Friday 25 November 2016

sejarah filsafat

Asal Usul dan Pengertian Filsafat Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap filsafat, maka terlebih dahulu dikaji tentang asal-usul filsafat. Apakah filsafat merupakan pengetahuan yang jauh dari realitas kehidupan manusia ataukah sebaliknya filsafat merupakan pengetahuan yang tidak bisa dipisahkan dari realitas kehidupan manusia. Sebagian masyarakat awam memandang filsafat sebagai pengetahuan yang membuat pusing kepala atau njlimet dan kering dari persoalan kehidupan. Ada sebagian lain yang memandang filsafat sebagai pengetahuan yang dapat menjerumuskan manusia kepada jalan kesesatan, mendangkalkan aqidah, jauh dari Tuhan dan pandangan pejoratif lainnya. Namun demikian, ada juga orang---terutama kalangan ilmuwan---yang memandang penting keberadaan filsafat bagi perkembangan ilmu dan kehidupan manusia itu sendiri. Menurut catatan sejarah bahwa asal kata filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berasal dari kata philo dan shopia. Philo berarti cinta dan shopia berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Menurut K. Bertens, perkataan filsuf (philosophos) untuk pertama kalinya dalam sejarah dipergunakan oleh Phytagoras (abad ke-6 SM). Tetapi kesaksian sejarah tentang kehidupan dan aktivitas Phytagoras sering tercampur dengan legenda-legenda sehingga seringkali kebenarannya tidak dapat dibedakan dari rekaan-rekaan saja. Meskipun demikian, menurut K. Bertens, istilah filsafat dan filsuf telah lazim digunakan oleh sokrates dan plato (abad ke-5 SM). Kemudian istilah philosophia diarabisasikan dengan istilah falsafah dan bagi bangsa Indonesia terjadi pengharakatan yang salah dari deretan huruf f-l-s-f-h (falsafah, Arab) atau f-l-s-f-t (falsafat, Persi) dan dikenal dengan istilah filsafat. Sebenarnya makna filsafat yang dipahami oleh masyarakat Yunani tidak sederhana seperti arti filsafat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris “the love of wisdom”, melainkan lebih pada usaha pencarian yang berhubungan dengan pengembangan ilmu pengetahuan atau dalam bahasa lain lebih mengembangkan pada sikap curiosity (rasa ingin tahu) yang dimiliki oleh manusia untuk mengungkapkan hakekat segala sesuatu yang ada. Pemahaman seperti disebutkan di atas disebabkan karena masyarakat Yunani merupakan masyarakat yang memiliki sikap rasional dan demokratis. Sikap rasional mereka pertunjukkan dengan semangat yang tinggi dalam memerangi takhayul dan kebodohan serta menjadikan pengetahuan sebagai kebenaran tertinggi. Sikap rasional orang-orang Yunani dibangun dengan cara mengembangkan pola berpikir yang sintetis, kontinyu dan analogis. Sedangkan sikap demokratis mereka perlihatkan dalam suatu rapat warga negara dan sikap bebas dalam mengeluarkan pendapat. Dengan karakteristik seperti itulah, pemikiran filosofis tumbuh dengan subur di masyarakat Yunani. Selain itu, filsafat bagi masyarakat Yunani bukanlah sebagai ilmu pengetahuan seperti yang dipahami sekarang. Filsafat bagi mereka merupakan segala pengetahuan ilmiah yang awalnya dimaksudkan untuk melepaskan diri dari kekuasaan golongan agama berhala (bersahaja) dengan jalan menguji kebenaran ajaran-ajarannya. Apa yang dibenarkan oleh akal pikiran dinamakan filsafat dan apa yang tidak dapat diterima oleh akal pikiran dimasukkan ke dalam cerita-cerita keagamaan. Menurut Edward MC Nall Burns and Philip Lee Ralph dalam bukunya World Civilizations From Ancient to Contemporary bahwa filsafat Yunani mula-mula tumbuh pada abad ke-6 SM di sebuah kota kecil di Militos Asia Kecil dalam sebuah mazhab Milesian (Milesian School). Militos pada saat itu merupakan kota terpenting dari kedua belas kota Ionia. Kota ini letaknya di bagian selatan pesisir Asia Kecil. Kota ini mempunyai pelabuhan yang memungkinkan perhubungan dengan banyak daerah lain. Militos menjadi titik pertemuan di antara berbagai macam kebudayaan dan tempat segala macam informasi yang saling berinteraksi antara satu daerah dengan daerah yang lain. Corak filsafat yang dikembangkan pada wilayah itu lebih bersifat saintifik dan materialistik. Agenda utamanya berputar pada persoalan hakekat dunia fisik. Mereka percaya bahwa segala sesuatu dapat direduksi ke substansi primer atau materi asal yang sumbernya berasal dari dunia bintang-bintang, hewan dan manusia yang dijadikan tempat kembali yang utama. Filsafat yang tumbuh di Yunani sebenarnya bukanlah sebagai awal mula munculnya filsafat di dunia seperti pendapat umum yang ada selama ini. Di mesir kuno sebenarnya telah berkembang pemikiran yang bersifat filosofis. Mesir telah melahirkan pemikiran tentang hakekat alam semesta, masalah sosial dan etika manusia. Bahkan, menurut Hasan Hanafi, filsafat Yunani tidak lepas dari pengaruh asia kecil yang secara geografis dan historis bersinggungan dengan peradaban Mesopotamia dan agama timur, terutama dari Persia. Legenda siris, osiris dan horis sangat populer dalam mitologi Yunani. Lebih jauh Hasan Hanafi mengatakan bahwa phitagoras mengenal matematika Timur dan Tasawufnya. Plato pernah belajar di Memphis selama kurang lebih 15 tahun. Teorinya tentang idea diambilnya dari teori kesenian mesir kuno. Hanya saja teori kesenian mesir kuno diterapkan dalam lukisan yang kasat mata, sedangkan teori plato berupa pemikiran yang abstrak. Demikian juga, seluruh aspek iluminis tasawuf dalam filsafat Yunani, termasuk esoterisme Socrates, kontemplasi Thales dan pakar fisika awal tentang kejadian alam dan kehidupan, menurut Hasan Hanafi, merupakan kelanjutan peradaban timur. Astronomi, ilmu sihir dan dunia paranormal di Yunani juga diboyong dari Babilonia. Senada dengan Hasan Hanafi, al-Amiri---seorang filsuf Muslim dari Khurasan--- menyatakan bahwa tradisi filsafat muncul pertama kali dari tradisi Islam. Menurutnya, orang yang pertama kali membangun tradisi filsafat adalah Luqman, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surat Luqman ayat 12 ”dan sesungguhnya kami telah memberikan kepada Lukman al-Hikmah”. Kata al-hikmah oleh para filosof dan pemikir Islam seringkali diidentikkan dengan filsafat, karena al-hikmah artinya bijaksana dan relevan dengan makna filsafat itu sendiri. Menurut al-Amiri, Luqman adalah orang yang hidup pada zaman nabi Daud AS dan tinggal di negeri Syam. Orang Yunani yang mengambil dan belajar hikmah dari luqman adalah empedoklas. Tokoh Yunani lain, Phytagoras, belajar hikmah dari sahabat nabi Sulaiman bin Daud AS di Mesir. Sahabat-sahabat Sulaiman ini adalah orang-orang yang berasal dari negeri Syam. Selanjutnya, Socrates dan Plato yang banyak mengambil hikmah dari Phytagoras. Di Yunani, kata filsafat memang muncul untuk pertama kalinya. Namun, benih-benih pemikiran filosofis pada dasarnya telah ada, terutama berasal dari peradaban Timur seperti Mesir Kuno, Mesopotamia dan sebagainya. Prestasi Yunani lebih pada pengembangan filsafat dalam pengertian yang lebih inklusif ketimbang yang pernah dimiliki oleh para pemikir sebelumnya. Oleh karena itu, klaim Barat bahwa filsafat yang tumbuh di Yunani sebagai ajaran yang genuine dan imune dari pengaruh luar perlu dipertanyakan kembali keabsahannya. Dengan demikian, filsafat dapat dikatakan sebagai pengetahuan yang bersumber dari tradisi Islam yang memiliki nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Dengan pemahaman seperti ini, keberadaan filsafat menjadi urgen bagi kehidupan manusia, tidak terkecuali bagi umat Islam. Dalam perkembangan awalnya, filsafat dipahami sebagai induk dari segala ilmu. Namun, setelah ilmu mengalami perkembangan yang pesat dan terpecah dalam berbagai spesialisasi, maka filsafat pun menjadi ilmu tersendiri. Para ahli dalam mendefinisikan filsafat berbeda-beda. Ada yang mendefinisikannya secara luas dan ada yang sempit. Menurut C.A. Van Peursen bahwa filsafat adalah suatu usaha pemikiran yang secara kritis berusaha menelusuri kembali akar segala sesuatu sehingga nampak hidup dan arah religius yang mendasari suatu tindakan. Melalui jalan filsafat dapat diketahui atau diteliti latar belakang suatu tindakan dan gambaran tentang dunia dan manusia. Sementara, al-Haj Hafiz Ghulam Sarwar, mendefinisikan filsafat sebagai sebuah kajian sistematik mengenai sifat kenyataan. Definisi sarwar ini bertitik tolak dari pemahaman bahwa tujuan utama dari kajian filsafat adalah untuk memastikan sifat kenyataan yang mutlak. Sedangkan kenyataan adalah dasar keberadaan, tetapi kenyataan itu merupakan kualitas yang tidak dapat didefinisikan. Oleh karena itu, melalui filsafat kenyataan tersebut dapat dikaji dan dipahami. Dari definisi di atas nampak sekali bahwa filsafat memiliki definisi yang sangat luas. Bahkan, menurut Dean Inge yang dikutip oleh Sarwar mengatakan bahwa saya sulit membedakan antara filsafat dan agama. Untuk memudahkan dalam memahami makna filsafat dalam buku ini, maka penulis mengartikan filsafat menjadi tiga pengertian, yaitu: Pertama, filsafat sebagai ilmu (Philosophy as science). Filsafat dalam pengertian ini lebih banyak dikaji melalui pendekatan sejarah dan sistematika filsafat. Kedua, filsafat sebagai cara berfikir (philosophy as a method of thought). Dalam hal ini filsafat lebih dimaksudkan sebagai metode berfikir. Berpikir yang dimaksud adalah berfikir yang konsepsional, mendasar dan radikal sehingga menyentuh esensi yang dipikirkan. Ketiga, filsafat sebagai pandangan hidup (philosophy as way of life). Orang yang menggunakan filsafat sebagai pandangan hidup, maka orang tersebut akan menjadi dewasa dalam berpikir artinya akan selalu ada keseimbangan dalam pribadinya, ilmu yang telah dimiliki akan mengendap, bersedia mawas diri dan jauh dari sifat emosional. Ia menjadi dewasa dalam berpikir dan berbuat, bersikap kritis, peka terhadap permasalahan hidup, bersifat terbuka, toleran dan selalu melihat sesuatu persoalan secara multidimensional. itulah sebagian kutipan tulisan yang ada di buku "FILSAFAT DAKWAH" karya Dr. Abdul Basit, M. Ag yang diterbitkan oleh Rajawali Press,Jakarta

