Thursday 23 April 2009

BENCANA: HUKUMAN ALLAH ATAU ULAH MANUSIA?

Dalam salah satu pengajian di majelis ta’lim, seorang ustadz mengajukan pertanyaan kepada jama’ah apakah bencana-bencana yang menimpa bangsa Indonesia merupakan hukuman dari Allah? Sebagian jama’ah menjawab setuju dengan pertanyaan tersebut, tetapi sebagian yang lainnya menyatakan ketidaksetujuannya. Mereka yang tidak setuju mengatakan bahwa musibah-musibah yang menimpa bangsa ini akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
Lantas dengan nada yang lembut, ustadz mengajukan kembali pertanyaan lanjutan untuk memperdalam permasalahan, bagaimana saudara-saudara mengetahui bahwa bencana-bencana tersebut merupakan hukuman atau ulah perbuatah manusia? Dengan nada yang bersemangat sebagian jemaah yang setuju dengan hukuman Allah membeberkan jawabannya, ya….wong kita saksikan sendiri baik melalui berita atau menyaksikan sendiri bahwa dalam kehidupan bangsa ini banyak terjadi korupsi, penipuan, penyalahgunaan jabatan, banyak perjudian, narkoba dan sebagainya. Bukankah itu tanda-tanda kemaksiatan atau dosa yang dilakukan oleh bangsa ini. Dalam kitab suci al-Qur’an telah dijelaskan bagaimana Tuhan menghukum bangsa-bangsa terdahulu akibat dari perbuatan dosa yang mereka lakukan seperti hukuman terhadap kaum ‘Ad, Samud, dan kaum-kaum Nabi terdahulu lainnya.
Dengan nada yang sama, sebagian jamaah yang tidak setuju dengan hukuman Allah menjelaskan bahwa musibah yang menimpa kita ini karena perbuatan tangan manusia seperti menggunduli hutan, membuang sampah sembarangan, menggali sumber alam yang berlebihan, membangun perumahan tanpa serapan air, membawa penumpang melebihi kapasitas, dan sebagainya. Allah dalam surat ar-rum ayat 41 sudah mengingatkan umatnya “telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Sayangnya peringatan Allah ini kurang dipahami dan diamalkan sehingga banyak terjadi bencana.
Oke-oke… jamaah ustadz memang pintar-pintar, ustadz bangga dan kagum pada saudara-saudara. Tapi, ngomong-ngomong apakah pernyataan-pernyataan saudara tersebut sudah dipikirkan masak-masak, saya khawatir saudara hanya bisa bicara di dalam majlis ta’lim ini, sementara ketika saudara kembali ke rumah masing-masing dan menjalani aktivitasnya lupa terhadap apa yang telah dinyatakan tadi. Dengan nada tersipu malu mereka mengatakan ya kadang-kadang Ustadz, namanya juga manusia sering lupa dan tempat bersalah, bukan begitu Ustadz?
Untuk itu, kata ustadz, kita harus saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran (watawashau bil haq wa tawashau bissabr) dan hal tersebut menjadi kewajiban kita sebagai individu muslim. Selanjutnya, ustadz mau bertanya lagi, kira-kira masih berkenan atau tidak para jamaah sekalian. Ya, tentu ustadz, kami sangat senang apabila model pengajian seperti ini. kami diajak untuk berfikir dan sekaligus kami juga mendapatkan wawasan serta mendapatkan motivasi untuk melakukan tindakan tanpa ada pemaksaan atau indoktrinasi.
Baiklah, saya tidak mau bencana alam ini hanya menjadi perdebatan belaka (lip service). Apalagi terlalu jauh memikirkan hal-hal gaib yang berada di luar kemampuan kita sebagai manusia. Hal terpenting adalah kita sudah merasakan betapa bencana itu menyakitkan, penuh duka, dan derita. Persoalannya, menurut saudara apa kira-kira hikmah dibalik bencana-bencana yang menimpa bangsa ini? menurut Aa Gym (Abdullah Gymnastiar), segala kejadian atau peristiwa yang menimpa manusia akan ada hikmah dibalik kejadian atau peristiwa tersebut.
Waduuh…kok semakin sulit saja pertanyaannya ustadz, keluh salah seorang jama’ah. Menurut kami---salah seorang jama’ah berujar--- sulit rasanya kita bisa menebak secara pasti hikmah dibalik bencana ini. Mungkin masing-masing individu akan berbeda-beda dalam memahami hikmahnya, ada yang semakin dekat dengan Allah, ada yang berhati-hati dalam bertindak terhadap alam, ada yang semakin maju dalam hidupnya, ada yang sabar dalam menghadapi ujian, dan sebagainya. Semua itu tergantung tingkat keimanan, kapasitas pemahaman, dan pengalaman keagamaan dari masing-masing individu. Adapun secara kolektif, kita hanya bisa berharap ada perubahan yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya yang terpenting menurut kami adalah bagaimana sikap dan perilaku kita di masa yang akan datang. Sebab perintah dalam surat ar-rum ayat 41 di atas berupa kata kerja (yarjiun) artinya kita harus berbuat supaya menuju jalan kebenaran.
Lantas menurut saudara-saudara, apa yang mesti dilakukan? Begini ustadz, kata jama’ah yang lainnya: pertama, kita sebagai khalifatullah harus mengenal diri kita sendiri bahwa kita adalah makhluk dua dimensi yang terdiri dari unsur ruhani dan jasmani. Kedua unsur ini perlu dipenuhi secara seimbang agar tidak terjadi konflik dalam bersikap dan berperilaku. Jangan kita kerja terus, tetapi lupa Tuhan dan sebalikya jangan ibadah terus, tetapi lupa dengan kerja untuk kehidupan.
Kedua, kita perlu mengenal alam tempat kita hidup. Alam merupakan anugerah Allah kepada manusia untuk dimakmurkan (Q.S.11:61). Dalam proses memakmurkan perlu diciptakan keseimbangan (hukum keadilan) antara kepentingan manusia dengan kepentingan alam. Jangan mengeksploitasi alam hanya untuk kepentingan manusia tanpa memikirkan kepentingan kelestarian alam. Banyak krisis ekologi yang terjadi karena ada ketidakseimbangan antara kepentingan manusia dengan kepentingan alam. Selain itu, alam diciptakan oleh Tuhan dengan ukuran yang serapih-rapihnya (Q.S. 25:2) artinya peristiwa-peristiwa alam dalam batas-batas tertentu mampu diprediksi oleh manusia sehingga manusia perlu mempersiapkannya atau menjaganya.
Ketiga, sunnatullah berupa hukum kausalitas (sebab akibat) dan hukum sejarah berlaku secara universal di alam raya ini, tidak mengenal jenis kelamin, agama, suku, warna kulit dan sebagainya. Siapa yang sungguh-sungguh dialah yang dapat, begitulah hukum sejarah berlaku, sebaliknya siapa yang malas dialah yang akan menderita.
Subhanallah… ustadz menunjukkan rasa kekagumannya, ternyata jama’ahku orang-orang yang memiliki wawasan yang luas. Kalau jama’ah seperti ini, majlis ta’lim akan dinamis, tidak monoton serta banyak jama’ahnya. Ustadz itu pengetahuannya juga terbatas, tidak semua hal berkaitan dengan kehidupan diketahuinya. Apalagi pada era modern seperti sekarang ini, arus informasi begitu cepat, masing-masing individu punya kelebihan dan kekurangan, tak terkecuali ustadz, tinggal bagaimana kita saling bertukar informasi dan bertawsiah di antara kita. Demikian, mudah-mudahan pengajian melalui dialog ini ada manfaatnya dan semoga kita dapat memetik pelajaran untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. amin….
[i] Penulis adalah Dosen Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto

No comments: