Saturday 14 June 2014

KRITIS TERHADAP MEDIA MASSA

Di era informasi dan globalisasi seperti sekarang ini, kehadiran dan peran media massa tidak bisa ditolak. Pada era ini, seolah-olah informasi tak perlu lagi dicari, tapi ia datang layaknya banjir yang tak bisa dihindari kedatangannya. Surat kabar, majalah, radio, film, televisi, dan internet, semuanya menyuguhkan informasi yang berbeda-beda dengan pasar yang berbeda-beda pula. Bahkan, Internet sekarang ini bukan lagi sesuatu yang dianggap sekedar media dalam arti perantara yang menghantarkan pesan dari satu pihak ke pihak lain. Jauh lebih dari itu, internet adalah sebuah ruang ekspresi, perpustakaan, toko buku, bioskop, televisi, tempat rekreasi, ruang komunitas, jejaring sosial dan lain sebagainya. Peran media massa amat besar dalam pembentukan opini, perubahan pola pikir dan juga mempengaruhi perilaku individu dan masyarakat. Salah satu contoh sederhana, ketika Seorang Wali Kota Surabaya diwawancarai dalam salah satu stasiun televisi swasta dan ia menceritakan tentang realitas yang dihadapinya cukup berat, ia menangis dan berencana akan mundur dari posisi sebagai Wali Kota. Ternyata hasil wawancara tersebut mendapatkan respons yang luar biasa dari para pendengar dan pemirsa stasiun televisi. Berbagai dukungan untuk tidak mundur, bukan hanya datang dari masyarakat Surabaya, tetapi juga dari berbagai kota lainnya di Indonesia, bahkan dari presiden Republik Indonesia. Selanjutnya, pemberitaan dan analisis berbagai media pun bermunculan tentang kejadian yang menimpa Wali Kota Surabaya tersebut. Terlepas dari pro dan kontra dari pemberitaan media massa yang ada. Hal terpenting yang ingin disampaikan pada kesempatan ini bahwa betapa dahsyatnya atau power full-nya peran media massa dalam kehidupan individu dan masyarakat. Menurut Mc Luhan “media merupakan perluasan dari alat indera manusia”. Dengan melihat televisi, indera kita bisa menembus sampai ke Mekkah ketika ribuan manusia merintih di kaki kabah. Melalui koran kita bisa menikmati peristiwa-peristiwa dunia yang terjadi pada saat yang sama. Telinga kita bisa memanjang seketika dengan bantuan kabel telepon atau HP. Seorang mubaligh bisa menyampaikan nasehat-nasehat keagamaannya ke seluruh penjuru tanah air secara serentak melalui media televisi dan seluruh panca indera kita bisa bergerak mengikuti berbagai irama yang ditayangkan melalui saluran dunia maya. Meskipun media massa memiliki peran yang begitu signifikan bagi kehidupan individu dan masyarakat, tetapi harus disadari juga bahwa media massa juga memiliki pengaruh kuat untuk merusak individu dan masyarakat. Banyak perilaku anak yang berbuat kasar dan berkata kotor karena dipengaruhi oleh tontonan televisi yang kental dengan nuansa kekerasan dan menggunakan kata-kata kasar. Banyak remaja yang MBA (Married By Accident atau nikah karena hamil terlebih dahulu), mabuk-mabukan, tawuran dan sebagainya, akibat dari pengaruh media massa yang dibaca atau ditontonnya. Begitu juga, banyak masyarakat yang terpecah belah karena hasutan atau isu-isu yang dikembangkan oleh media massa. Malcom X, seorang tokoh agama dan aktivis Islam Amerika menyatakan ”Jika engkau tidak hati-hati, koran-koran akan membuat engkau membenci orang yang sedang ditindas, dan mencintai orang-orang yang sedang menindas”. Oleh karena itu, sikap kita terhadap pemberitaan yang dilakukan oleh media massa hendaknya dibangun sikap berhati-hati dalam menerima pemberitaan, sebagaimana firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al-Hujurat ayat 6). Selanjutnya, untuk menumbuhkan sikap kehati-hatian, ada beberapa langkah yang mesti dilakukan oleh individu atau umat Islam yaitu: Pertama, jadilah pembaca atau penonton yang aktif (active recipient). Mengingat kehadiran media massa tidak bisa ditolak, maka pembaca atau penontonlah yang perlu aktif untuk menyikapi kehadiran media massa. Pembaca atau penonton yang menentukan, apakah media massa yang ada di hadapannya perlu dibaca atau ditonton? Jika tidak berkenan, pembaca atau penonton dapat memutar atau mengganti dengan media massa yang lain atau bisa juga meninggalkannya. Pada konteks inilah pembaca atau penonton dituntut untuk kritis terhadap media massa yang hadir di tengah-tengah kita sekalian. Bisa jadi, berita yang ditampilkan hanya untuk memenuhi kebutuhan industri media massa, pemilik media, untuk memperjuangkan ideologi yang dibangun oleh media massa, ada pesanan tertentu dari penguasa atau pemilik modal atau untuk memecah belah umat. Kedua, pentingnya umat Islam menerapkan Islam sebagai ideologi. Alm. M. Natsir menyebut “Islam sebagai ideologi”. Artinya umat Islam perlu menjadikan Islam sebagai sistem perikehidupan atau sebagai pandangan hidup. Dengan menerapkan Islam sebagai pandangan hidup, maka umat sebagai pembaca atau penonton akan membentengi dirinya dari pengaruh opini atau pemberitaan dari media massa. Umat Islam akan memakai kacamata Islam ketika melihat realitas yang disajikan media massa. Bagi umat yang sudah menjadikan Islam sebagai pandangan hidup, tak perlu khawatir dengan wacana atau pemberitaan yang digelontorkan oleh media massa sekuler sekalipun. Perang penguasaan wacana sesungguhnya, justru terjadi pada umat Islam yang belum menerapkan Islam sebagai pandangan hidup. Mereka yang menganggap Islam sebagai aspek ritual atau spiritualitas semata, sehingga pandangan hidup mereka masih bisa dipengaruhi oleh nilai-nilai lain, seperti sekularisme, kapitalisme, humanisme atau liberalisasi agama. Mereka adalah massa mengambang yang terombang-ambing dalam wacana tidak Islami. Mereka yang biasanya menafsirkan berita dengan nalar dan pengetahuan yang terbatas mengenai Islam. Ketiga, kita perkuat terus sumber daya insani umat islam dengan cara terus belajar ilmu pengetahuan, terutama teknologi informasi dan media massa. Pendidikan jurnalistik perlu diberikan kepada para pelajar dan mahasiswa muslim sejak usia muda. Dengan melatih mereka untuk membaca dan menulis secara tekun, akan membawa mereka pada penguasaan wacana. Kelak diharapkan akan lahir jurnalis-jurnalis yang mengusung Islam sebagai pandangan hidup yang mampu memilah dan mengecek kebenaran sebuah fakta dan melakukan verifikasi dengan landasan kejujuran. Firman Allah "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kamu) yang akan memperoleh hasil yang baik di dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan”. (Q.S. al-An’am 135) Keempat, Umat Islam perlu merebut media sekuler menjadi media yang Islami baik dengan cara ikut berpatisipasi dalam mengisi ruang-ruang media massa yang terbuka untuk siapa pun dan atau membangun stasiun-stasiun dan industri-industri media Islam. Dengan cara demikian, berita-berita yang diusung oleh media massa akan menampilkan berita-berita yang memiliki karakter yang jelas dan dapat mendorong umat lebih giat untuk mengisi pembangunan dan kehidupan yang penuh dengan makna dan nilai-nilai kebaikan. Selain itu, berita yang ditampilkan akan membangun citra bangsa yang positif, bangsa yang tidak korup, bangsa yang memiliki etos kerja tinggi, bangsa yang terbaik dalam menjalankan ajaran agama, dan bangsa yang ramah, toleran serta bangsa yang cinta pada perdamaian dan keselamatan dunia. Wallahu a’lam bi al-shawab

SHALAT DAN ETIKA SOSIAL

Peringatan isra mi’roj yang dilakukan oleh umat Islam pada setiap tanggal 27 Rajab memiliki arti penting dalam perjalanan keberagamaan seorang muslim. Demikian halnya dengan peringatan isra mi’roj yang terjadi pada tahun 2014 ini yang jatuh pada hari selasa tanggal 27 Mei 2014. Dalam peringatan tersebut, paling tidak seorang muslim diingatkan untuk senantiasa meningkatkan keimanannya kepada Allah SWT dan berupaya untuk meningkatkan kualitas ibadah shalatnya. Jika dinalar secara logika, peristiwa isra mi’raj yang dilakukan oleh Rasulullah tentu amat sulit untuk diyakini. Rasulullah melakukan perjalanan yang amat jauh dari masjid al-Haram (Mekkah) menuju ke masjid al-Aqsha (Palestina) dan dilanjutkan ke sidrat al-muntaha yang waktunya hanya dilakukan pada malam hari. Para Sahabat pun ada sebagian yang tidak memercayai peristiwa yang berada di luar kebiasaan manusia yang dikenal saat itu. Hanya para Sahabat yang memiliki iman teguh yang dapat meyakini peristiwa luar biasa tersebut. Oleh karena itu, dalam memperingati peristiwa isra mi’roj Rasulullah, keimanan seseorang kepada Allah SWT perlu terus menerus ditingkatkan dan diwujudkan dalam bentuk ibadah kepada-Nya. Iman seseorang ibarat lampu pijar yang voltasenya ada yang rendah, sedang dan tinggi. Jika voltasenya rendah, maka cahayanya akan redup dan kurang menyinari lingkungan sekitarnya. Demikian juga, apabila iman seseorang voltasenya rendah, maka keyakinannya kepada hal-hal yang gaib---termasuk peristiwa isra mi’roj Nabi--- akan mengalami keraguan dan bahkan tidak memercayainya. Tetapi sebaliknya, jika imannya kuat, peristiwa apapun yang terjadi di alam semesta ini tentu akan menambah keyakinannya kepada Allah SWT. Iman merupakan sesuatu yang abstrak dan sulit untuk diketahui oleh orang lain. Bisa jadi seseorang menyatakan dirinya sebagai orang yang beriman, tetapi sikap dan perilakunya tidak mencerminkan keimanannya kepada Allah SWT. Seperti yang dilakukan oleh orang Arab Badui yang menyatakan diri beriman, tetapi perilakunya tidak mununjukkan keimanan mereka kepada Allah SWT. Hal ini dikisahkan dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 “orang-orang Arab Badui berkata “kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka), kamu belum beriman, tetapi katakanlah “kami telah tunduk (Islam)”, karena iman belum masuk ke dalam hatimu...” Untuk menguji keimanan seseorang kepada Allah SWT, maka Rasulullah mendapatkan “oleh-oleh” dari peristiwa isra mi’roj berupa perintah untuk melaksanakan shalat lima waktu. Shalat merupakan wujud atau bukti seseorang beriman kepada Allah SWT. Shalat merupakan ibadah fisik dan ruhani yang nyata dan bisa diamati secara langsung. Orang yang tidak menjalankan shalat berarti orang yang masih diragukan keimanannya kepada Allah SWT. Di dalam perintah shalat terkandung banyak makna yang bisa dijadikan pegangan hidup bagi seorang muslim. Secara intrinsik, shalat (ibadah) mengandung arti mendekatkan diri kepada Allah SWT (QS. 9:99). Orang yang rajin shalat, hati dan jiwa raganya dekat dengan Allah. Segala hal yang menimpa dirinya baik suka maupun duka selalu dikaitkan dengan Allah. Bahkan seorang hamba yang sedang shalat bisa menangis karena begitu dekatnya ia dengan Allah SWT. Sedangkan secara ekstrinsik, shalat mengandung arti pendidikan bagi individu atau kelompok (QS. 29:45). Shalat mengajarkan seseorang atau kelompok untuk bisa menjadi disiplin, tepat waktu, kepatuhan pada pemimpin, kebersamaan, dan lain sebagainya. Pendidikan dari shalat yang penuh makna tersebut dalam realitasnya belum banyak dilakukan oleh umat Islam. Shalat umumnya masih sebatas ritual individu belaka dan makna shalat belum banyak diterjemahkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari di masyarakat. Menyempitnya makna ibadah shalat kepada ibadah yang bersifat individual mengakibatkan munculnya akhlak sosial yang belum bisa dibanggakan dari kebanyakan umat Islam, yang menimbulkan pemisahan ibadah shalat dengan dimensi etika sosial. Orang yang rajin shalat mestinya peduli dan ikut berpartisipasi dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan dan persoalan-persoalan sosial yang ada di masyarakat. Masalah perburuhan, kemiskinan, ketidakadilan gender, toleransi agama, lingkungan hidup, penegakan hukum, kualitas pendidikan, dan moralitas bangsa merupakan masalah-masalah besar yang membutuhkan perhatian dari seorang muslim yang beriman kepada Allah dan melaksanakan shalat. Rasulullah melakukan isro mi’raj bukan sebuah pendakian spiritual (peningkatan iman) semata, tetapi lebih berorientasi kepada manusia di bumi melalui shalat dan zikir. Shalat dan zikir merupakan sebuah orientasi keilahian yang diterjemahkan dengan orientasi praksis untuk menciptakan salam (perdamaian) di antara sesama manusia. Rasulullah bukanlah seorang yang egois, beliau mi’roj dan bertemu dengan Allah, kemudian beliau berdiam diri dan asyik menjalankan ibadah kepada Allah di sidrat al-muntaha. Justru sebaliknya, Rasulullah setelah bertemu Allah dan menerima perintah shalat, beliau turun ke bumi untuk menjalani kehidupan dunia dan ikut terlibat dalam proses memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi pada zaman Rasulullah. Oleh karena itu, dalam memperingati isro mi’roj Nabi Muhammad tahun ini, hal terpenting yang perlu dibenahi di kalangan umat Islam, bagaimana kita bisa menyeimbangkan antara ibadah shalat dan perilaku sosial kita di masyarakat. Tunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang maju, toleran, progresif, berkualitas, dan berilmu karena mengejawantahkan nilai-nilai shalat. Wallahu a’lam bi al-shawab