Saturday 14 June 2014

KRITIS TERHADAP MEDIA MASSA

Di era informasi dan globalisasi seperti sekarang ini, kehadiran dan peran media massa tidak bisa ditolak. Pada era ini, seolah-olah informasi tak perlu lagi dicari, tapi ia datang layaknya banjir yang tak bisa dihindari kedatangannya. Surat kabar, majalah, radio, film, televisi, dan internet, semuanya menyuguhkan informasi yang berbeda-beda dengan pasar yang berbeda-beda pula. Bahkan, Internet sekarang ini bukan lagi sesuatu yang dianggap sekedar media dalam arti perantara yang menghantarkan pesan dari satu pihak ke pihak lain. Jauh lebih dari itu, internet adalah sebuah ruang ekspresi, perpustakaan, toko buku, bioskop, televisi, tempat rekreasi, ruang komunitas, jejaring sosial dan lain sebagainya. Peran media massa amat besar dalam pembentukan opini, perubahan pola pikir dan juga mempengaruhi perilaku individu dan masyarakat. Salah satu contoh sederhana, ketika Seorang Wali Kota Surabaya diwawancarai dalam salah satu stasiun televisi swasta dan ia menceritakan tentang realitas yang dihadapinya cukup berat, ia menangis dan berencana akan mundur dari posisi sebagai Wali Kota. Ternyata hasil wawancara tersebut mendapatkan respons yang luar biasa dari para pendengar dan pemirsa stasiun televisi. Berbagai dukungan untuk tidak mundur, bukan hanya datang dari masyarakat Surabaya, tetapi juga dari berbagai kota lainnya di Indonesia, bahkan dari presiden Republik Indonesia. Selanjutnya, pemberitaan dan analisis berbagai media pun bermunculan tentang kejadian yang menimpa Wali Kota Surabaya tersebut. Terlepas dari pro dan kontra dari pemberitaan media massa yang ada. Hal terpenting yang ingin disampaikan pada kesempatan ini bahwa betapa dahsyatnya atau power full-nya peran media massa dalam kehidupan individu dan masyarakat. Menurut Mc Luhan “media merupakan perluasan dari alat indera manusia”. Dengan melihat televisi, indera kita bisa menembus sampai ke Mekkah ketika ribuan manusia merintih di kaki kabah. Melalui koran kita bisa menikmati peristiwa-peristiwa dunia yang terjadi pada saat yang sama. Telinga kita bisa memanjang seketika dengan bantuan kabel telepon atau HP. Seorang mubaligh bisa menyampaikan nasehat-nasehat keagamaannya ke seluruh penjuru tanah air secara serentak melalui media televisi dan seluruh panca indera kita bisa bergerak mengikuti berbagai irama yang ditayangkan melalui saluran dunia maya. Meskipun media massa memiliki peran yang begitu signifikan bagi kehidupan individu dan masyarakat, tetapi harus disadari juga bahwa media massa juga memiliki pengaruh kuat untuk merusak individu dan masyarakat. Banyak perilaku anak yang berbuat kasar dan berkata kotor karena dipengaruhi oleh tontonan televisi yang kental dengan nuansa kekerasan dan menggunakan kata-kata kasar. Banyak remaja yang MBA (Married By Accident atau nikah karena hamil terlebih dahulu), mabuk-mabukan, tawuran dan sebagainya, akibat dari pengaruh media massa yang dibaca atau ditontonnya. Begitu juga, banyak masyarakat yang terpecah belah karena hasutan atau isu-isu yang dikembangkan oleh media massa. Malcom X, seorang tokoh agama dan aktivis Islam Amerika menyatakan ”Jika engkau tidak hati-hati, koran-koran akan membuat engkau membenci orang yang sedang ditindas, dan mencintai orang-orang yang sedang menindas”. Oleh karena itu, sikap kita terhadap pemberitaan yang dilakukan oleh media massa hendaknya dibangun sikap berhati-hati dalam menerima pemberitaan, sebagaimana firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al-Hujurat ayat 6). Selanjutnya, untuk menumbuhkan sikap kehati-hatian, ada beberapa langkah yang mesti dilakukan oleh individu atau umat Islam yaitu: Pertama, jadilah pembaca atau penonton yang aktif (active recipient). Mengingat kehadiran media massa tidak bisa ditolak, maka pembaca atau penontonlah yang perlu aktif untuk menyikapi kehadiran media massa. Pembaca atau penonton yang menentukan, apakah media massa yang ada di hadapannya perlu dibaca atau ditonton? Jika tidak berkenan, pembaca atau penonton dapat memutar atau mengganti dengan media massa yang lain atau bisa juga meninggalkannya. Pada konteks inilah pembaca atau penonton dituntut untuk kritis terhadap media massa yang hadir di tengah-tengah kita sekalian. Bisa jadi, berita yang ditampilkan hanya untuk memenuhi kebutuhan industri media massa, pemilik media, untuk memperjuangkan ideologi yang dibangun oleh media massa, ada pesanan tertentu dari penguasa atau pemilik modal atau untuk memecah belah umat. Kedua, pentingnya umat Islam menerapkan Islam sebagai ideologi. Alm. M. Natsir menyebut “Islam sebagai ideologi”. Artinya umat Islam perlu menjadikan Islam sebagai sistem perikehidupan atau sebagai pandangan hidup. Dengan menerapkan Islam sebagai pandangan hidup, maka umat sebagai pembaca atau penonton akan membentengi dirinya dari pengaruh opini atau pemberitaan dari media massa. Umat Islam akan memakai kacamata Islam ketika melihat realitas yang disajikan media massa. Bagi umat yang sudah menjadikan Islam sebagai pandangan hidup, tak perlu khawatir dengan wacana atau pemberitaan yang digelontorkan oleh media massa sekuler sekalipun. Perang penguasaan wacana sesungguhnya, justru terjadi pada umat Islam yang belum menerapkan Islam sebagai pandangan hidup. Mereka yang menganggap Islam sebagai aspek ritual atau spiritualitas semata, sehingga pandangan hidup mereka masih bisa dipengaruhi oleh nilai-nilai lain, seperti sekularisme, kapitalisme, humanisme atau liberalisasi agama. Mereka adalah massa mengambang yang terombang-ambing dalam wacana tidak Islami. Mereka yang biasanya menafsirkan berita dengan nalar dan pengetahuan yang terbatas mengenai Islam. Ketiga, kita perkuat terus sumber daya insani umat islam dengan cara terus belajar ilmu pengetahuan, terutama teknologi informasi dan media massa. Pendidikan jurnalistik perlu diberikan kepada para pelajar dan mahasiswa muslim sejak usia muda. Dengan melatih mereka untuk membaca dan menulis secara tekun, akan membawa mereka pada penguasaan wacana. Kelak diharapkan akan lahir jurnalis-jurnalis yang mengusung Islam sebagai pandangan hidup yang mampu memilah dan mengecek kebenaran sebuah fakta dan melakukan verifikasi dengan landasan kejujuran. Firman Allah "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kamu) yang akan memperoleh hasil yang baik di dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan”. (Q.S. al-An’am 135) Keempat, Umat Islam perlu merebut media sekuler menjadi media yang Islami baik dengan cara ikut berpatisipasi dalam mengisi ruang-ruang media massa yang terbuka untuk siapa pun dan atau membangun stasiun-stasiun dan industri-industri media Islam. Dengan cara demikian, berita-berita yang diusung oleh media massa akan menampilkan berita-berita yang memiliki karakter yang jelas dan dapat mendorong umat lebih giat untuk mengisi pembangunan dan kehidupan yang penuh dengan makna dan nilai-nilai kebaikan. Selain itu, berita yang ditampilkan akan membangun citra bangsa yang positif, bangsa yang tidak korup, bangsa yang memiliki etos kerja tinggi, bangsa yang terbaik dalam menjalankan ajaran agama, dan bangsa yang ramah, toleran serta bangsa yang cinta pada perdamaian dan keselamatan dunia. Wallahu a’lam bi al-shawab

SHALAT DAN ETIKA SOSIAL

Peringatan isra mi’roj yang dilakukan oleh umat Islam pada setiap tanggal 27 Rajab memiliki arti penting dalam perjalanan keberagamaan seorang muslim. Demikian halnya dengan peringatan isra mi’roj yang terjadi pada tahun 2014 ini yang jatuh pada hari selasa tanggal 27 Mei 2014. Dalam peringatan tersebut, paling tidak seorang muslim diingatkan untuk senantiasa meningkatkan keimanannya kepada Allah SWT dan berupaya untuk meningkatkan kualitas ibadah shalatnya. Jika dinalar secara logika, peristiwa isra mi’raj yang dilakukan oleh Rasulullah tentu amat sulit untuk diyakini. Rasulullah melakukan perjalanan yang amat jauh dari masjid al-Haram (Mekkah) menuju ke masjid al-Aqsha (Palestina) dan dilanjutkan ke sidrat al-muntaha yang waktunya hanya dilakukan pada malam hari. Para Sahabat pun ada sebagian yang tidak memercayai peristiwa yang berada di luar kebiasaan manusia yang dikenal saat itu. Hanya para Sahabat yang memiliki iman teguh yang dapat meyakini peristiwa luar biasa tersebut. Oleh karena itu, dalam memperingati peristiwa isra mi’roj Rasulullah, keimanan seseorang kepada Allah SWT perlu terus menerus ditingkatkan dan diwujudkan dalam bentuk ibadah kepada-Nya. Iman seseorang ibarat lampu pijar yang voltasenya ada yang rendah, sedang dan tinggi. Jika voltasenya rendah, maka cahayanya akan redup dan kurang menyinari lingkungan sekitarnya. Demikian juga, apabila iman seseorang voltasenya rendah, maka keyakinannya kepada hal-hal yang gaib---termasuk peristiwa isra mi’roj Nabi--- akan mengalami keraguan dan bahkan tidak memercayainya. Tetapi sebaliknya, jika imannya kuat, peristiwa apapun yang terjadi di alam semesta ini tentu akan menambah keyakinannya kepada Allah SWT. Iman merupakan sesuatu yang abstrak dan sulit untuk diketahui oleh orang lain. Bisa jadi seseorang menyatakan dirinya sebagai orang yang beriman, tetapi sikap dan perilakunya tidak mencerminkan keimanannya kepada Allah SWT. Seperti yang dilakukan oleh orang Arab Badui yang menyatakan diri beriman, tetapi perilakunya tidak mununjukkan keimanan mereka kepada Allah SWT. Hal ini dikisahkan dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 “orang-orang Arab Badui berkata “kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka), kamu belum beriman, tetapi katakanlah “kami telah tunduk (Islam)”, karena iman belum masuk ke dalam hatimu...” Untuk menguji keimanan seseorang kepada Allah SWT, maka Rasulullah mendapatkan “oleh-oleh” dari peristiwa isra mi’roj berupa perintah untuk melaksanakan shalat lima waktu. Shalat merupakan wujud atau bukti seseorang beriman kepada Allah SWT. Shalat merupakan ibadah fisik dan ruhani yang nyata dan bisa diamati secara langsung. Orang yang tidak menjalankan shalat berarti orang yang masih diragukan keimanannya kepada Allah SWT. Di dalam perintah shalat terkandung banyak makna yang bisa dijadikan pegangan hidup bagi seorang muslim. Secara intrinsik, shalat (ibadah) mengandung arti mendekatkan diri kepada Allah SWT (QS. 9:99). Orang yang rajin shalat, hati dan jiwa raganya dekat dengan Allah. Segala hal yang menimpa dirinya baik suka maupun duka selalu dikaitkan dengan Allah. Bahkan seorang hamba yang sedang shalat bisa menangis karena begitu dekatnya ia dengan Allah SWT. Sedangkan secara ekstrinsik, shalat mengandung arti pendidikan bagi individu atau kelompok (QS. 29:45). Shalat mengajarkan seseorang atau kelompok untuk bisa menjadi disiplin, tepat waktu, kepatuhan pada pemimpin, kebersamaan, dan lain sebagainya. Pendidikan dari shalat yang penuh makna tersebut dalam realitasnya belum banyak dilakukan oleh umat Islam. Shalat umumnya masih sebatas ritual individu belaka dan makna shalat belum banyak diterjemahkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari di masyarakat. Menyempitnya makna ibadah shalat kepada ibadah yang bersifat individual mengakibatkan munculnya akhlak sosial yang belum bisa dibanggakan dari kebanyakan umat Islam, yang menimbulkan pemisahan ibadah shalat dengan dimensi etika sosial. Orang yang rajin shalat mestinya peduli dan ikut berpartisipasi dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan dan persoalan-persoalan sosial yang ada di masyarakat. Masalah perburuhan, kemiskinan, ketidakadilan gender, toleransi agama, lingkungan hidup, penegakan hukum, kualitas pendidikan, dan moralitas bangsa merupakan masalah-masalah besar yang membutuhkan perhatian dari seorang muslim yang beriman kepada Allah dan melaksanakan shalat. Rasulullah melakukan isro mi’raj bukan sebuah pendakian spiritual (peningkatan iman) semata, tetapi lebih berorientasi kepada manusia di bumi melalui shalat dan zikir. Shalat dan zikir merupakan sebuah orientasi keilahian yang diterjemahkan dengan orientasi praksis untuk menciptakan salam (perdamaian) di antara sesama manusia. Rasulullah bukanlah seorang yang egois, beliau mi’roj dan bertemu dengan Allah, kemudian beliau berdiam diri dan asyik menjalankan ibadah kepada Allah di sidrat al-muntaha. Justru sebaliknya, Rasulullah setelah bertemu Allah dan menerima perintah shalat, beliau turun ke bumi untuk menjalani kehidupan dunia dan ikut terlibat dalam proses memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi pada zaman Rasulullah. Oleh karena itu, dalam memperingati isro mi’roj Nabi Muhammad tahun ini, hal terpenting yang perlu dibenahi di kalangan umat Islam, bagaimana kita bisa menyeimbangkan antara ibadah shalat dan perilaku sosial kita di masyarakat. Tunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang maju, toleran, progresif, berkualitas, dan berilmu karena mengejawantahkan nilai-nilai shalat. Wallahu a’lam bi al-shawab

Wednesday 26 February 2014

MEMBENTENGI UMAT DARI PENYIMPANGAN AJARAN AGAMA

Di era modern ini, umat Islam dihadapkan pada berbagai problem kehidupan yang semakin kompleks. Salah satu diantaranya berkaitan dengan krisis pemahaman terhadap ajaran Islam dan praktek keberagamaan yang cenderung bersifat simbolis dan retoris. Dari sisi pemahaman, adanya kecenderungan paham radikal dan fundamentalis telah menghiasi wacana di berbagai media, buku, majalah dan sebagainya. Di satu sisi, Islam dipahami begitu canggih (sophisticated) dan filosofis sehingga semua ajaran serba dirasionalkan. Di sisi lain, ada kecenderungan pemahaman yang rigid (kaku), a historis (tidak mengenal sejarah) dan terkadang bersifat militan serta menyalahkan pemahaman-pemahaman di luar kelompok mereka. Demikian juga, dalam praktek keberagamaan, nilai-nilai ajaran Islam hanya menyentuh pada wilayah-wilayah yang bersifat ubudiyah saja. Keshalehan hanya ada di masjid, majelis taklim, dan tempat-tempat ibadah lain, sementara di pasar, di gedung dewan, di pemerintahan, di kantor, di sekolah dan di tempat-tempat publik, nilai-nilai ajaran Islam diabaikan dan ditinggalkan. Mengapa hal tersebut bisa terjadi di Indonesia? Memang tidak ada faktor tunggal yang bisa memberikan kejelasan penyebabnya. Bisa jadi karena faktor psikologis, lingkungan, ekonomi, sosial politik dan sebagainya. Dari berbagai faktor tersebut, menurut penulis, ada dua faktor dominan, yaitu faktor sempitnya pemahaman yang dimiliki oleh seorang muslim tentang ajaran agamanya dan kurang istiqomah dalam mempraktekkan ajaran agamanya. Pemahaman merupakan proses mental yang ada pada diri seseorang. Proses ini diawali dari informasi atau pengetahuan yang diterima seseorang dari berbagai sumber, baik melalui proses pengajaran yang dilakukan oleh guru/ustadz atau dengan cara membaca buku, kitab, majalah atau lainnya. Jika informasi atau pengetahuan yang didapat bersifat radikal atau fundamentalis, maka akan berpengaruh terhadap pemahaman keberagamaan seseorang. Kondisi yang terjadi pada masa sekarang ini, banyak dari pemuda atau umat Islam yang memanfaatkan media online (internet) untuk mendapatkan pengetahuan agama. Kyai “google” atau “yahoo” dijadikan sebagai rujukan untuk mencari berbagai hal yang berkaitan dengan permasalahan agama atau tentang ajaran agama. Semuanya didapatkan dengan mudah, tanpa harus berpikir dan susah-susah membaca buku. Terkadang dengan seenaknya mereka meng-copy paste, mengutip dan menjadi rujukan untuk bertindak. Mereka telan mentah-mentah semua informasi yang berasal dari internet, tanpa melakukan konfirmasi dengan rujukan lain atau dengan Ustadz/Kyai secara langsung. Hal yang menyedihkan, ternayata informasi yang ada di dunia maya banyak didominasi oleh paham-paham keagamaan yang radikal dan fundamental. Oleh karena itu, tugas berat umat Islam adalah bagaimana menampilkan wacana Islam moderat di media online dan memperbanyak majelis taklim untuk membentengi generasi muda dan umat Islam dari pemahaman-pemahaman yang keliru. Selain itu, tradisi membaca buku atau kitab hendaknya terus dikembangkan dan dibudayakan di kalangan pemuda dan umat Islam. Dengan banyak membaca, seseorang akan memiliki pengetahuan yang kaya, bisa mengkritisi berbagai informasi yang didapatnya, bersikap bijak dan pada akhirnya dapat memiliki pemahaman agama yang mendalam. Selanjutnya, untuk membentengi umat Islam dari penyimpangan ajaran agama, Allah telah menyatakan agar umat yang telah memeluk Islam perlu istiqomah dalam meyakini dan melaksanakan ajaran Islam. Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita” (QS. Al-Ahqaf ayat 13) Istiqomah artinya teguh hati, taat asas dan konsisten. Teguh pendirian dalam tauhid artinya istiqomah tidak hanya menyangkut ibadah murni, tetapi juga menyangkut hal keduniawian. Bagaimana dengan keduniaan, apakah kita hanya statis atau jalan di tempat, padahal ciri kemodernan selalu berubah, bahkan perubahan bersifat institusional/terlembagakan. Tidak, kita tidak tinggal diam, tetapi harus proaktif untuk mengambil peran terdepan dalam perubahan di masyarakat. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS. 13: 11) Istiqomah mengandung arti kemantapan, tetapi tidak berarti kemandegan, melainkan lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Seseorang hidup dinamis, berjalan di atas kebenaran demi kebenaran, untuk sampai akhirnya kembali kepada Tuhan. Semua aktivitas keseharian yang dilakukan oleh seorang muslim hendaknya bertitik tolak dari keyakinan agamanya dan terus konsisten menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Allah berjanji akan memberikan balasan dan rizki yang banyak manakala kita konsisten berada pada jalan Allah “dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan Lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak)”. (QS. Al-Jinn Ayat 16). Untuk bisa menjaga ke-istiqomah-an, maka upaya yang bisa dilakukan adalah: Pertama, pada diri seorang muslim hendaknya dihidupkan terus kesadaran tentang makna dan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya, yakni mencari ridla Allah swt. Langkah konkritnya, semua aktivitas manusia baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifatullah diarahkan semata-mata karena Allah swt. Dengan cara tersebut, hidup ini akan diisi dengan hal-hal yang bermanfaat baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Kedua, sering-seringlah untuk berkumpul dan bergaul dengan orang-orang yang shaleh. Dengan banyak berinteraksi dengan orang shaleh akan termotivasi untuk melakukan ajaran-ajaran agama dan jika ada hal-hal yang menyimpang berkaitan dengan pemahaman bisa didiskusikan bersama. Ketiga, senantiasa istigfar, manakala ada proses penyimpangan dari ketaatan kita kepada Allah. Tidak ada manusia di dunia ini yang suci dari kesalahan dan dosa, karenanya dengan banyak beristigfar akan mendekatkan diri kita kepada Allah swt dan senantiasa mawas diri dalam melakukan berbagai tindakan. Wallahu a’lam bi al-shawab

Tuesday 12 June 2012

DAKWAH MELALUI FILM DAN SINETRON: SEBUAH ALTERNATIF

Dengan ilmu hidup menjadi terarah, Dengan seni hidup menjadi indah dan, Dengan agama hidup menjadi bermakna A. Pendahuluan Dalam pertemuan warga di Rukun Tetangga, penulis mendapatkan pepatah dari seorang purnawirawan ABRI seperti yang tertera di atas. Pepatah itu Beliau ungkapkan dalam rangka mengajak para warga untuk mengikuti kegiatan seni suara yang Beliau adakan setiap malam sabtu. Tujuan kegiatan itu sederhana saja yakni untuk mengisi hiburan dan kegiatan warga. Bagi penulis, pepatah tersebut memberikan inspirasi untuk melihat realitas yang ada dan sekaligus menjadi titik tolak dalam tulisan ini. Betapa pepatah yang diungkapkan tersebut begitu mendalam apabila direnungi dan dilaksanakan. Fenomena yang ada di masyarakat ternyata antara ilmu, seni dan agama berjalan di rel masing-masing. Ilmu berkembang di dunianya tanpa mempertautkan dengan seni dan agama. Seni juga berjalan dengan melodinya sendiri tanpa memperhatikan nilai agama dan perkembangan ilmu pengetahuan. Demikian pula agama berjalan dengan alurnya tanpa mengindahkan nilai seni dan ilmu pengetahuan. Dengan keterbelahan ini, dalam realitas kita menyaksikan ada ATM untuk kondom, Bank sperma, kloning, perampokan Bank melalui teknologi komunikasi, foto telanjang demi keindahan, karikatur yang menelanjangi agama orang lain demi ekspresi kebebasan, banyaknya tato dan perhiasan yang melekat di tubuh manusia yang dianggap tabu demi keindahan, sikap para pemeluk agama yang menghancurkan tempat tinggal dan tempat ibadah sesamanya, bom bunuh diri demi agama, perang atas nama Tuhan, dan segudang realitas yang dapat kita saksikan setiap hari, bahkan setiap menit melalui berbagai media. Melihat fenomena-fenomena yang ada di masyarakat, terlalu simplistis apabila disimpulkan dari satu penyebab saja, yakni adanya keterbelahan antara dunia ilmu pengetahuan, seni, dan agama. Banyak faktor yang mempengaruhi dan melatarbelakangi lahirnya berbagai fenomena yang ada di masyarakat. Paling tidak, penulis ingin memberikan satu nuansa baru bahwa dari sekian benang kusut yang ada di masyarakat, ada sedikit benang yang bisa diluruskan dan dapat memberikan nuansa yang lebih mengembirakan. Mengingat ketiga bidang tersebut menjadi substansi bagi kehidupan manusia. Mungkinkah ketiganya bisa berjalan secara beriringan dan berkelindan serta bagaimana hal tersebut bisa dibangun sehingga akan melahirkan kedamaian dan kesejahteraan bagi umat manusia? Di kalangan umat Islam kajian tentang kesenian relatif sedikit. Kalau pun ada, kajian kesenian yang dilakukan oleh para Ulama lebih menekankan pada aspek fiqih dan teologis. Seni dilihat dari sudut pandang hitam-putih, apakah boleh atau tidak boleh (haram). Demikian juga secara teologis, seni dianggap sebagai sekuler sehingga menjauhkan manusia dari Tuhan. Dengan anggapan ini seni sulit berkembang di kalangan umat Islam. Karena umat Islam terbebani oleh justifikasi fiqih dan teologi yang menjadi pandangan hidupnya. Implikasinya, umat Islam tidak bisa berkreasi dan berinovasi lebih jauh dalam bidang seni. Padahal seni sangat membutuhkan ekspresi dan kreativitas individu. Berkenaan dengan tulisan ini, penulis ingin menjelajahi lebih jauh bagaimana pandangan Islam tentang dakwah, seni dan dakwah alternatif di masa depan. Tulisan ini akan dirangkai melalui paradigma besar terlebih dahulu agar dapat dioperasionalkan dalam tataran yang lebih strategis dan teknis. B. Dakwah Sebagai Aktivitas, Seni, dan Ilmu. Menurut Ismail Raji al-Faruqi, tidak ada agama yang dapat menghindari dakwah, jika ia memiliki kekuatan intelektual. Menolak dakwah berarti menolak kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan orang lain terhadap apa yang diklaim sebagai kebenaran agama. Tidak menuntut persetujuan berarti tidak serius dengan klaim itu atau berarti menyatakan klaim itu subyektif, partikularis atau relatif secara mutlak, karena itu tidak berlaku bagi orang lain selain pembuat klaim itu. Berdasarkan pendapat di atas berarti dakwah merupakan sebuah keharusan. Apalagi setelah Rasulullah wafat, kewajiban dakwah menjadi sebuah keniscayaan bagi umat Islam untuk terus menerus mensyiarkan agama Islam. Kewajiban ini sudah menjadi ketentuan (doktrin) Ilahiah yang dinyatakan secara langsung di dalam al-Qur’an seperti Q.S. al-Imran ayat 104, an-Nahl ayat 125, dan surat Yusuf ayat 108. Konsekuensi logis dari kewajiban tersebut, umat Islam perlu mengembangkan kreasi dan inovasi dalam melakukan aktivitas dakwah. Dakwah tidak hanya bualan atau permainan kata-kata saja, tetapi membutuhkan penalaran kritis sesuai dengan tingkat kemampuan obyek dakwah. Dakwah selalu terbuka terhadap bukti baru, alternatif baru, membangun bentuk baru berulang-ulang, memperhatikan temuan baru ilmu pengetahuan, dan memperhatikan kebutuhan baru situasi manusia. Dakwah juga tidak boleh memaksakan kehendak kepada jama’ahnya. Obyek dakwah harus merasa bebas sama sekali dari ancaman dan harus benar-benar yakin bahwa kebenaran yang diperolehnya merupakan hasil penilaiannya sendiri. Karenanya semua manusia boleh menilai dan mengapresiasi dakwah, sehingga kebenaran dan rahmatan lilalamin benar-benar tercipta. Dalam catatan sejarah, sejak Nabi Nuh memiliki kesadaran untuk mengajak kaumnya mengikuti aturan Tuhan, maka pada saat itu telah berlangsung aktivitas dakwah. Nabi Nuh mengajarkan tentang amar ma’ruf nahi munkar kepada para pengikutnya. Demikian pula Nabi-Nabi selanjutnya memberikan misi yang sama menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dalam rangka tunduk dan patuh kepada sang Khalik Allah SWT. Aktivitas dakwah semakin terorganisir dengan baik dan menjadi dakwah Islam setelah Rasulullah menerima wahyu dan menyebarkan agama Islam kepada umatnya. Pada saat itu dakwah disebarkan dengan berbagai cara baik dengan lisan, tulisan, dan perbuatan. Sayangnya generasi setelah Rasulullah tidak menindaklanjuti dakwah menjadi kajian keilmuan. Kalaupun ada, dakwah baru sebatas seni penyampaian (retorika). Dalam era globalisasi dan informasi ini, tuntutan terhadap profesionalisme semakin menguat. Karenanya dakwah perlu menyiapkan kader-kader profesional agar dakwah dapat diterima oleh masyarakat. Menyiapkan tenaga profesional memerlukan keilmuan sebagai landasan dan etika dalam tataran teknisnya. Untuk membuat film dakwah, majalah atau koran dakwah, konselor di lembaga dan profesi dakwah lainnya tentu harus ada tenaga profesional. Disinilah arti penting adanya perguruan tinggi atau lembaga-lembaga dakwah yang menyiapkan tenaga-tenaga profesional. Kelemahan yang ada selama ini, umat Islam belum memiliki tenaga-tenaga da’i profesional. Kalau pun ada, da’i yang dimaksud lebih berorientasi pada kemampuan retorika (muballigh). Kondisi demikian bisa dimaklumi mengingat dalam perjalanan panjang sejarah Islam, dakwah banyak disebarkan melalui ceramah. Bahkan, setiap minggu ada kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar bahwa umat Islam melakukan aksi ceramah (khutbah). Tidak heran kemudian masyarakat menangkap bahwa perlu ada kader-kader yang disiapkan untuk pandai merayu dan menarik penonton. Maka diadakanlah lomba da’i yang ditentukan oleh selera pasar seperti halnya lomba Indonesian Idol, lomba dangdut atau akademi fantasi. Lomba ini tidak ditentukan pada sejauhmana kedalaman da’i dalam menguasai ajaran Islam. Unsur yang terpenting bagaimana da’i bisa membuat orang tertawa dan mampu memikat penonton. Belum lagi umat Islam dihadapkan pada muballigh-muballigh yang muatan dakwahnya tidak jauh dari surga-neraka. Umat Islam tidak mendapatkan muatan bagaimana berdemokrasi, bagaimana menegakkan HAM, bagaimana berpolitik yang santun, bagaimana merekayasa masyarakat, bagaimana merespons zaman yang terus berubah dan sebagainya. Muballigh cenderung normatif dalam kajian-kajiannya. Bahkan, terkadang ada sebagian muballigh yang cenderung reaktif dan provokatif. Begitu bencana tsunami menimpa aceh, di berbagai mimbar muballigh seakan-akan “menghukum rakyat aceh” bahwa kejadian itu pantas untuk rakyat aceh dengan berbagai interpretasinya. Begitu juga, akhir-akhir ini ada sebagian muballigh yang mengutuk Ahmadiyah dan karikatur yang dimuat di majalah Jyllands Posten Denmark, sehingga kekerasan-kekerasan di masyarakat tidak bisa dielakkan. Saya tidak bermaksud untuk menafikan peran muballigh dan mengecilkan semangatnya. Sebagai seorang yang profesional mestinya muballigh bisa bersikap lebih bijak dengan tidak menjadi Tuhan, melainkan berada pada tingkat kemanusiaannya. Muballigh juga bisa belajar dan mengkaji perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih sehingga bisa memberikan muatan Islam yang lebih compatible dengan perkembangan zaman. Di samping itu, perlu diciptakan da’i-da’i profesional yang memiliki keahlian di bidangnya. Dengan cara itu dakwah bisa tampil dalam berbagai varian dan lini kehidupan, sehingga dakwah sebagai pengemban misi Islam bisa tercapai. Dakwah bisa dilakukan dengan cara-cara damai dan usaha-usaha yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sekarang masyarakat butuh makan, pengetahuan, ketrampilan dan suasana yang harmonis. Dakwah akan ditinggalkan masyarakat apabila dakwah tidak beranjak dari cara-cara normatif yang selama ini dipakai. Selain dakwah membutuhkan tenaga profesional, dakwah juga membutuhkan wahana atau situasi yang memungkinkan dakwah bisa berkembang dengan baik. Dalam tataran realitas dakwah belum dijadikan sebagai bagian dari sistem kehidupan bermasyarakat. Dakwah masih diposisikan secara marginal untuk urusan-urusan akhirat. Seorang da’i hanya diposisikan sebagai tukang do’a, pemimpin tahlilan/yasinan, pengusir roh jahat, guru ngaji, dan pemimpin shalat. Keberhasilan dan kegagalam masyarakat atau bangsa seringkali hanya diukur dari sisi ekonomi, politik, pendidikan, hukum, budaya dan ideologi. Dakwah tidak pernah diperhitungkan sebagai bagian yang bisa menyumbang atau merusak tatanan masyarakat. C. Seni Dalam Perspektif Islam. Pada bagian awal penulis telah menyinggung bahwa kajian seni jarang diminati dan digeluti oleh umat Islam. Sewaktu penulis kuliah program pascasarjana di IAIN Jakarta, penulis sempat terkaget dan heran ada mata kuliah pilihan yang namanya kesenian Islam. Dalam benak penulis ada pertanyaan, apa ada yang namanya seni Islam dan bagaimana wujud atau model kesenian islam itu? Pertanyaan ini muncul bisa dijadikan karena ada pandangan yang berkembang selama ini di masyarakat dan adanya praktek-praktek kesenian yang membentuk image penulis pada saat itu bahwa seni itu sekuler dan jauh dari nilai-nilai Islam. Bisa juga pandangan ini muncul karena kajian kesenian selama ini berkutat pada kajian fiqih dan teologi yang memunculkan wacana boleh dan tidak boleh (haram) kesenian tersebut. Salah satu contoh buku berjudul “al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar” yang ditulis oleh Abi Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khilal yang hidup pada tahun 311 H dan ditahqiq oleh Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha, diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, Beirut, 1986, membahas tinjauan hukum berkaitan dengan nyanyian, seruling, qasidah, not-not musik, dan syair. Contohnya: dimakruhkan mendengar qasidah (Akhbarana Ismail bin Ishak al-Tsaqafi Anna Aba Abd Allah suila ‘an isma’i al-qashaid faqaala: akrihhu) dan bid’ah mendengarkan dan membaca not-not musik (wa anna Abuu Bakr al-Marwaji qaala: suila Abu ‘Abd Allah ‘an al-qiraah bi-alhan faqaala: bid’ah, la yusma’). Sebaliknya, ketika penulis membaca buku Ismail Raji al-Faruqi dan Lamya al-Faruqi tentang Atlas Budaya Islam dan buku karya Sayyed Husein Nasr, Islamic Art and Spirituality ternyata seni Islam bersumber dari al-Qur’an dan al-Qur’an digambarkan sebagai karya seni pertama dalam Islam. Lebih jauh al-Faruqi menjelaskan bahwa seni Islam dilihat sebagai ekspresi Qur’an dalam warna, garis, gerak, bentuk, dan suara. Ada tiga alasan: Pertama, seni Islam mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan al-Qur’an, mengajar dan memperkuat persepsi tentang transendensi Tuhan dalam diri manusia. Kedua, al-Qur’an memberikan model pertama dan utama bagi kreativitas dan produksi estetis. Ketiga, al-Qur’an memberikan kepada peradaban Islam ideologi yang diekspresikan di dalam seninya, al-Qur’an juga memberikan model kandungan dan bentuk artistik yang pertama dan terpenting, serta al-Qur’an memberikan material terpenting bagi ikonografi seni Islam. Bertitik tolak dari pandangan di atas, seni sebaiknya tidak dipandang secara ideologis (fiqih oriented). Karena jawaban halal, haram, dan mubah sekalipun, tetap saja industri hiburan yang memanfaatkan karya dan kreatifitas seni akan tetap berlalu. Jawaban keagamaan terhadap seni sama sekali tidak akan mengubah produksi dan kreatifitas karya seni. Untuk itulah, penulis sepakat dengan pendapat M. Amin Abdullah bahwa seni perlu didekati dengan pendekatan keilmuan. Sekarang ini, hampir semua karya seni telah diproduksi dengan menggunakan teknologi canggih, yang semuanya dimungkinkan juga karena aktivitas keilmuan itu sendiri. Dengan sudut pandang keilmuan memungkinkan umat Islam dapat berkreasi lebih luas di bidang seni dan lebih selektif dalam memanfaatkan seni bagi kehidupan keberagamaan. Setelah memahami kedudukan seni, sudah seharusnya umat Islam membangun kesadaran akan perannya dalam membangun dan mengembangkan kreasi di bidang seni. Tanpa kesadaran akan peran, sebuah visi akan menjadi angan-angan. Tanpa kesadaran akan peran, sebuah strategi hanya akan menciptakan peran dan sebuah program yang baik akan menjadi omong kosong. Oleh karena itu, seni dapat dimanfaatkan dalam kegiatan-kegiatan dakwah. Namun perlu dicatat bahwa seni jangan hanya dianggap sebagai alat dakwah. Jadikan seni sebagai sebuah ekspresi seseorang yang bersifat universal artinya jika pelaku seni adalah umat Islam, maka seni yang dilakukan merupakan cerminan dari ekspresi seorang muslim, yakni seni yang bernuansa Islam. Dengan cara seperti ini akan memberikan peluang besar bagi uamt Islam untuk mengembangkan kreatifitas di bidang seni. Jika seni hanya dijadikan alat untuk perjuangan dakwah, penulis khawatir nantinya nuansa dakwahnya lebih kental dibandingkan dengan seninya, akhirnya orang menjadi tidak tertarik untuk melihatnya. Kemungkinan lain, si pelaku seni hanya bisa berakting demi seni dan menarik orang untuk mengikuti pesan dakwahnya, sementara seni hanya sekedar alat, tentulah kalau tujuannya sudah tercapai alatnya boleh ditinggalkan. Benar apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo, belum pernah ia mendengar ada orang masuk Islam setelah membaca puisi Sutardji Calzoum Bachri, atau menonton lukisan Amri Yahya atau melihat film Rhoma Irama, atau menyaksikan koreografi Huriah Adam, atau mendengar lagu Sam Bimbo. Untuk itulah, Kuntowijoyo mengatakan ada tiga fungsi seni yaitu: Pertama, seni dapat berfungsi sebagai ibadah, tazkiyah, tasbih, shadaqah dan sebagainya bagi pencipta dan penikmatnya. Kedua, seni dapat dijadikan identitas kelompok. Ketiga, seni dapat berarti syiar lambang kejayaan. Dengan tiga fungsi tersebut, seni Islam akan lahir dari para pengikutnya dan Islam akan ditampilkan dengan sejuk dan damai manakala dengan menggunakan seni karena seni tidak memaksa orang untuk menonton atau membacanya. D. Dakwah di Televisi Kehadiran televisi bagi masyarakat industri bagaikan “agama baru”. Betapa tidak, televisi telah menggeser agama-agama konvensional. Khotbahnya didengar dan disaksikan oleh jamaah yang lebih besar dari jemaah agama apapun. Rumah ibadahnya tersebar di seluruh pelosok bumi, ritus-ritusnya diikuti dengan penuh kekhidmatan dan dapat menggetarkan hati serta mempengaruhi bawah sadar manusia. Kehadiran televisi juga telah mengambil sebagian besar waktu manusia untuk menonton televisi. Menurut Broadcasting Yearbook (1985) rumah-rumah di Amerika Serikat, 25 % menonton TV di waktu pagi, 30 % di waktu sore, dan 63 % di waktu malam (jam 8-11), dan hampir ¾ atau 84 % dari mereka adalah menonton televisi. Selain kehadiran televisi yang luar biasa dahsyatnya, televisi juga memberikan pengaruh sosial, politik, ekonomi dan budaya. Secara sosial, televisi mempengaruhi efek psikologis dari para penonton, terutama pengaruh kekerasan dan hubungan antar jenis. Secara politik, televisi mempengaruhi struktur politik, opini publik, dan kultur politik. Secara ekonomi, televisi dapat mempengaruhi pola konsumsi individu/masyarakat dan harga-harga di pasar. Terakhir, secara budaya televisi berpengaruh terhadap perkembangan budaya di berbagai negara. Mengingat dampak televisi yang luar biasa bagi masyarakat, maka kegiatan-kegiatan dakwah pada era sekarang perlu diarahkan kepada pemanfaatan media elektronik, khususnya televisi. Dalam prosesnya umat Islam jangan hanya terjebak pada kegiatan-kegiatan dakwah yang selama ini berkembang di masyarakat, dakwah dengan menggunakan model-model ceramah. Umat Islam perlu menciptakan kreasi dan model baru dalam berdakwah di televisi. Secara garis besar, program di televisi dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Program-program fiksi dan reality programs. Program fiksi dapat berupa film-film cartoon atau sitcom (film atau sinetron yang menampilkan kehidupan keluarga dengan menampilkan tokoh-tokoh fiktif). Sementara program realitas dapat berupa berita-berita, dokumen-dokumen (seperti acara ABRI, keindahan alam, kreasi kerajinan dan sebagainya), memasak, olah raga, dan acara hiburan (musik) secara live. Umat Islam dapat mengisi program-program televisi yang fiksi. Saat ini program-program fiksi lebih banyak menampilkan kekerasan-kekerasan. Anak-anak kita setiap hari dalam beberapa jam ditampilkan film-film cartoon yang menampilkan kekerasan. Dalam suatu laporan dari Pusat Penelitian Anak bahwa program-program televisi untuk orang dewasa jauh lebih sedikit kekerasannya dibandingkan dengan program komersial untuk anak. Ada kurang lebih 20 sampau 25 aksi kekerasan perjam diberikan kepada anak melalui cartoon, sementara 3 sampai 5 aksi kekerasan selama perjam diberikan kepada orang dewasa. Belum lagi ditambah dengan sinetron-sinetron atau film-film keluarga yang menampilkan kekerasan-kekerasan pada anak seperti sinetron ratapan anak tiri, si jamin dan si joan, joshua oh joshua, tangisan anak tiri, dan sebagainya. Demikian juga, sinetron/film remaja yang banyak menampilkan aksi-aksi kekerasan yang ditayangkan pada jam-jam tayang dimana anak-anak sulit untuk menghindar dan tidak mau beranjak dari hadapan televisi, seperti kodrat, putri cahaya, pinokio, bawang putih-bawang merah, anakmu bukan anakku, maling kundang, dan banyak lagi sinetron remaja yang sedang digandrungi seluruh station televisi. Kekerasan-kekerasan yang ditampilkan oleh televisi itu sangat berpengaruh terhadap perilaku anak-anak. Televisi akan membentuk pikiran anak-anak, terutama imagenya tentang kekerasan. Selain itu, televisi juga mampu mendistorsi jalan pikiran anak-anak tentang realitas kehidupan sehingga anak-anak mudah frustasi, kurang bersahabat, dan lebih agresif. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, diantaranya: pertama, sebelum usia tujuh tahun, anak tidak mampu menghubungkan cerita dari awal hingga akhir atau tidak memahami alur (plot) cerita. Kedua, anak lebih mengingat aksi fisiknya dibandingkan dengan percakapan-percakapan yang ada. Ketiga, sebelum usia lima tahun anak belum mampu membedkan antara hayalan dengan realita, akibatnya anak mudah sekali untuk berperilaku kekerasan. Memang harus diakui juga bahwa pada saat ini di beberapa station televisi sedang maraknya sinetron-sinetron religius. Keberadaan sinetron ini, paling tidak, dapat meramaikan syiar Islam dan sekaligus dapat meminimalisir adanya adegan-adegan kekerasan di televisi. Kita sebagai umat Islam semestinya bersyukur dan berterima kasih kepada para pengelola station televisi dan rumah produksi (production house) beserta para aktor/aktris yang terlibat dalam sinetron-sinetron religius. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang menurut penulis perlu diperbaiki dan dikembangkan di masa depan. Pertama, sinetron-sinetron yang ada pada umumnya masih berkutat pada tema-tema penebalan iman atau penghukuman Allah atas pendosa. Sayangnya, penebalan iman yang disampaikan hanya dilihat dengan kacamata hitam putih. Si pendosa mendapatkan hukuman di dunia ini, biasanya menjelang kematian atau di tempat pemakaman. Hukuman yang diberikan seakan-akan benar terjadi, padahal dalam realitas bisa jadi hal tersebut sulit ditemukan keberadaannya. Apakah benar itu sebuah hukuman Tuhan ataukah itu hanya gejala alamiah yang disebabkan oleh penyakit yang diderita oleh makhluknya. Kejadian yang belum jelas dasarnya kemudian dijustifikasi oleh seorang Ustadz tentang kebenaran cerita tersebut berdasarkan kutipan ayat atau hadits. Akibatnya penonton diarahkan pada pemahaman keagamaan yang dangkal dan akal yang diberikan Tuhan tidak difungsikan secara kritis dan analitis. Kedua, ada sebagian sinetron yang bersifat sinkretis (penggabungan unsur mistik dengan unsur agama), terkadang unsur mistiknya lebih kuat. Sinetron semacam ini sulit untuk dikatakan bisa menebakan iman seseorang, justru dapat membawa seseorang kepada jurang kemusyrikan. Banyak cerita-cerita aneh yang sulit diterima secara logika atau nalar kritis seorang manusia. Dalam ajaran Islam, aktivitas-aktivitas yang berbau mistik (magic) dilarang dalam Islam, karena hal tersebut dapat menimbulkan kemusyrikan. Ketiga, terkadang penonton televisi dipamerkan dengan akting dari para aktor/aktris sinetron religius yang begitu bagus keislamannya. Tetapi di tempat yang sama penonton juga dipamerkan oleh aktor/aktris sinetron religius dengan perilaku yang justru bersebrangan dengan apa yang dimainkan. Dalam ungkapan lain, si aktor/aktris dalam sinetron religius bisa jadi Ustadz, tetapi di luar sinetron bisa jadi “penjahat” atau bisa mengotori ajaran agama itu sendiri. Jadi masih banyak aktris/aktor yang hanya memenuhi tuntutan pasar atau rating saja. Mereka belum menjadikan apa yang diperankannya itu sebagai ekspresi keimanannya sebagai seorang muslim dalam mengembangkan seni. Bertitik tolak dari urain di atas, peluang besar menantang kita sebagai umat Islam untuk mengisi kekosongan-kekosongan atau kelemahan-kelemahan yang ada. Film-film fiksi (cartoon) anak-anak yang membawa nuansa sejuk, penuh pendidikan dan memiliki nilai-nilai keagamaan menjadi lahan empuk untuk dikembangkan. Begitu juga, film-film/sinetron-sinetron keluarga yang bertitik tolak dari realitas dan mampu membangkitkan semangat untuk berusaha keras serta jauh dari aksi-aksi kekerasan. Berkaitan dengan sinetron religius, masih banyak tema-tema yang bisa diangkat ke permukaan dan relevan dengan realitas umat Islam. Kehidupan sosial keagamaan remaja, seorang muslim taat yang sukses berkarir dari bawah, kehidupan keberagamaan masyarakat pedesaan yang unik dan bersahaja, santri yang sukses dalam berwiraswasta, dan sebagainya. Angkatlah tema-tema yang bisa memotivasi dan menjadi contoh bagi umat Islam untuk menjadi maju dalam kehidupan dunia dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keislaman dan buatlah alur cerita yang tidak begitu kental dengan nuansa dakwahnya. Pada prinsipnya nilai-nilai Islam menjadi warna dalam alur cerita di dalam sinetron. Itulah yang penulis maksudkan bahwa seni tidak bisa dilepaskan dengan dakwah. Dalam seni terpancar nilai-nilai Islam sehingga orang terpanggil untuk mengikuti. Demikian juga, dakwah yang sejuk dan tidak memaksa merupakan cerminan rasa estetika (seni) yang ada pada diri da’i yang bisa disalurkan melalui media atau secara langsung. Untuk terciptanya keinginan tersebut, upaya-upaya yang bisa dilakukan adalah: Pertama, merubah paradigma dakwah di masyarakat dengan cara da’i/lembaga dakwah/Perguruan Tinggi menampilkan atau mensosialisasikan aktivitas-aktivitas dakwah secara variatif sehingga pemahaman umat tentang dakwah semakin terbuka. Kedua, mengajak dan memberikan pemahaman keagamaan kepada para aktor/aktris seniman bahwa mereka adalah bagian dari umat Islam yang sedang melakukan dakwah kepada para penonton/pembacanya. Karenanya ekspresi, tutur kata dan perilakunya dapat menjadi contoh bagi masyarakat dalam menjalankan kehidupannya. Ketiga, masyarakat perlu mendapatkan pemahaman yang utuh dan mendalam tentang agama dan media massa. Mengingat antara media massa dengan agama terjadi interaksi yang kontroversial. Media massa dengan tuntutan industrialisasi bisa jadi menampilkan sesuatu yang dianggap “haram” bagi agama. Karenanya sikap selektif dan menjadi penonton/pembaca akktif (active recipient) sangat diperlukan di era informasi ini. Keempat, perlu dibentuk dan difungsikan institusi-institusi atau komunitas-komunitas/klub-klub yang concern dalam pengembangan dakwah yang menggunakan media, khususnya media elektronik. Sebenarnya sudah ada lembaga-lembaga yang concern di bidang audio-visual seperti komunitas FUN yang merupakan gabungan dari institusi-institusi: M-Screen (divisi audio-visual KAMMI), sigma (divisi audio-visual UNJ), mimazah (mahasiswa/i Islam IKJ), Mer-C, Forum Lingkar Pena, Teater Kanvas, Teater Bening, dan Lembaga seni Budaya Muhammadiyah. Lembaga-lembaga semacam ini perlu diberdayakan dan disupport oleh lembaga atau umat Islam sehingga menghasilkan karya-karya terbaik untuk pengembangan Islam. Kelima, adanya kerjasama yang baik antar lembaga/komunitas/klub yang concern pada dakwah melalui audio-visual dan juga kerjasama dengan production house yang telah memiliki reputasi dan kepedulian terhadap kemajuan bangsa serta kerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang memungkinkan untuk dilakukan. Keenam, perlu diadakan kegiatan-kegiatan pameran, lomba karya seni (produksi audio-visual), dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat memacu umat Islam untuk berpartisipasi dan berkreasi. Ketujuh, umat Islam diupayakan memiliki station televisi yang dapat mengimbangi station-station yang ada. Sebagai catatan akhir, penulis ingin menyampaikan satu rumus yang diberikan oleh Malik bin Nabi bahwa untuk tercapai peradaban masa depan yang gemilang (arah peradaban), kuncinya adalah adanya prinsip moral plus cita rasa keindahan. Prinsip moral didapat melalui unsur agama yang disebarkan melalui aktivitas dakwah dan cita rasa keindahan didapat melalui unsur seni. Keduanya dakwah dan seni dapat berkolaborasi menuju peradaban yang penuh kedamaian sesuai dengan karakter Islam itu sendiri. Oleh karena itu, dakwah yang ditampilkan melalui seni, terutama dalam bentuk film dan sinetron menjadi pilihan alternatif untuk dakwah di masa depan. Buku yang ditangan Saudara ini dapat dijadikan salah satu bahan untuk memperdalam pemahaman tentang dakwah melalui sinetron dan film. Karenanya, Penulis apresiatif terhadap karya yang ditulis oleh Saudara Zaenal Arifin. Karya ini memberi sumbangsih besar dalam pengembangan dakwah melalui film dan sinetron. Apalagi tokoh yang dibidik dalam karya ini adalah Deddy Mizwar, seorang senior, penulis, aktor, dan da’i, yang tidak asing lagi dalam dunia perfilm-an dan sinetron. Karya ini layak untuk dibaca dan dikritisi agar umat Islam dapat mengambil pelajaran untuk diterapkan dalam pengembangan dakwah dan juga bisa mencontoh tokoh yang ditulis ini dalam pengembangan dunia perfilm-an dan sinetron. Semoga.. DAFTAR PUSTAKA A. Muis, Komunikasi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1986. Hasan Hanafi, Agama Kekerasan dan Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2001. Ismail Raji al-Faruqi dan Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Bandung: Mizan, 2001. Jhon L. Esposito, Islam The Straight Path, New York: Oxford University Press, 1988. Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Mesjid, Bandung: Mizan, 2001. Leo W. Jeffres, Mass Media Process and Effects, Illinois: Waveland Press, 1986. M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Bandung: Mizan, 2000. Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, Bandung: Mizan, 1994. Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Bogor: Litera Antar Nusa, 2000. Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000. S. Yunanto et al, Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, Jakarta: FES & The Ridep Institute, 2003. Thomas W. Arnold, Sejarah Da’wah Islam, Jakarta: Widjaja, 1981. Tarmizi Taher, Aspiring for the Middle Path Religious Harmony in Indonesia, Jakarta: Censis, 1997. Http://anglefire.com/television, Televisi and Violence.

MASYARAKAT ISLAM DAN PEMBERDAYAANNYA

Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab “syarikah” yang berarti perkumpulan. Istilah masyarakat yang berasal dari kata syarikah tersebut lebih dikenal dan begitu familiar bagi masyarakat Indonesia dibandingkan istilah Arab al-mujtama’ yang berarti masyarakat. Sementara, Naquib Alatas dan Anwar Ibrahim ketika memperkenalkan istilah masyarakat madani menggunakan istilah al-mujtama’ al-madani, bukan menggunakan istilah syarikah. Di dalam al-Qur’an, istilah masyarakat yang maknanya berhimpitan dengan kata syarikah dikenal dengan kata ummah. Ada kurang lebih 51 kali kata ummah digunakan oleh al-Qur’an dan 13 kali menggunakan kata umam. Istilah ummah/umam digunakan oleh al-Qur’an dalam dua cara: Pertama, ummah diartikan secara homonim (berdiri sendiri dan tidak berkaitan dengan arti masyarakat) yaitu waktu (QS. 11: 8), imam (QS. 16: 120), dan perilaku. Kedua, ummah dalam arti persekutuan masyarakat agama atau masyarakat Islam (QS. 43: 33). Arti kedua dari istilah ummah inilah yang dimaksudkan dengan masyarakat. Adapun definisi masyarakat, menurut Ralph Linton yang dikutip oleh Sidi Gazalba, yaitu kelompok manusia yang cukup lama hidup dan bekerjasama sehingga dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir mengenai dirinya sebagai kesatuan sosial yang mempunyai batas-batas tertentu. Sedangkan Murtadha Muthahhari mengartikan masyarakat adalah kelompok manusia yang saling terkait oleh sistem-sistem, adat istiadat, ritus-ritus dan hukum-hukum khas yang hidup bersama. Kapan masyarakat itu mulai ada di permukaan bumi ini? Jika mengacu kepada teori yang dikembangkan oleh al-Qur’an, masyarakat mulai ada dan terbentuk sejak zaman nabi Nuh as. Karena pada saat nabi Nuh sudah ada kaum atau kelompok manusia dan sudah ada syari’at (peraturan) yang menjadi pedoman dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh....” (QS. 42: 13). Menurut ajaran Islam, terbentuknya masyarakat pada zaman nabi Nuh tidak terlepas dari motivasi yang ada dalam diri manusia. Setiap individu secara fitrah (naluriah) memiliki sifat kemasyarakatan. Hal ini dapat diketahui dari realitas yang ada bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang bisa hidup sendirian dan tidak berkeinginan untuk berkelompok. Seluruh manusia pasti membutuhkan orang lain dan senantiasa berkeinginan untuk hidup berkelompok. Hidup berkelompok merupakan sifat bawaan, bukan karena keterpaksaan atau karena berdasarkan pilihan-pilihan yang dilakukan oleh individu. Dasar naluriah manusia hidup berkelompok disebabkan karena adanya perasaan badan yang membutuhkan rasa kehangatan. Laki-laki membutuhkan perempuan dan sebaliknya perempuan membutuhkan laki-laki. Dari kebutuhan tersebut lahirlah lembaga perkawinan dan pranata sosialnya. Selain itu, manusia berkumpul karena adanya usaha mencari keuntungan ekonomi atau untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum. Dari sanalah manusia pada awalnya melakukan model saling tukar menukar (barter) antara satu individu dengan individu lainnya, yang pada akhirnya terbentuk kelompok atau komunitas. Setelah adanya alat tukar berupa uang, manusia membentuk lembaga pasar dan pranata sosialnya. Al-Qur’an menjelaskan tentang kefitrahan manusia dalam membentuk kelompok seperti tertera dalam surat al-Hujurat ayat 13 ”Hai manusia, kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan seorang perempuan, dan telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Orang yang paling mulia di antara kamu ialah yang paling taqwa di antara kamu”. Dalam ayat ini ada falsafah keberadaan manusia yang diciptkan oleh Tuhan selalu hidup berkelompok-kelompok. Dengan dasar falsafah tersebut, maka hakekat dasar masyarakat adalah bersatu. Persatuan bisa berbentuk subyektif dan obyektif. Persatuan yang bersifat subyektif adalah persatuan yang didasarkan kepada agama. Dalam ajaran Islam, seluruh umat Islam adalah bersaudara, tidak mengenal batas-batas wilayah territorial, seperti tertera dalam al-Qur’an “Sesungguhnya orang mukmin adalah bersaudara” (QS. 49:10). Jika persaudaran secara subyektif tidak bisa tercapai dalam rangka bersatunya masyarakat, maka persatuan bisa dibentuk dalam kerangka persatuan yang bersifat obyektif, yakni kesatuan yang bersifat kemanusiaan. Kita berasal dari keturunan yang satu yaitu Adam dan Hawa. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 213 “manusia pada dasarnya adalah umat yang satu”. Bersatu dalam masyarakat bukan berarti tidak ada kebebasan individu, seakan-akan semuanya lebur menjadi satu seperti halnya senyawa kimiawi. Islam tetap menghargai kebebasan berpikir dan bertindak individu ketika ia bersatu dalam masyarakat. Persatuan yang dimaksud lebih pada konsep kebhinekaan dalam ketunggalan dan ketunggalan dalam kebhinekaan. Kalaupun di masyarakat terdapat perbedaan atau konflik akibat adanya gesekan dalam berinteraksi, tetapi Islam tidak menjadikan konflik sebagai tempat berangkat, sebaliknya Islam menganggap unit-unit sosial yang tampaknya berseberangan kepentingan sebagai pasangan. Konsep Islam ini berbeda dengan konsep Marxisme yang menyatakan bahwa terbentuknya masyarakat karena adanya konflik antara kaum borjuis dengan proleter yang masing-masing memperjuangkan hak-haknya masing-masing. Bertitik tolak dari hakekat masyarakat tersebut, amat disayangkan dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam manakala kegiatan dakwah yang dilakukan oleh individu atau organisasi dapat memecah belah masyarakat. Persatuan dan keharmonisan yang terdapat pada masyarakat jangan sampai dirasuki oleh kepentingan pragmatis yang berkedok agama. Memang kita tidak bisa menafikan adanya perbedaan dan konflik di masyarakat. Itu semua sudah menjadi sunnatullah. Islam disamping sebagai pedoman hidup (way of life) yang harus dipertahankan dan dibela, tetapi disisi lain Islam juga sebagai fenomena sosial. Islam tampil di permukaan dengan pelbagai macam variannya, yang diekspresikan oleh masing-masing kelompok dalam masyarakat, dimana antara satu dengan lainnya sama-sama Islam tetapi sangat mungkin berbeda dalam artikulasinya. Pada konteks inilah, kita perlu bersikap arif dan bijaksana. Dakwah-dakwah yang kita lakukan tetap berorientasi pada dakwah yang rahmatan lil ‘alamin. Kita perkuat pemahaman masyarakat secara intelektual bahwa apapun perbedaan yang ada, semua harus memiliki dasar yang dijadikan rujukan untuk berpendapat. Jika masing-masing memiliki dasar, umat Islam tidak perlu konflik dan berpecah belah, masing-masing berpegang teguh dengan landasan dasarnya. Kalaupun terlalu sulit untuk dipersatukan dan dipertemukan dalam kajian intelektual, maka perlu dibangun kesadaran bahwa kita adalah satu dan bersaudara sesama keturunan Adam atau pengikut nabi Muhammad saw. Kita tidak perlu merasa diri atau kelompoknya paling benar dan diterima Tuhan. Semua perjalanan keberagamaan kita adalah dalam rangka mencari kebenaran dan ridha Tuhan, bukan menjadi kebenaran itu sendiri atau menjadi Tuhan di dunia. Kita hanya bisa mendekat atau taqarub kepada-Nya dan berserah diri sambil berharap akan mendapatkan balasan di hari akhirat nanti. A. Prinsip-Prinsip Dasar Dalam Pengaturan Kehidupan Bermasyarakat Untuk mempersatukan masyarakat diperlukan tali pengikat yang kokoh. Secara individual, masing-masing anggota masyarakat telah dibekali oleh Tuhan sifat kemasyarakatan sebagai tali pengikatnya. Namun, tali pengikat tersebut perlu diperkuat dengan nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama atau bersumber dari Tuhan. Nilai-nilai yang bersumber dari manusia terkadang tidak mampu menghadapi gempuran daya tarik dunia yang begitu mempesona dan mudah hilang karena tidak relevan lagi dengan kehidupan. Oleh karena itu, Islam membangun masyarakatnya di atas landasan nilai-nilai yang diajarkan oleh Allah dan Rasulnya. ada beberapa prinsip-prinsip dasar dalam pengaturan kehidupan masyarakat, menurut ajaran Islam, yaitu: 1. Berporos pada keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip pertama dalam pengaturan masyarakat bertitik tolak dari konsep “inna lillah wa inna ilaihi raji’un” (sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah). Prinsip ini menjadi dasar dalam setiap gerak kehidupan manusia. Kehadiran manusia di dunia tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. Dari tidak ada menjadi ada. Artinya manusia diadakan oleh Tuhan. Begitu pula alam yang menjadi tempat tinggal manusia diciptakan Tuhan dan diatur oleh Tuhan. Dia berhak untuk meninggikan atau merendahkan ciptaan-Nya. Jika masyarakat yang ingin dibangun dapat berkembang dengan baik, maka masyarakat tersebut perlu memahami design Tuhan terhadap alam semesta dan seisinya. Manusia bisa memahami design Tuhan apabila manusia tersebut meyakini ajaran agama yang dibawa oleh utusan-Nya. Di dalam ajaran agama akan dijelaskan bagaimana manusia mengenal Tuhan, berterima kasih kepada Tuhan, mengembangkan diri, mengatur masyarakat, membangun negara dan lain sebagainya. Mengapa harus Tuhan Yang Maha Esa? Karena logika mengatakan jika satu mobil yang sama dikendarai oleh dua orang secara bersamaan akan menimbulkan konflik dan kecelakaan, satu supir ingin ke kanan dan supir yang lain ingin ke kiri. Begitu pun dengan Tuhan, jika dunia atau manusia dimiliki oleh dua Tuhan tentu akan menimbulkan konflik dan kebimbangan bagi manusia. Untuk itulah, Islam menolak umatnya apabila membuat persekutuan atau tandingan terhadap Tuhan yang diyakininya. 2. Melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Manusia yang merupakan unsur-unsur pembentuk suatu masyarakat memiliki kemerdekaan dalam berpikir dan berkehendak secara perorangan. Manusia secara individu tidak ditentukan oleh jiwa masyarakatnya, melainkan ia melestarikan haknya untuk berpikir dan bertindak. Manusia bertanggung jawab atas diri dan masyarakatnya. Setiap individu tidak boleh melakukan tindakan seenaknya atau sewenang-wenang tanpa memedulikan orang lain. Tindakan seseorang yang tidak baik pada dasarnya akan merusak individu dan masyarakatnya. Sebagai contoh, ada seorang warga di desa tertentu yang suka mabuk-mabukan dan mengganggu orang lain, maka tindakan yang dilakukan oleh orang tersebut bukan hanya merusak nama orang tersebut tetapi juga merusak nama baik warga secara keseluruhan. Oleh karena itu, dengan adanya amar ma’ruf nahi munkar akan muncul sikap saling menasehati atau saling mengingatkan antara yang satu dengan yang lainnya. Menurut Murtadha Mutahhari, konsep amar ma’ruf nahi munkar merupakan kode perilaku al-Qur’an yang mewajibkan individu untuk menyelamatkan masyarakat dari kehancuran dan kerancuan. Mengingat hukum interdependensi antara kondisi-kondisi lahiriah dan sikap moral manusia, berjalan timbal balik. Di saat-saat nilai moral itu dipegang teguh, maka kemajuan material pun akan diperoleh. Namun, bila nilai-nilai itu diabaikan, keruntuhan secara serentak pada moral dan material pasti tak terelakkan lagi. Oleh karena itu, partisipasi individu amat diperlukan dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar karena potensi berkembangnya kejahatan atau kebaikan juga bersumber dari individu-individu yang ada di masyarakat. Secara teknis, kewajiban untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar tidak ada penjelasannya dari al-Qur’an. Semuanya diserahkan kepada manusia untuk mengatur kewajiban tersebut disesuaikan dengan keadaan tempat dan waktu. Kapan dan bagaimana pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dilaksanakan tergantung pada waktu dan tempat di masing-masing wilayah. Hal yang pasti perubahan positif di masyarakat tidak mungkin tercapai kecuali bila masyarakat itu sendiri menyadari sepenuhnya pentingnya perubahan dan upaya yang sungguh-sunggug ke arah itu. Sebagai konsekuensi selanjutnya, menjadi kewajiban semua intelektual muslim untuk menempatkan persoalan kemasyarakatan sebagai bahan kajian dan analisa yang ditekuni tanpa henti, lalu menyampaikan hasil pemikiran dan analisanya itu semata-mata ia baktikan demi kemaslahatan bersama. 3. Menegakkan keadilan. Dalam setiap khutbah, khatib Jumat selalu memberikan pesan tentang arti penting bersikap adil dan ihsan (berbuat baik). Hal ini menunjukkan bahwa keadilan merupakan pilar kuat bagi terbentuknya masyarakat madani (al-mujtama’ al-madani). Tanpa keadilan yang barakar kuat di masyarakat, kesejahteraan dan kedamaian hidup di masyarakat hanyalah ilusi belaka dan menjadikan pertanyaan besar yang tiada ujung. Karenanya, pesan keadilan terus dikumandangkan minimal setiap khutbah jumat sebagai media untuk sosialisasi dimana kaum muslimin (laki-laki terutama) berkumpul untuk menunaikan ibadah shalat. Dalam realitas sosial-politik, saat ini kita dihadapkan oleh berbagai pertanyaan tentang nilai keadilan. Tatkala para penguasa di masa Orde Baru disinyalir terlibat berbagai kasus hukum dan proses pengadilan pun digelar, banyak dijumpai hal-hal yang ganjil dan menunggu keputusan yang benar-benar adil. Kasus Nazaruddin yang masih belum definitif saat ini juga sedang dinanti rakyat dan pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kasus ini juga akan berakhir dengan benar-benar adil? Adanya berbagai dugaan dan sampai pada proses tersangkanya seseorang juga tetap memberikan peluang besar terhadap pertanyaan akankah keadilan ada, atau hanya penyelesaian di bawah meja yang akan terjadi? Di luar kasus hukum, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga menyentak banyak pihak terutama apakah kenaikan tersebut akan disertai dengan peningkatan kualitas pelayanan yang selama ini masih dikeluhkan konsumen? Masyarakat hanya pada sebatas pertanyaan yang terkadang sudah “tahu sama tahu” jawabannya. Kenaikan harga BBM yang memiliki dampak cukup luas, khususnya bagi masyarakat kecil di tingkat bawah, menjadi dasar pertanyaan apakah keadilan akan terjadi atau dari kenaikan harga BBM tersebut penyalahgunaan dana kompensasi akan semakin merebak dan kedhaliman semakin menguat. Rakyat memang sudah lama diberikan tugas menunggu dan menunggu. Indonesia sebagai negara hukum dan akan selalu menghormati hokum, akankah mampu menciptakan kesadaran hukum secara universal terhadap martabat dan hak-hak asasi rakyat. Lewat hukum pengakuan sekaligus perlindungan terhadap manusia dilakukan. Untuk kepentingan tersebut, kita berharap penegak hukum dapat menjaga, mengawasi, memberi penyuluhan agar aturan hukum dipatuhi, menyidik, menuntut, mengadili, dan menghukum pihak-pihak yang melanggar hukum sesuai dengan hukum secara adil. Itulah tugas penegak hukum, polisi, jaksa, pengacara/penasehat hukum, dan hakim. Jika penegak hukum yang bertugas untuk menyebarkan keadilan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan hukum apalah jadinya negara yang kita sebut sebagai negara hokum. Wajar apabila kesengsaraan timbul di mana-mana dan bencana pun silih berganti. Sebab hukum yang diciptakan untuk mewujudkan nilai keadilan, kebenaran, ketertiban, dan sekaligus melindungi hak-hak dan martabat manusia baik secara individual maupun kolektif telah dilanggar dan dikhianati. Patut disadari bahwa hukum itu sendiri tidak selalu mampu membuat keadilan bisa terwujud, Justru, seringkali hukum melanggar keadilan itu sendiri. Demi tegaknya hukum, keadilan dapat saja dilanggar dan “diperkosa” sesuai nafsu pemegang hukum yang sering main-main dengan logikanya sendiri tanpa memperhatikan hati nurani dan keadilan sosial yang semestinya mereka pegang kuat-kuat. Jika hukum lepas dari etis-moral maka dapat dipastikan hukum akan nyaris menyerupai teknologi atau alat semata sehingga hukum bagaikan dua mata pedang yang menjaga seseorang sekaligus membunuh tergantung pada siapa yang memegangnnya. Oleh karena itu, Islam menjadikan keadilan sebagai prasyarat penting untuk membangun masyarakat. Keadilan merupakan hukum sosial yang harus dilaksanakan manakala ingin meraih kesuksesan dalam membentuk masyarakat. Keadilan dalam Islam merupakan perbuatan yang dapat mendekatkan pelakunya sebagai orang yang bertaqwa di hadapan Tuhan. Sebagaimana firman Allah “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. 5: 8). 4. Meletakkan adanya prinsip persamaan Persamaan dalam perlakuan dan pelayanan merupakan prinsip dasar dalam pembentukan masyarakat muslim. Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan pelayanan yang baik, tidak ada perbedaan antar si kaya dengan si miskin, penguasa atau rakyat jelata, berpendidikan atau tidak berpendidikan. Di mata Tuhan, semua memiliki kedudukan yang sama. Perbedaan hanya terletak pada ketaqwaan seseorang terhadap Tuhannya. Konsekuensi logis dari adanya persamaan tersebut, setiap individu di hadapan hukum memiliki kedudukan yang sama. Orang kaya atau penguasa ketika melakukan kesalahan harus mendapatkan hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya. Demikian juga, ketika orang miskin atau rakyat jelata melakukan kesalahan, tetap mendapatkan hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya. Rasulullah pernah menyatakan, apabila Fatimah anak Nabi melakukan kesalahan atau mencuri, maka beliau akan menghukum anaknya atau memotong tangannya. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah ingin menerapkan pemberlakuan yang sama dihadapan hukum bagi semua orang, tak terkecuali anak Nabi. Ada tiga alasan pokok yang menyebabkan konsep persamaan penting untuk dilaksanakan yaitu: Pertama, dengan konsep persamaan akan meminimalisir adanya konflik di masyarakat. Secara sosiologis, masyarakat dibangun di atas perbedaan-perbedaan baik secara etnis, budaya, agama dan bahasa. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut meniscayakan adanya gesekan dan konflik di masyarakat. Untuk menghindari konflik yang lebih besar, maka perlu dibangun kesadaran pada setiap individu bahwa mereka pada dasarnya sama dihadapan Tuhan. Kedua, adanya konsep persamaan akan melahirkan perlakuan hukum yang sama. Para penegak hukum akan memperlakukan sama kepada semua orang dalam menegakkan hukum. Bahkan, hukum mendapatkan penghargaan yang tinggi di hadapan masyarakat. Ketidakadilan dalam penegakan hukum salah satunya disebabkan karena para penegak hukum tidak memperlakukan sama kepada semua orang. Para penegak hukum melakukan tebang pilih dalam proses penegakan hukum. Si kaya dan penguasa lebih didahulukan, dipermudah dan bahkan dibebaskan dari jeratan hukum, sementara si miskin dan rakyat jelata dipersulit, diabaikan dan dijerat hukum secara maksimal. Ketiga, dengan adanya konsep persamaan, masyarakat akan saling tolong menolong dan saling menghargai antara satu dengan lainnya. Masyarakat sadar bahwa keberadaan mereka pada dasarnya berasal dari diri yang satu, yakni dari nabi Adam as. Perbedaan hanya terletak pada lapisan luar dan bersifat sementara. Kelebihan yang dimiliki bukanlah untuk dipamerkan dan menjadikan manusia untuk berlaku sombong. Kelebihan yang diberikan Tuhan merupakan bagian dari amanah yang harus dijalankan. Kelebihan dan kekurangan merupakan bagian dari gelombang kehidupan yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam melaksanakan pekerjaan. Tidak mungkin seorang yang diberikan kelebihan dapat berdiri sendiri tanpa ada orang yang kekurangan. Orang yang pintar tidak mungkin disebut pintar kalau tidak ada yang bodoh dan tidak ada yang diajarkan. Dengan demikian, orang yang pintar pasti membutuhkan orang yang bodoh. Sebaliknya, orang yang bodoh tidak bisa hidup sendirian dengan kebodohannya, ia pasti membutuhkan petunjuk dan arahan dari orang yang pintar dalam menjalani kehidupan yang lebih baik. Dengan adanya kesadaran akan saling ketergantungan dan persamaan tersebut akan melahirkan sikap untuk saling membantu dan saling menghargai antara sesama. 5. Mendahulukan Musyawarah Musyawarah merupakan konsep yang diajarkan al-Qur’an untuk menyelesaikan perselisihan di antara dua kelompok atau untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Musyawarah menjadi cii khas dan karakter dari masyarakat muslim. Mengedepankan musyawarah dalam berbagai hal merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh Rasulullah, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Imran (3) ayat 159:                               •     Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. Beliau sering meminta pendapat kepada para Sahabatnya ketika mengambil kebijakan di bidang sosial-kemasyarakatan. Sebagai contoh nabi meminta pendapat para Sahabat dalam menentukan lokasi pasukan muslimin dalam perang Badar. Ketika Nabi menentukan lokasi, seorang Sahabat al-Khubbab Ibn al-Mundzir bertanya “apakah tempat yang ditentukan itu telah diperintahkan Allah kepadamu atau pilihan tersebut adalah pilihanmu berdasarkan strategi perang dan tipu muslihat”. Ketika Nabi menjawab bahwa pilihan itu adalah pilihan berdasarkan pertimbangan beliau, barulah al-Khubbab menyarankan lokasi lain, yang ternyata disetujui oleh Nabi saw. Ada beberapa sikap yang diajarkan oleh al-Qur’an bagi mereka yang mau melaksanakan musyawarah yaitu: Pertama, seorang yang melakukan musyawarah, yang pertama harus dihindari adalah tutur kata yang kasar dan sikap keras kepala. Kedua, memberi ma’af dan membuka lembaran baru. Dalam musyawarah seringkali terjadi perbedaan pendapat, terkadang ada kalimat-kalimat yang dapat menyinggung perasaan atau ada perlakuan yang dinilai tidak wajar. Pada konteks inilah peserta musyawarah harus menyiapkan mental untuk senantiasa membuka pintu ma’af. Ketiga, permohonan ampunan dari Tuhan, disertai dengan tindakan bertawakkal kepada Allah swt. Sikap itulah yang perlu terus dikembangkan dan ditanamkan kepada setiap umat Islam dalam menjalankan musyawarah. Musyawarah merupakan diskusi bersama, bukan meminta pendapat dari orang-orang yang dianggap bijak dan memiliki segudang kearifan. Dengan diskusi bersama akan ada berbagai masukan dan alternatif dalam memecahkan berbagai persoalan. Kemudian keputusan yang diambil pun tidak berdasarkan kepentingan satu orang atau sekelompok orang, melainkan pada kepentingan dan kebutuhan bersama. 6. Memberikan ruang kebebasan Praktek yang dilakukan oleh Rasulullah dalam memberikan kebebasan kepada warganya dalam memeluk agama dan menyampaikan pendapat, telah terdokumentasikan dengan baik dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah merupakan bukti historis bahwa Islam telah berhasil membentuk masyarakat kota dan masyarakat yang beradab. Keberhasilan yang dilakukan oleh Rasulullah telah menginspirasikan kepada generasi berikutnya untuk mengembangkan model masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah. Model tersebut kemudian diperkenalkan oleh Naquib Alatas, seorang intelektual dari Malaysia, dengan istilah al-mujtama’ al-madani (masyarakat madani), yang sekarang ini menjadi gerakan dan cita-cita dalam membangun masyarakat. Salah satu karakter dari masyarakat madani adalah adanya free public sphere, yakni adanya ruang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Jika ruang bebas tersebut tersumbat, maka kebebasan tidak akan tercipta dan masyarakat akan mengalami kesulitan dalam menyalurkan aspirasinya. Kebebasan yang diberikan Islam kepada masyarakatnya tetap berada pada koridor kebenaran dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Jika kebebasan yang diberikan tersebut dipergunakan untuk berbuat kemaksiatan dan dosa, maka Islam tidak memberikan toleransi. Kemudian, dalam menyalurkan kebebasan pun tidak diperkenankan manakala dilakukan secara anarkis dan radikal. Islam mengajarkan untuk menyampaikan aspirasinya dalam konteks hikmah dan penuh kedamaian. 7. Adanya sikap tanggung jawab sosial Al-Qur’an meletakkan dasar-dasar yang menjamin tanggung jawab bersama atas setiap orang dengan memerhatikan kemampuan masing-masing, apakah kontribusi tersebut dalam bentuk pekerjaan maupun intelektual. Di dalam al-Qur’an Allah menyatakan “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya” (QS. 2: 215). Dasar-dasar yang diletakkan oleh al-Qur’an tersebut diperkuat oleh hadits Nabi yang menyatakan bahwa “Sebaik-baik manusia adalah orang yang dapat memberikan kemanfaatan pada orang lain”. Memberikan kemanfaatan pada orang lain dapat berupa pemberian nafkah kepada keluarga, membayar pajak, zakat, pelayanan jasa, dan bisa juga melakukan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya merupakan wujud dari tanggung jawabnya untuk mengembalikan sebagian dari apa yang telah diberikan masyarakat kepadanya. Bagaimana pun upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam meraih kesuksesan, pasti tidak bisa dilepaskan dari peran masyarakat dalam mendukung kesuksesan orang tersebut. Sebagai wujud dari rasa terima kasihnya kepada masyarakat, maka setiap individu dapat bertanggung jawab kepada masyarakatnya. B. Pemberdayaan Masyarakat Konsep pemberdayaan sudah lahir sejak revolusi industri atau bahkan ada juga yang menyebut sejak lahirnya Eropa modern pada abad ke-18 atau zaman renaissance, yaitu ketika orang mulai mempertanyakan determinisme keagamaan. Kemudian konsep pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang mulai mempertanyakan makna pembangunan. Di Eropa, wacana pemberdayaan muncul ketika industrialisasi menciptakan masyarakat penguasa, faktor produksi dan masyarakat pekerja yang dikuasai. Sedangkan di negara-negara sedang berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disintegrasi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumber daya alam, dan alienasi masyarakat dari faktor produksi oleh penguasa. Pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun sebagai kerangka logik: Pertama, proses pemusatan kekuasaan pembangunan dari pemusatan penguasaan faktor produksi. Kedua, pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran. Ketiga, kekuasaan akan membangun bangunan atas dasar sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif, untuk memperkuat legitimasi. Keempat, Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum sistem politik, dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan disisi lain masyarakat yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless). Berdasarkan penelitian kepustakaan, proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses pemberian atau pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kecenderungan pemberdayaan jenis ini disebut kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Kedua, kecenderungan pemberdayaan yang dipengaruhi oleh karya Paulo Freire yang memperkenalkan istilah