Thursday 23 April 2009

KEJENUHAN DALAM MENJALANI HIDUP

Suatu hari saya bertemu dengan seorang pekerja sebuah perusahaan di salah satu forum ilmiah. Dalam pertemuan tersebut, dia mengeluh kepada saya tentang kehidupan di dunia yang amat menjenuhkan. Dia seorang yang sukses baik dalam hal prestasi di dunia kerja maupun prestise di masyarakat. Dalam pekerjaan dia sering mendapatkan penghargaan. Begitu juga di kalangan masyarakat, dia termasuk orang yang dipandang karena memiliki kemampuan dan kekayaan. Namun, dibalik itu semua, dia merasa gersang dan kesepian dalam menjalani kehidupan. Dia beranggapan bahwa hidup ini hanyalah sebuah aktivitas rutin yang menjemukan. Setelah bangun tidur, dia melakukan olah raga kecil, mandi pagi, sarapan, berangkat kerja, pulang malam, istirahat nonton televisi sebentar, dan tidur. Demikian terus-menerus aktivitas semacam itu yang dia lakukan setiap harinya.
Saat dia bercerita agak panjang tentang kejenuhan tersebut, tiba-tiba saya memotong pembicaraannya. Apakah saudara tidak memiliki keluarga? Dia menjawab, saya punya isteri dan 3 orang anak. Semuanya baik-baik dan tidak ada persoalan yang berarti dalam hubungan kami di keluarga. Kami sangat mencintai isteri dan anak-anak kami, sebaliknya mereka juga mencintai saya. Cuma saya merasa ada sesuatu yang menurut saya hilang dari kehidupan saya yang sesungguhnya. Dengan tidak sabar saya coba bertanya lagi. Maaf ya..sebelumnya, apakah selama menjalani kehidupan sehari-hari saudara mendekatkan diri kepada sang Khalik (Tuhan). Maksud anda shalat begitu, dia balik bertanya kepada saya. Ya kira-kira seperti itulah, jawab saya. Dia menjawab dengan nada bersemangat, saya melaksanakan shalat lima waktu, sebagaimana muslim yang lainnya dan juga saya mengeluarkan zakat sesuai dengan ketentuan yang ada. Meskipun shalat dan zakat saya masih termasuk kelas orang awam, kilahnya sambil tersenyum simpul.
Waahh...saudara sudah termasuk orang yang hebat dan dapat dikategorikan seorang muslim sejati. Itulah yang saya bingung, jawabnya dengan nada keheranan. Menurut orang mungkin saya termasuk orang yang bahagia dan sukses. Tetapi saya sering merenung dan berpikir, apakah seperti ini hidup yang dikehendaki oleh Tuhan. Dalam hati dan perasaan saya, tetap saja merasa jenuh dan bosan menghadapi hidup ini. Karenanya saya bertanya kepada anda, kira-kira apa yang bisa memecahkan persoalan seperti saya ini. Mungkin bukan hanya saya, banyak juga di antara saudara-saudara kita yang merasa jenuh dalam menghadapi kehidupan. Apalagi jika kehidupan mereka selalu dibayang-bayangi oleh kemiskinan, ketidakberdayaan, dan kebodohan. Mereka seakan-akan dipaksa, dibelenggu, dan dikuasai oleh kehidupan.
Ditanya demikian, saya bingung juga dan otak saya perlu berpikir tujuh keliling niih...keluh saya di dalam hati. Oh ya...saya jadi ingat dengan kejadian yang pernah menimpa saya waktu kuliah dulu, jawab saya berterus terang. Awal kuliah, saya begitu semangat untuk ikut kuliah. Berbagai macam kajian saya ikuti. Dari mulai seminar, diskusi, bedah buku, dan berbagai aktivitas akademik lainnya. Menjelang semester kelima saya merasa begitu jenuh menghadapi perkuliahan. Saya menganggap aktivitas kuliah begitu-begitu saja tidak ada perubahan. Bangun tidur, shalat subuh, belajar sebentar, mandi, sarapan, berangkat kuliah, kuliah, pulang ke kontrakan, istrirahat, belajar lagi, dan tidur malam. Terus-menerus aktivitas seperti itu saya lakukan selama dua tahun dan akhirnya saya pun mengalami kejenuhan.
Untungnya ada seorang Dosen yang memberitahu kepada saya sehingga saya bisa melewati kejenuhan tersebut. Hal ini pun, menurut saya, bisa dijadikan bahan renungan untuk memecahkan persoalan yang saudara hadapi. Pertama, sapalah aktivitas kehidupan di luar aktivitas rutin (profesi/pekerjaan/kuliah) yang saudara geluti. Di dalam kehidupan banyak aktivitas yang bisa dilakukan selain kerja/kuliah. Di masyarakat, ada kegiatan RT/RW, arisan keluarga, gotong royong, menjenguk tetangga yang sakit atau kesusahan, merupakan beberapa aktivitas yang dapat dilakukan untuk menghilangkan kejenuhan. Di kalangan mahasiswa, saudara bisa ikut aktivitas organisasi kampus, penelitian di masyarakat, melakukan advokasi dan pengabdian pada masyarakat. Melalui aktivitas-aktivitas di luar kegiatan rutin, kita akan mendapatkan pengalaman, pengetahuan, dan pergaulan yang tidak ternilai harganya. Bahkan, dengan cara ini kita bisa berbagi dan berempati dengan sesama.(ta’awanu alal birri wattaqwa wala ta’awanu alal ‘ismi wal’udwan)
Kedua, sempatkan waktu untuk menikmati keindahan alam semesta ciptaan Tuhan dengan cara melakukan rekreasi bersama keluarga atau teman-teman untuk menghilangkan kejenuhan dan kepenatan yang menimpa diri kita. Nikmatilah indahnya alam pegunungan, ombak lautan, makanan nikmat, keunikan yang dimiliki oleh binatang, dan kreasi-kreasi manusia yang ada di berbagai obyek wisata. Semua itu harus dijadikan sebagai bagian dari upaya kita mendekatkan diri kepada Tuhan. Melalui ciptaan-Nya kita dapat lebih mengenal dan bersyukur kepada-Nya (tafaqqaru fi khalqillah wala tafaqqaru fi dzatihi)
Ketiga, perkokoh motivasi dan keyakinan hidup. Ungkapan yang sering kita dengar adalah gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Ungkapan ini memberikan motivasi yang kuat dalam meraih berbagai kesuksesan. Selain itu, ungkapan ini juga menyarankan agar dalam melakukan berbagai aktivitas hendaknya dibuat target atau tujuan yang hendak dicapai. Ketika aktivitas yang dilakukan belum sesuai dengan target atau tujuan yang diharapkan, maka perlu dilakukan evaluasi yang hasilnya dapat dijadikan bahan untuk menambah motivasi yang lebih besar sehingga dapat meraih kesuksesan.
Dalam kajian psikologi, manusia biasanya akan melakukan sesuatu jika ia punya kemaun terhadap sesuatu itu. Kemauan ini tergantung pula kepada sesuatu yang mencetuskannya. Cetusan kemauan bisa kuat atau lemah. Cetusan inilah yang dinamakan motif. Oleh karena itu, motivasi yang ada dalam diri manusia sangat bergantung pada seberapa besar motif yang mendorongnya. Dalam ajaran Islam, motif diidentikkan dengan niat. Niatlah yang menentukan seseorang melakukan perbuatan baik atau jelek. Dengan niat pula seseorang dapat melakukan pekerjaan secara berkualitas dan meraih kesuksesan. Sabda Nabi menyatakan “Segala perbuatan manusia bergantung kepada Niatnya”
Motif atau niat yang terbaik adalah niat yang penuh keikhlasan kepada Allah. Niat semacam ini akan menghilangkan berbagai macam perasaan yang menghantui diri manusia seperti sombong, ingin mendapat pujian, ingin imbalan, dan sebagainya. Selain itu, dengan niat ikhlas ini akan menambah keyakinan dalam menjalani hidup. Hidup di dunia hanyalah terminal menuju kehidupan yang sesungguhnya, yakni kehidupan di akhirat kelak. Di akhirat nanti manusia akan bertemu dengan Tuhannya dan itulah yang menjadi tujuan utama manusia hidup. Firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 21 “sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (pertemuan) kepada Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.Demikian penjelasan yang saya terima dari Dosen pembimbingku. Penjelasan inilah yang saya jadikan modal untuk terus meraih kesuksesan-kesuksesan dalam menjalani hidup ini. Saya pun berharap penjelasan yang singkat ini dapat dijadikan pegangan oleh saudara. Kesuksesan yang telah saudara raih perlu diteruskan untuk meraih kesuksesan yang sesungguhnya di alam akhirat nanti. Sementara bagi saudara-saudara yang belum meraih kesuksesan dalam hidup di dunia ini, kejarlah terus dengan semangat tinggi, penuh optimisme, dan senantiasa berada dalam keridlaan-Nya. Wallahu’alam bisshawab.

BENCANA: HUKUMAN ALLAH ATAU ULAH MANUSIA?

Dalam salah satu pengajian di majelis ta’lim, seorang ustadz mengajukan pertanyaan kepada jama’ah apakah bencana-bencana yang menimpa bangsa Indonesia merupakan hukuman dari Allah? Sebagian jama’ah menjawab setuju dengan pertanyaan tersebut, tetapi sebagian yang lainnya menyatakan ketidaksetujuannya. Mereka yang tidak setuju mengatakan bahwa musibah-musibah yang menimpa bangsa ini akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
Lantas dengan nada yang lembut, ustadz mengajukan kembali pertanyaan lanjutan untuk memperdalam permasalahan, bagaimana saudara-saudara mengetahui bahwa bencana-bencana tersebut merupakan hukuman atau ulah perbuatah manusia? Dengan nada yang bersemangat sebagian jemaah yang setuju dengan hukuman Allah membeberkan jawabannya, ya….wong kita saksikan sendiri baik melalui berita atau menyaksikan sendiri bahwa dalam kehidupan bangsa ini banyak terjadi korupsi, penipuan, penyalahgunaan jabatan, banyak perjudian, narkoba dan sebagainya. Bukankah itu tanda-tanda kemaksiatan atau dosa yang dilakukan oleh bangsa ini. Dalam kitab suci al-Qur’an telah dijelaskan bagaimana Tuhan menghukum bangsa-bangsa terdahulu akibat dari perbuatan dosa yang mereka lakukan seperti hukuman terhadap kaum ‘Ad, Samud, dan kaum-kaum Nabi terdahulu lainnya.
Dengan nada yang sama, sebagian jamaah yang tidak setuju dengan hukuman Allah menjelaskan bahwa musibah yang menimpa kita ini karena perbuatan tangan manusia seperti menggunduli hutan, membuang sampah sembarangan, menggali sumber alam yang berlebihan, membangun perumahan tanpa serapan air, membawa penumpang melebihi kapasitas, dan sebagainya. Allah dalam surat ar-rum ayat 41 sudah mengingatkan umatnya “telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Sayangnya peringatan Allah ini kurang dipahami dan diamalkan sehingga banyak terjadi bencana.
Oke-oke… jamaah ustadz memang pintar-pintar, ustadz bangga dan kagum pada saudara-saudara. Tapi, ngomong-ngomong apakah pernyataan-pernyataan saudara tersebut sudah dipikirkan masak-masak, saya khawatir saudara hanya bisa bicara di dalam majlis ta’lim ini, sementara ketika saudara kembali ke rumah masing-masing dan menjalani aktivitasnya lupa terhadap apa yang telah dinyatakan tadi. Dengan nada tersipu malu mereka mengatakan ya kadang-kadang Ustadz, namanya juga manusia sering lupa dan tempat bersalah, bukan begitu Ustadz?
Untuk itu, kata ustadz, kita harus saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran (watawashau bil haq wa tawashau bissabr) dan hal tersebut menjadi kewajiban kita sebagai individu muslim. Selanjutnya, ustadz mau bertanya lagi, kira-kira masih berkenan atau tidak para jamaah sekalian. Ya, tentu ustadz, kami sangat senang apabila model pengajian seperti ini. kami diajak untuk berfikir dan sekaligus kami juga mendapatkan wawasan serta mendapatkan motivasi untuk melakukan tindakan tanpa ada pemaksaan atau indoktrinasi.
Baiklah, saya tidak mau bencana alam ini hanya menjadi perdebatan belaka (lip service). Apalagi terlalu jauh memikirkan hal-hal gaib yang berada di luar kemampuan kita sebagai manusia. Hal terpenting adalah kita sudah merasakan betapa bencana itu menyakitkan, penuh duka, dan derita. Persoalannya, menurut saudara apa kira-kira hikmah dibalik bencana-bencana yang menimpa bangsa ini? menurut Aa Gym (Abdullah Gymnastiar), segala kejadian atau peristiwa yang menimpa manusia akan ada hikmah dibalik kejadian atau peristiwa tersebut.
Waduuh…kok semakin sulit saja pertanyaannya ustadz, keluh salah seorang jama’ah. Menurut kami---salah seorang jama’ah berujar--- sulit rasanya kita bisa menebak secara pasti hikmah dibalik bencana ini. Mungkin masing-masing individu akan berbeda-beda dalam memahami hikmahnya, ada yang semakin dekat dengan Allah, ada yang berhati-hati dalam bertindak terhadap alam, ada yang semakin maju dalam hidupnya, ada yang sabar dalam menghadapi ujian, dan sebagainya. Semua itu tergantung tingkat keimanan, kapasitas pemahaman, dan pengalaman keagamaan dari masing-masing individu. Adapun secara kolektif, kita hanya bisa berharap ada perubahan yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya yang terpenting menurut kami adalah bagaimana sikap dan perilaku kita di masa yang akan datang. Sebab perintah dalam surat ar-rum ayat 41 di atas berupa kata kerja (yarjiun) artinya kita harus berbuat supaya menuju jalan kebenaran.
Lantas menurut saudara-saudara, apa yang mesti dilakukan? Begini ustadz, kata jama’ah yang lainnya: pertama, kita sebagai khalifatullah harus mengenal diri kita sendiri bahwa kita adalah makhluk dua dimensi yang terdiri dari unsur ruhani dan jasmani. Kedua unsur ini perlu dipenuhi secara seimbang agar tidak terjadi konflik dalam bersikap dan berperilaku. Jangan kita kerja terus, tetapi lupa Tuhan dan sebalikya jangan ibadah terus, tetapi lupa dengan kerja untuk kehidupan.
Kedua, kita perlu mengenal alam tempat kita hidup. Alam merupakan anugerah Allah kepada manusia untuk dimakmurkan (Q.S.11:61). Dalam proses memakmurkan perlu diciptakan keseimbangan (hukum keadilan) antara kepentingan manusia dengan kepentingan alam. Jangan mengeksploitasi alam hanya untuk kepentingan manusia tanpa memikirkan kepentingan kelestarian alam. Banyak krisis ekologi yang terjadi karena ada ketidakseimbangan antara kepentingan manusia dengan kepentingan alam. Selain itu, alam diciptakan oleh Tuhan dengan ukuran yang serapih-rapihnya (Q.S. 25:2) artinya peristiwa-peristiwa alam dalam batas-batas tertentu mampu diprediksi oleh manusia sehingga manusia perlu mempersiapkannya atau menjaganya.
Ketiga, sunnatullah berupa hukum kausalitas (sebab akibat) dan hukum sejarah berlaku secara universal di alam raya ini, tidak mengenal jenis kelamin, agama, suku, warna kulit dan sebagainya. Siapa yang sungguh-sungguh dialah yang dapat, begitulah hukum sejarah berlaku, sebaliknya siapa yang malas dialah yang akan menderita.
Subhanallah… ustadz menunjukkan rasa kekagumannya, ternyata jama’ahku orang-orang yang memiliki wawasan yang luas. Kalau jama’ah seperti ini, majlis ta’lim akan dinamis, tidak monoton serta banyak jama’ahnya. Ustadz itu pengetahuannya juga terbatas, tidak semua hal berkaitan dengan kehidupan diketahuinya. Apalagi pada era modern seperti sekarang ini, arus informasi begitu cepat, masing-masing individu punya kelebihan dan kekurangan, tak terkecuali ustadz, tinggal bagaimana kita saling bertukar informasi dan bertawsiah di antara kita. Demikian, mudah-mudahan pengajian melalui dialog ini ada manfaatnya dan semoga kita dapat memetik pelajaran untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. amin….
[i] Penulis adalah Dosen Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto