikan informasi tentang eksistensi Tuhan berasal dari teks-teks agama. Adam, di dalam teks al-Qur’an, diyakini sebagai orang pertama yang mengaku bersalah di hadapan Tuhan dan memohon ampun terhadap dosa-dosa yang dibuatnya (QS.7: 19-25). Dari peristiwa yang dialami Adam inilah yang kemudian berlanjut menjadi proses dramatisasi kehidupan manusia di alam semesta ini.
Proses kehidupan manusia dalam pencariannya terhadap Tuhan tidak bersifat linear artinya keyakinan Adam terhadap keesaan Tuhan tidak serta merta menjadikan seluruh manusia memiliki paham monoteisme (paham satu Tuhan). Potensi negatif atau pembangkangan yang terdapat dalam diri manusia memungkinkan manusia tidak percaya terhadap Tuhan (atheis dan agnotisme), membuat Tuhan-Tuhan yang banyak (politeisme), dan pencampuran keyakinan (sinkritisme) antara keyakinan terhadap Tuhan dengan Keyakinan terhadap kekuatan yang lain. Semua itu merupakan sesuatu yang sangat manusiawi. Justru dengan adanya potensi tersebut akan memberikan peluang bagi manusia untuk terus berjuang dalam mencari dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Inilah yang dalam konsep Islam disebut sebagai “ujian” bagi manusia untuk memilih jalan yang terbaik, jalan yang lurus, yakni jalan yang diridhai Tuhan dan jalan yang diberi ni’mat.
Pada konteks inilah dakwah Islam amat diperlukan untuk memberikan penjelasan tentang konsepsi Tuhan yang diyakini oleh Islam. Tuhan yang diyakini bukan hanya sebagai objek kajian dari pemikiran manusia saja, melainkan Tuhan yang senantiasa dirasakan kehadirannya dalam diri manusia, Tuhan yang aktif, Tuhan yang penuh kasih sayang, dan Tuhan yang menjadi tujuan manusia untuk bertemu. Di samping itu, Tuhan merupakan satu-satunya zat yang berkuasa dan memiliki otoritas penuh. Semua prinsip, hukum, adat kebiasaan yang berbeda dengan petunjuk Tuhan harus dijauhi. Semua teori atau ajaran yang tidak mengacu kepada petunjuk Tuhan dapat dianggap sebagai menolak kedaulatan Tuhan dan membikin Tuhan-Tuhan selain daripada Tuhan Esa yang sebenarnya. Tunduk dan patuh kepada Tuhan berarti membawa seantero hidup manusia ini sesuai dengan kemauan Tuhan yang diwahyukan.
Penyimpangan keyakinan terhadap Tuhan dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan syirik. Al-Qur’an menyebutkan dua ciri utama dari kemusyrikan yaitu: pertama, menganggap Tuhan mempunyai sekutu (syarik). Kedua, menganggap Tuhan mempunyai saingan (andad). Obyek sesembahan yg dilarang dan termasuk perbuatan syirik adalah menyembah berhala (QS. 6:74,7:138, 21:52), benda langit (41:37), benda mati (4:117), makhluk halus (6:101), dan tokoh yg dianggap Tuhan (4:171,5:116, 6:102, 19:82-92, 16:57, 17:40, dan 37:49). Sementara yang bisa dijadikan ilah sebagai saingan (andad) Tuhan adalah kecintaan (2:165), kataatan tanpa reserve terhadap ulama (9:31), fanatisme golongan, aliran (23:52-53, 30:31-32), kecintaan harta (9:24), dan hawa nafsu (25:43).
Persoalan tunduk dan patuh kepada Tuhan bagi manusia merupakan problem tersendiri. Tuhan yang eksistensinya sangat abstrak sulit untuk dapat ditangkap oleh manusia yang senantiasa berfikir di alam nyata atau realitas. Bagaimana harus tunduk dan mengetahui perintah-perintah-Nya, sementara Tuhan sendiri begitu abstrak bagi manusia? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu dijelaskan tentang fungsi syahadat yang kedua, yakni berkaitan dengan doktrin kerasulan atau kenabian. Menurut Al-Syahrastani, “kenabian merupakan rahmat yg diberikan oleh Allah kepada siapa saja hamba-Nya yang Dia kehendaki”.
Doktrin tersebut dianggap sebagai tanggapan Tuhan terhadap kebutuhan manusia akan petunjuk. Karena sangat mendasarnya keperluan itu, maka kenabian mulai dengan permulaan kehidupan manusia di dunia ini. Manusia pertama adalah juga nabi dan Rasul yang pertama. Karena kenabian adalah keperluan semua umat manusia, maka nabi-nabi bukan merupakan hak istimewa dari sesuatu ras atau wilayah tertentu. Menurut al-Qur’ân, Nabi dan Rasul dibangkitkan di semua bagian dunia ini. Mereka dituntut untuk menyampaikan dan mengamalkan kebenaran itu serta mengajak kepada umat manusia untuk tunduk dan patuh kepada Tuhan. Petunjuk Tuhan yang diajarkan kepada mereka diwahyukan dalam bentuk final dan sempurna kepada Nabi Muhammad saw yang bukan hanya menyampaikan kepada orang lain, tetapi juga mengamalkannya dan dengan sukses mendirikan masyarakat dan negara atas dasar wahyu itu.
Selain itu, doktrin kenabian disebabkan karena Akal manusia tidak mampu mengungkap hakekat kebenaran (QS. 2:216) dan Tuhan berkomunikasi dengan orang pilihan-Nya untuk mengajarkan manusia dalam beribadah pada Tuhan (QS. 22: 75). Untuk itulah, Tuhan mengutus para Nabi sesuai dengan waktu dan kondisi umat-nya “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan” (QS.5:48).
Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir mengajarkan misi yang sama dengan rasul-rasul sebelumnya yakni mengesakan Allah ”Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku (Q.S. 21:25). Allah adalah Rab (aktif) dan malik (penguasa). Allah adalah Tuhan Yang Esa (QS. 112:1-4), yang membantah konsep Yahudi bahwa uzair anak Allah (QS. 9:30) dan menyembah sapi (QS. 2: 67-71), serta membantah konsep Nasrani tentang trinitas (QS. 5:72-73).
Pengesaan terhadap Allah swt merupakan persoalan aqidah atau keyakinan. Manusia meyakini sesuatu manakala sesuatu tersebut dapat dilihat atau disaksikan secara langsung melalui indera manusia. Di samping itu, keyakinan manusia dapat diperoleh melalui berita yang diyakini kejujuran si pembawa berita. Kita tidak bisa memungkiri wujud sesuatu, hanya karena kita tidak bisa menjangkaunya dengan mata (indera). Contohnya kita dapat meyakini adanya waktu yang terus berputar dalam kehidupan manusia, namun kita tidak bisa menjangkau keberadaan waktu tersebut. Begitu juga keyakinan kepada Allah tidak harus dibangun melalui penginderaan secara langsung, melainkan melalui pemberitaan yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang ma’shum dan jujur.
Selain itu, manusia juga sejak lahir telah dibekali keimanan oleh Allah swt. Iman adalah fithrah setiap manusia “dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. 7:172).
Mengingat Allah Maha Absolut, maka antara Allah dan manusia selalu ada “jarak” yang amat jauh sehingga manusia bersikap “paradoksal” dalam memposisikan Allah. Allah yang diyakini sebagai yang teramat jauh, bahkan tidak terjangkau (transendent), tetapi sekaligus juga berada bersama, bahkan di dalam diri kita (immanent). Sebagai akibatnya, manusia menangkap kehadiran Allah melalui simbol-simbol yang disakralkan. Adanya jarak yang jauh antara Allah dan manusia, maka jarak itu dijembatani dengan nama-nama serta tanda-tanda dalam bahasa arab disebut asma (QS.21: 25, 20:14), ayat (QS. 20:113), dan alam (QS. 3:190-191).
Para ulama ketika memperkenalkan dan memberikan pemahaman tentang eksistensi dan peran Allah, melalui ilmu tauhid. Sayangnya, ilmu tauhid yang ada cenderung pada pemahaman yang bersifat intelektual dengan memperkenalkan hukum akal menjadi sifat wajib, mustahil dan jaiz. Umat Islam sangat hapal sekali dengan sifat wajib Allah, seperti wujud, qidam, baqa, mukhalafatu lilhawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan seterusnya, tetapi kurang memahami dalam praktek keseharian manusia sehingga hapalan tersebut tidak bisa mengatasi problematika kemanusiaan. Ilmu tauhid semacam itu tidak membuahkan elan vital (gairah hidup), melainkan hanya inner force (kekuatan batin).
Padahal inti pembahasan tauhid adalah pembahasan Allah. Sementara Allah senantiasa berada di dalam kehidupan manusia “tiada pertemuan antara tiga orang kecuali Tuhan yg keempat, juga tidak lima orang kecuali Tuhan yg keenam, dan tidak pula yg lebih sedikit atau lebih banyak kecuali Tuhan pun ada di sana” (QS. 58:7). Dengan demikian tauhid berperan sebagai pembangun kesadaran manusia dalam menjalani kehidupan. Bahkan, tauhid oleh Allah diibaratkan seperti pohon. Jika tauhidnya kuat, maka unsur lainnya (ibadah dan muamalah) akan kuat.“tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yg baik (tauhid) seperti pohon yg baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat” (QS. 14:24-25).
Oleh karena itu, pemahaman yang perlu dikembangkan dalam diri umat Islam tentang Allah, yakni secara individual, kita perlu menghadirkan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara mengingat Allah terus menerus “hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbilah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”(QS.33: 41-42). Kemudian mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan yang serba suci dan mulia dalam perilaku kita sehari-hari dan perlu diwujudkan dengan cara ikut berpartisipasi dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan dan persoalan-persoalan sosial yang ada di masyarakat. Isu-isu perburuhan dan ketenagakerjaan, kemiskinan, gender, pemberdayaan masyarakat, pluralisme agama, lingkungan hidup, kesadaran hukum, pendidikan, dan moralitas bangsa merupakan isu-isu besar yang membutuhkan perhatian dari seorang muslim yang bertauhid kepada Allah
Menurut Fazlurrahman, sebenarnya yang dituju oleh Al-Qur’an bukanlah Tuhan, melainkan manusia dan tingkah lakunya. Ketika manusia sekarang dihadapkan pada berbagai macam tantangan dan perkembangan sosial-kemasyarakatan yang begitu cepat, maka dibutuhkan tauhid yang tidak hanya menekankan keselamatan individu saja, tetapi juga keselamatan sosial. Oleh karena itu, semangat al-Qur’an untuk menggabungkan tauhid akidah dengan tauhid sosial perlu diwujudkan dalam kehidupan manusia. Bahkan, menurut Komaruddin Hidayat bahwa dalam pandangan al-Qur’an kesadaran spiritualitas seseorang terimpit erat dengan kesadaran kemanusiaannya. Makin tinggi kesadaran keberagamaan seseorang, mestinya makin tinggi juga kualitas kemanusiaannya.