conscientization (penyadaran). Konsientisasi merupakan suatu proses pemahaman situasi yang sedang terjadi sehubungan dengan hubungan-hubungan politik, ekonomi, dan sosial. Seseorang menganalisis sendiri masalah mereka, mengidentifikasi sebab-sebabnya, menetapkan prioritas dan memperoleh pengetahuan baru. Dalam spektrum ini, pemberdayaan identik dengan kemampuan individu untuk mengontrol lingkungannya. Kesadaran kritis dalam diri seseorang dapat dicapai dengan cara melihat ke dalam diri sendiri serta menggunakan apa yang didengar, dilihat dan dialami untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam kehidupannya. Dalam arti sempit pemberdayaan berkaitan dengan sistem pengajaran profesional yang memiliki standar sesuai dengan kebutuhan kerja. Menurut Isbandi Rukminto Adi bahwa pemberdayaan atau pengembangan masyarakat lahir dari tradisi ilmu pendidikan dan bidang pekerjaan sosial. Mereka meyakini bahwa dalam pengalaman bangsa Inggris, pengembangan masyarakat merupakan perkembangan dari pendidikan massa atau pendidikan masyarakat (community education). Sedangkan dalam arti luas pemberdayaan merupakan sebuah proses yang mendorong masyarakat untuk mengkonstruksi sebuah makna dan pengalaman baru tentang kebebasan yang mereka pilih. Selanjutnya Robinson memperjelas konsep pemberdayaan dengan mengemukakan bahwa empowerment is a personal and social process, a liberating sense of one’s own strengths, competence, creativity and freedom of action, to be empowered is to feel power surging into one from other people and from inside, specially the power to act and growth, to become in Paulo Freire’s term “more fully human”. Untuk memahami lebih jauh, proses pemberdayaan atau pengembangan masyarakat. Berikut ini akan penulis uraikan tiga teori yang ada dalam ilmu Sosiologi, yaitu teori struktural fungsional, teori konflik, dan teori kritis. Ketiga teori tersebut, meskipun sudah lama dan banyak mendapatkan kritik dari para Sosiolog Modern, tetapi pengaruh teori tersebut masih dirasakan dan dapat diterapkan dalam menganalisis masyarakat pada masa sekarang. Masih banyak teori-teori Sosiologi lain yang dapat digunakan untuk menganalisis perkembangan masyarakat di era modern ini, seperti teori strukturasi yang dikembangkan oleh Anthony Giddens, teori Mcdonaldization yang dikembangkan oleh Ritzer, dan lain sebagainya. Namun, dengan keterbatasan waktu dan pemahaman yang penulis miliki, maka pada kesempatan ini, penulis tidak menguraikan teori-teori tersebut. Teori struktural fungsional merupakan salah satu teori utama dalam Sosiologi yang dipengaruhi oleh pemikiran Emile Durkheim (1858-1917) dan dikembangkan secara sistematis oleh Talcott Parsons. Ada dua asumsi dasar yang digunakan oleh teori struktural fungsional: Pertama, masyarakat terbentuk atas sub struktur-sub struktur yang dalam fungsi-fungsi mereka masing-masing saling bergantung sehingga perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi satu sub struktur dengan sendirinya akan tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam substruktur-substruktur lainnya pula. Oleh karena itu, tugas analisis sosiologis adalah menyelidiki kenapa yang satu mempengaruhi yang lain, dan sampai sejauhmana perubahan tersebut bisa berpengaruh pada yang lainnya. Kedua, setiap sub struktur yang telah mantap berfungsi sebagai penopang aktivitas-aktivitas atau substruktur-substruktur lainnya dalam suatu sistem sosial. Contoh-contoh substruktur-substruktur ini dalam masyarakat adalah keluarga, perekonomian, politik, agama, pendidikan, hukum dan lain sebagainya. Setiap substruktur dilestarikan oleh peranan-peranan yang dimainkan oleh orang-orang dalam status mereka masing-masing di dalam substruktur-substruktur ini. Akhirnya, peranan-peranan ini tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan memahami aturan-aturan yang tercipta berkat konsensus umum masyarakat. Selanjutnya, prinsip dasar tersebut dikembangkan oleh Talcott Parsons dalam menganalisis terjadinya proses perubahan di masyarakat. Menurutnya, ada empat jenis proses perubahan: pertama, proses keseimbangan yang mengacu pada proses yang membantu mempertahankan batas-batas sistem. Proses ini mungkin statis atau dinamis. Di dalam dua jenis keseimbangan ini proses berlangsung terus, hanya saja dalam keseimbangan dinamis terdapat proses perubahan yang sudah terpola. Kedua, perubahan struktural dalam suatu sistem sosial adalah perubahan dalam kultur normatif sistem sosial bersangkutan. Ketiga, diferensiasi struktural, proses ini menimbulkan perubahan di dalam subsistem, tetapi tidak mengubah struktur sistem sosial secara keseluruhan. Keempat,evolusi masyarakat yakni proses yang melukiskan pola perkembangan masyarakat sepanjang waktu. Berdasarkan uraian di atas dengan mengutip pendapat Van Den Berghe bahwa ada tujuh ciri-ciri umum yang dimiliki oleh teori struktural fungsional yaitu: 1. Masyarakat harus dianalisis sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari berbagai bagian yang saling berinteraksi. 2. Hubungan yang ada bisa bersifat satu arah atau hubungan yang bersifat timbal balik. 3. Sistem sosial yang ada bersifat dinamis, dimana penyesuaian yang ada tidak perlu banyak merubah sistem sebagai satu kesatuan yang utuh. 4. Integrasi yang sempurna di masyarakat tidak pernah ada, oleh karenanya di masyarakat senantiasa timbul ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan. tetapi ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan ini akan dinetralisir lewat proses pelembagaan. 5. Perubahan-perubahan akan berjalan secara gradual dan perlahan-lahan sebagai suatu proses adaptasi dan penyesuaian. 6. Perubahan merupakan hasil penyesuaian dari luar, tumbuh oleh adanya diferensiasi dan inovasi. 7. Sistem diintegrasikan lewat pemilikan nilai-nilai yang sama. Dengan mengacu kepada teori tersebut, maka perubahan pada individu tidak semata-mata ditentukan oleh individu itu sendiri, melainkan ada berbagai unsur yang saling terkait. Karena, menurut teori struktural fungsional, di dalam masyarakat terdapat berbagai macam lembaga, dimana masing-masing lembaga memiliki fungsi sendiri-sendiri. Untuk menciptakan sebuah sistem sosial yang saling terkait diperlukan sebuah bangunan, dimana perilaku individu dapat dikembangkan ke dalam sistem sosial. Inilah yang kemudian oleh Talcott Parsons disebut sebagai “The Structure of Social Action”. Menurutnya, ada beberapa elemen pokok tentang konsep perilaku individu yang dapat dikembangkan ke dalam sistem sosial: Pertama, aktor sebagai individu yang didorong oleh motif dan nilai. Kedua, aktor memiliki tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, aktor memiliki berbagai cara-cara yang mungkin dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan tersebut. Keempat, aktor dihadapkan pada pelbagai kondisi dan situasi yang mempengaruhi pemilihan cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kelima, aktor dikomando oleh nilai-nilai, norma-norma dan ide-ide dalam menentukan tujuan yang diinginkan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Keenam, perilaku, termasuk bagaimana aktor mengambil keputusan tentang cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan dipengaruhi oleh ide-ide dan situasi kondisi yang ada. Dalam perkembangan sejarah berikutnya, teori fungsional struktural mendapatkan kritikan dari teori konflik yang berakar dari teori Karl Marx (1818-1883). Kemudian teori konflik berkembang pada pertengahan abad ke-20 yang dikembangkan oleh ahli Sosiologi Jerman, Max Weber (1864-1920) dan Georg Simmel (1858-1918). Beberapa tokoh terkenal lain yang ikut mengembangkan teori konflik adalah Ralf Dahrendrof, Lewis Coser, Randall Collin dan lain sebagainya. Ada beberapa asumsi yang dikembangkan oleh teori konflik, yaitu: Pertama, manusia sebagai makhluk hidup memiliki sejumlah kepentingan paling dasar yang mereka inginkan dan berupaya untuk mendapatkan kepentingan tersebut. Kedua, kekuasaan mendapatkan penekanan sebagai pusat hubungan sosial. Kekuasaan bukan hanya merupakan sesuatu yang langka dan tidak terbagi secara merata, sehingga merupakan sumber konflik, tetapi juga pada hakekatnya kekuatan itu bersifat pemaksaan. Ketiga, ideologi dan nilai-nilai dipandang sebagai suatu senjata yang digunakan oleh kelompok-kelompok yang berbeda dan mungkin bertentangan untuk mengejar kepentingan mereka sendiri. Ideologi dan nilai sama sekali bukan merupakan sarana untuk mencapai integrasi dan mengembangkan identitas sautu bangsa. Berdasarkan asumsi tersebut, teori konflik memandang masyarakat sebagai arena pertarungan dalam memperebutkan kekayaan, kekuasaan dan prestise antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Mengapa demikian? Menurut Randall Collin, setiap individu ingin memiliki kekayaan, kekuasaan dan prestise. Dalam usaha memiliki hal-hal tersebut, tidak ada individu yang mau mengalah secara sukarela. Berdasarkan hal tersebut, dalam masyarakat akan senantiasa ada konflik sosial. Ditambah lagi, karena kekuasaan dan prestasi merupakan barang langka, sedangkan kekuasaan dan prestasi terkait erat dengan kekayaan, maka setiap individu senantiasa ingin mendapatkan bagian kekayaan yang lebih banyak daripada yang dimiliki orang lain. Konflik-konflik yang timbul sebagai akibat perebutan kekayaan, kekuasaan dan prestise dapat terjadi dalam pelbagai bentuk. Manfaat apa yang bisa diambil dari teori konflik bagi pengembangan masyarakat? secara sepintas memang teori konflik kurang memberikan manfaat bagi pengembangan masyarakat, tetapi teori konflik dapat memberikan pemahaman bagi kita bahwa di dalam masyarakat tidak sunyi dari konflik. Karena menurut Dahrendrof, masyarakat memiliki dua wajah, yaitu konflik dan konsensus. Masyarakat tidak mungkin ada tanpa konflik dan konsensus, yang merupakan prasyarat bagi masing-masing. Jadi, kita tidak mungkin berkonflik kecuali telah terjadi konsensus sebelumnya. Konflik juga diperlukan untuk mendorong perubahan dalam struktur sosial. Tatkala konflik semakin intens, perubahan yang terjadi pun makin radikal. Perubahan dalam masyarakat merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar. Seperti halnya teori struktural fungsional yang mendapat kritik, teori konflik pun tidak terlepas dari berbagai kritik karena mengandung kelemahan-kelemahan. Teori konflik dalam pembahasannya terlalu makro sehingga kurang memberikan pemahaman tentang pikiran dan tindakan individu. Begitu juga teori konflik dikritik karena mengabaikan adanya keteraturan dan stabilitas serta berideologi radikal Teori konflik mendapatkan kritikan dari teori kritis, terutama yang dikembangkan oleh Jurgen Hubermas yang mengembangkan teori tindakan komunikatif. Menurut Thomas McCharty, ada tiga tujuan teori tindakan komunikatif yang dikembangkan oleh Habermas, yaitu: 1. Mengembangkan konsep rasionalitas yang tidak lagi terikat oleh premis-premis subjektif filsafat modern dan teori sosial. 2. Mengkonstruksi konsep masyarakat dua level yang mengintegrasikan dunia kehidupan dan paradigma sistem. 3. Membuat sketsa tentang modernitas yang menganalisis patologi-patologinya dengan suatu cara yang lebih menyarankan adanya perubahan arah daripada pengabaian proyek pencerahan. Kritik Habermas terhadap teori konflik, khususnya berkaitan dengan konsep materialisme sejarah Marx melahirkan teori tentang perkembangan masyarakat. Ia menjelaskan bahwa masyarakat pada hakekatnya komunikatif dan yang menentukan perubahan sosial bukanlah semata-mata perkembangan kekuatan produksi atau teknologi, melainkan proses belajar dalam dimensi praktis etis. Dalam bahasa yang lain, perubahan masyarakat banyak ditentukan oleh komunikasi sosial yang berakar pada kehidupan sosial yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan dalam sejarah kehidupan manusia. adanya konsep komunikasi sosial inilah, teori kritis yang dikembangkan oleh Jurgen Hubermas masih banyak dipakai dalam menganalisis perubahan masyarakat pada era informasi sekarang ini. Jika konsep pemberdayaan atau pengembangan masyarakat tersebut di atas dikaitkan dengan ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an, banyak ayat yang membahasnya, diantaranya: pentingnya kemampuan dan kesadaran individu untuk melakukan perubahan diri (QS. 13: 11), membebaskan manusia dari berbagai belenggu kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan (QS. 3:110), jangan meninggalkan generasi yang lemah (QS. 4: 9), memperhatikan kaum dhuafa (QS. 107: 1-7), mengatasi masalah kemiskinan (QS. 90: 12-16), dan lain sebagainya. Konsep-konsep yang berbasis teologis tersebut perlu dijabarkan lebih lanjut dalam konteks yang lebih sosiologis atau memenuhi sasaran masyarakat yang menjadi lahan dakwah. Siapa dan apa kriteria orang yang disebut dhuafa, strategi apa yang digunakan dalam membebaskan kemiskinan, bagaimana cara agar umat islam tidak meninggalkan generasi yang lemah, perubahan seperti apa yang diharapkan oleh Islam, siapa saja yang terlibat dalam melakukan proses pemberdayaan, dan lain sebagainya. Semua pertanyaan tersebut menjadi pekerjaan rumah para da’i atau aktivis Islam dalam menjabarkan pemberdayaan masyarakat yang lebih nyata di masing-masing wilayah dan tempat yang bisa jadi berbeda-beda.

JIHAD MELAWAN KEMALASAN

Setiap mengawali perkuliahan, saya senantiasa membuat kontrak belajar dengan mahasiswa. Kontrak belajar dimaksudkan untuk menyamakan persepsi dalam mencapai tujuan dari proses pembelajaran dan sekaligus sebagai pedoman dalam menjalani proses perkuliahan selama satu semester serta evaluasinya. Pada saat menyampaikan kontrak belajar berkaitan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh mahasiswa, banyak dari mereka yang terus ribut dan mengeluh, tugas lagi..., tugas lagi..., kenapa harus ada tugas pak? tanya mahasiswa. Tugas yang diberikan oleh dosen maksudnya untuk melatih mahasiswa dalam merangkai kalimat, menyampaikan gagasan, melatih logika berpikir, memberikan pemahaman yang mendalam tentang materi yang dipelajari dan sekaligus mengembangkan diri mahasiswa. Jika mahasiswa tidak mendapatkan tugas, perkuliahan itu seperti pengajian saja. Mahasiswa hanya mendengarkan apa yang disampaikan oleh dosen. Mahasiswa tidak terlatih dalam berpikir dan tidak ikut berproses dalam menumbuhkan gagasan, menciptakan kreativitas dan pengembangan diri mahasiswa. Tapi pak, kalau seluruh dosen mata kuliah memberikan tugas kepada kita, apa nantinya tidak memberatkan mahasiswa? Tanya mahasiswa lainnya. Disitulah keistimewaan mahasiswa, kata saya. Mahasiswa kan tugasnya belajar, maka sebagian besar waktunya dihabiskan untuk belajar. Mahasiswa harus mampu membagi waktu dengan sebaik-baiknya antara tatap muka di ruang kelas, mengerjakan tugas, aktif di organisasi, membangun hubungan sosial dengan masyarakat dan sebagainya. Mulai dari bangun tidur di pagi hari hingga menjelang tidur lagi pada malam hari, seluruh aktivitan tersebut perlu dikelola dengan sebaik-baiknya. Kita sudah punya dasar yang kuat dari al-Qur’an surat al-Ashr bahwa waktu itu sangat penting dalam kehidupan manusia. Jika kita tidak bisa memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, kita akan termasuk orang-orang yang merugi. Bagaimana dengan masa muda kami pak, jika semua waktu dihabiskan untuk belajar, apakah kami tidak diperbolehkan untuk berhubungan dengan lawan jenis dan saling berbagi pengalaman dengan teman-teman di warung kopi, cafe atau tempat lesehan? Yaa, tentu boleh dong, kata saya lebih lanjut. Semua itu bisa dilakukan, selama tidak melanggar koridor yang sudah ditentukan oleh Islam dan tidak mengganggu aktivitas belajar saudara. Saudara sudah dewasa, sudah bisa menentukan dan memutuskan mana hal yang bisa dilakukan dan mana hal yang tidak boleh dilakukan. Saudara juga harus bisa memperhitungkan dengan baik bahwa masa kuliah saudara sangat terbatas, jika saudara tidak bisa memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh orang tua dengan sebaik-baiknya, saya khawatir nantinya saudara terlena dan tidak memperoleh hasil yang maksimal. Saudara hanya mendapatkan ijazah, tetapi kompetensi dan kepribadian yang baik tidak dimiliki oleh saudara. Apa itu tidak terlalu ideal bagi kami pak? Nyatanya kami sudah semester empat belum merasakan ada dampak yang signifikan dalam diri kami setelah kami mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen dan mengikuti perkuliahan dengan baik. Apa betul demikian saudara-saudara sekalian? tanya saya dengan nada keheranan. Mereka ternyata menjawab tidak kompak, mungkin ada sebagian besar yang merasakan demikian dan hanya sebagian kecil yang tidak setuju kalau dikatakan bahwa tugas yang diberikan oleh dosen tidak memiliki pengaruh bagi mahasiswa. Baiklah, saya akan memberikan tugas kepada saudara untuk membuat tugas kelompok yang ringan agar semua dapat mengerjakan dan dapat merasakan dampak positif bagi diri saudara. Saya akan bagi menjadi tujuh kelompok dari 35 orang mahasiswa. Kemudian saya beri waktu masing-masing kelompok selama tiga minggu untuk mengerjakannya. Pada saat mereka mengerjakan tugas saya meminta beberapa mahasiswa yang saya percayai untuk melakukan penelitian dan penyidikan terhadap masing-masing kelompok, bagaimana cara kerja mereka dalam tim. Hasil penelitian dan penyidikan ini nantinya sebagai bahan evaluasi dan sekaligus menjawab pertanyaan mahasiswa tentang dampak dari pemberian tugas kepada mahasiswa. Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, mereka sepakat untuk mengumpulkan tugas dan mempresentasikan hasil yang dikerjakan oleh masing-masing kelompok. Dalam presentasi tersebut, ada sebagian mahasiswa yang betul-betul menguasai forum dan masalah yang dibahasnya, ada yang mampu menguasai forum tetapi kurang menguasai materi yang dibahas, ada yang tidak menguasai forum tetapi menguasi materi yang dibahas, dan ada yang sama sekali tidak menguasai forum dan tidak menguasai materi yang dibahas. Setelah saya mengamati hasil presentasi mereka, kemudian saya mencoba menanyakan satu persatu dari anggota kelompok tentang kerja tim mereka dan bahan bacaan yang mereka cantumkan apakah dibaca oleh mereka atau tidak. Pengecekan ini untuk mengkonfirmasi hasil penelitian dan penyidikan sebagian mahasiswa yang saya percayai. Hasilnya ternyata cukup mencengangkan, sebagian besar tugas kelompok yang diberikan hanya dikerjakan oleh dua orang mahasiswa dan lainnya hanya mencantumkan nama dalam kelompok tersebut. Mereka yang menguasai forum tetapi tidak menguasai materi karena mereka telah terbiasa bicara di hadapan forum. Mereka “asbun” (asal bunyi) meskipun tidak tahu arah dan maksud yang sesungguhnya. Hasil lain yang didapat, ternyata dalam mencantumkan bahan bacaan tidak berdasarkan temuan langsung dari sumber buku utama, mereka hanya mengambil tulisan yang bersumber dari internet dengan cara di copy paste dan digabungkan dengan sumber internet lainnya. Tugas yang dibuat tidak berdasarkan alur berfikir yang sistematis dan terencana dengan baik. Mereka hanya bisa mengutip pendapat orang lain dan tidak ada hasil diskusi atau pendapat dari kelompok itu sendiri. Kreativitas mereka ditutup sama sekali, sementara ruang untuk mengambil ide orang diberi ruang yang sangat terbuka. Dengan hasil yang demikian, akhirnya saya menjelaskan kepada seluruh mahasiswa bahwa saya telah melakukan penelitian tindakan kelas dengan melibatkan beberapa teman saudara dan pengamatan saya secara langsung tentang team discussion. saya mencatat dari pertanyaan yang saudara ajukan dahulu bahwa pemberian tugas oleh dosen kurang memberikan dampak secara langsung kepada mahasiswa. Setelah saya amati ternyata saudara ketika diberikan tugas oleh dosen tidak dilaksanakan. Saudara hanya mencantumkan nama di cover tugas kelompok saudara (saya sebutkan satu persatu nama-nama mahasiswa tersebut), tanpa ada upaya yang dilakukan sama sekali. Ketika mau menjelang diskusi pun saudara tidak membaca referensi untuk menghasilkan diskusi yang baik. Saudara hanya membaca tulisan disaat makalah tersebut dibagikan kepada saudara. Bagaimana saudara bisa merasakan dampaknya manakala saudara tidak melakukan proses tersebut? Coba saudara tanyakan kepada teman-teman saudara yang mengerjakan dengan baik (saya sebutkan satu persatu nama yang mengerjakan tugas dengan baik), tentu dia merasakan getir dan ni’matnya mengerjakan tugas. Mereka dapat merangkai kalimat, mengatur waktu, dapat membaca buku yang banyak, membuat alur berpikir dan semakin belajar bijaksana dalam memecahkan masalah. Semua itu amat diperlukan ketika saudara sudah menjadi alumni dan berinteraksi dengan dunia pekerjaan dan dunia kehidupan saudara nanti. Jika saudara mengambil jalan pragmatis dan instan dalam mengerjakan tugas dan dalam proses perkuliahan yang saudara jalani. Sulit rasanya saudara bisa maju dan berkembang. Bahkan, dunia pendidikan di Indonesia akan jatuh terpuruk dalam pragmatisme. Kita hanya bisa memproduk sarjana yang jumlahnya sangat banyak, tetapi kemampuan untuk merubah masyarakat dan negara ini menjadi maju dan sejahtera, tidak bisa diharapkan. Oleh karena itu, tugas kita sebagai mahasiswa dan dosen perlu melakukan jihad dalam melawan kemalasan. Saudara tidak perlu takut mendengar kata jihad. Memang akhir-akhir ini makna jihad seringkali dibawa ke ranah politik. Jihad dipahami sebagai bellum justum dan bellum pium (perang keadilan dan kesalehan). Akibatnya, jihad dikesani dan dipraktekkan dalam ranah perang suci (the holy war) yang berbuntut pada radikalisme dan terorisme. Jika pemaknaan jihad tersebut terus menguasai wacana dan tidak ada upaya untuk melakukan perlawanan, khawatir citra negatif terhadap Islam akan terus bermunculan dan islampobia akan terus berkembang di kalangan masyarakat Barat dan Islam itu sendiri. Oleh karena itu, kita perlu mempraktekkan makna jihad yang lebih membawa ke ranah sosial dan ke ruang yang lebih rahmatan lil’alamin. Kata kunci yang membuat bangsa dan masyarakat ini terpuruk adalah kemalasan, maka sudah seharusnya kita melakukan jihad untuk melawan kemalasan yang bersumber dari diri sendiri. Jihad yang sesungguhnya adalah jihad melawan diri sendiri “dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS. 29:6). Umat Islam sebenarnya sudah punya konsep yang bagus untuk melawan kemalasan dan masing-masing individu umat Islam juga sudah mengetahui tentang itu, yakni perlunya kerja keras dan bersungguh-sungguh. Dalam surat al-Insyirah (QS. 94) ayat 7-8 “maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. Kemudian diperkuat dalam surat al-Jumu’ah (QS. 62) ayat 10 “apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. Secara konseptual dan kognitif sudah hapal dan paham tentang ayat di atas, pertanyaannya, mengapa konsep tersebut tidak masuk dalam ranah afektif dan psikomotrik sehingga umat Islam terdorong untuk melawan kemalasan. Menurut saya, hal tersebut membutuhkan pembiasaan. Kata Ahmad Amin, akhlak itu adalah kebiasaan untuk berkehendak. Pengetahuan tidak akan menjadi tindakan apabila tidak diturunkan dalam bentuk pembiasan-pembiasan. Saudara tidak bisa menjadi perenang, apabila saudara hanya belajar di atas kertas dan berdiri di depan kolam renam. Saudara harus menceburkan diri ke dalam kolam renang dan melatih diri saudara secara terus menerus untuk menjadi perenang yang handal. Jika dalam latihan ada satu dua kesalahan, hal tersebut merupakan tempaan yang harus dilewati dan menjadi pengalaman yang sangat berarti. Saudara harus punya obsesi dan mimpi-mimpi yang dapat mengalahkan kemalasan saudara. Dengan obsesi dan mimpi yang saudara lakukan, saudara akan termotivasi untuk terus menerus melakukan segala aktivitas dengan senang dan membanggakan. Saudara tidak perlu malu, rendah diri dan keberatan untuk melakukan segala aktivitas yang positif dan kosntruktif untuk kehidupan saudara. Menurut Khoiruddin Bashori dalam salah satu sesi pelatihan mengatakan bahwa bedanya seorang pemimpin dengan pemimpi hanya pada hurup “N” yang bisa dimaknai pada nekat, neko-neko, dan niat. Jika pemimpi memiliki modal nekat atau keberanian untuk melakukan tindakan, maka dia bisa menjadi pemimpin. Kemudian saya juga teringat dengan tulisan Andrie Wongso (2005), seorang motivator terkenal di Indonesia, dalam salah satu bukunya “15 Wisdom Success” yang mengatakan bahwa: “jika ingin menciptakan kehidupan yang lebih baik, mau mengubah harapan menjadi nyata, pasti, kita membutuhkan kata bijak pertama, jangan takut. Kata bijak ini mengandung motivasi yang dapat melahirkan kekuatan keberanian untuk bertindak. Jangan takut menentukan cita-cita yang tinggi. Jangan takut mencoba dan memulai. Jangan takut menerima tantangan. Jangan takut memeras keringat. Jangan takut mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Namun ada kalanya, hasil perjuangan tidak sesuai dengan harapan. Hambatan demi hambatan seolah memang diciptakan untuk menghadang kita. Perjuangan pun bisa gagal total. Ini bisa membuat kita merasa diliputi ketidakpuasan, kecewa, penyesalan. Pada titik seperti ini, kata bijak berikutnya, jangan pernah menyesal, bisa menjadi kunci kebangkitan kita. Buang jauh-jauh pikiran negatif. Penyesalan tidak akan dapat mengubah apa pun, malah hanya membebani dan menghambat langkah kita ke depan. Mampu menerima hasil perjuangan apa adanya adalah bijaksana, tetapi mau tetap bangkit dengan apa adanya kita hari ini adalah luar biasa. Selama kita telah berjuang memberikan yang terbaik dari yang kita miliki, apa pun hasilnya, sukses atau gagal, yang pasti semangat perjuangan itu telah memiliki nilai kesuksesan tersendiri. Jangan takut jangan pernah menyesal”. Begitulah penjelasan panjang lebar yang saya berikan kepada para mahasiswa. Mereka seakan tidak percaya, ternyata apa yang mereka lakukan selama ini mendapatkan evaluasi dan catatan panjang dari dosen. Mereka sangat jarang mendapatkan evaluasi semacam ini. Kebanyakan evaluasi yang diberikan oleh dosen pada soal ujian dan nilai yang muncul pada setiap semester. Kami merasa senang dan berterima kasih atas evaluasi yang bapak berikan kepada kami, kata salah seorang mahasiswa. Mudah-mudahan evaluasi ini menjadi bahan introspeksi diri kami dan sekaligus sebagai bahan masukan untuk kami tindaklajuti dengan sebaik-baiknya. Kami akan berjihad untuk melawan kemalasan pada diri kami.