Saturday 14 June 2014

SHALAT DAN ETIKA SOSIAL

Peringatan isra mi’roj yang dilakukan oleh umat Islam pada setiap tanggal 27 Rajab memiliki arti penting dalam perjalanan keberagamaan seorang muslim. Demikian halnya dengan peringatan isra mi’roj yang terjadi pada tahun 2014 ini yang jatuh pada hari selasa tanggal 27 Mei 2014. Dalam peringatan tersebut, paling tidak seorang muslim diingatkan untuk senantiasa meningkatkan keimanannya kepada Allah SWT dan berupaya untuk meningkatkan kualitas ibadah shalatnya. Jika dinalar secara logika, peristiwa isra mi’raj yang dilakukan oleh Rasulullah tentu amat sulit untuk diyakini. Rasulullah melakukan perjalanan yang amat jauh dari masjid al-Haram (Mekkah) menuju ke masjid al-Aqsha (Palestina) dan dilanjutkan ke sidrat al-muntaha yang waktunya hanya dilakukan pada malam hari. Para Sahabat pun ada sebagian yang tidak memercayai peristiwa yang berada di luar kebiasaan manusia yang dikenal saat itu. Hanya para Sahabat yang memiliki iman teguh yang dapat meyakini peristiwa luar biasa tersebut. Oleh karena itu, dalam memperingati peristiwa isra mi’roj Rasulullah, keimanan seseorang kepada Allah SWT perlu terus menerus ditingkatkan dan diwujudkan dalam bentuk ibadah kepada-Nya. Iman seseorang ibarat lampu pijar yang voltasenya ada yang rendah, sedang dan tinggi. Jika voltasenya rendah, maka cahayanya akan redup dan kurang menyinari lingkungan sekitarnya. Demikian juga, apabila iman seseorang voltasenya rendah, maka keyakinannya kepada hal-hal yang gaib---termasuk peristiwa isra mi’roj Nabi--- akan mengalami keraguan dan bahkan tidak memercayainya. Tetapi sebaliknya, jika imannya kuat, peristiwa apapun yang terjadi di alam semesta ini tentu akan menambah keyakinannya kepada Allah SWT. Iman merupakan sesuatu yang abstrak dan sulit untuk diketahui oleh orang lain. Bisa jadi seseorang menyatakan dirinya sebagai orang yang beriman, tetapi sikap dan perilakunya tidak mencerminkan keimanannya kepada Allah SWT. Seperti yang dilakukan oleh orang Arab Badui yang menyatakan diri beriman, tetapi perilakunya tidak mununjukkan keimanan mereka kepada Allah SWT. Hal ini dikisahkan dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 “orang-orang Arab Badui berkata “kami telah beriman”. Katakanlah (kepada mereka), kamu belum beriman, tetapi katakanlah “kami telah tunduk (Islam)”, karena iman belum masuk ke dalam hatimu...” Untuk menguji keimanan seseorang kepada Allah SWT, maka Rasulullah mendapatkan “oleh-oleh” dari peristiwa isra mi’roj berupa perintah untuk melaksanakan shalat lima waktu. Shalat merupakan wujud atau bukti seseorang beriman kepada Allah SWT. Shalat merupakan ibadah fisik dan ruhani yang nyata dan bisa diamati secara langsung. Orang yang tidak menjalankan shalat berarti orang yang masih diragukan keimanannya kepada Allah SWT. Di dalam perintah shalat terkandung banyak makna yang bisa dijadikan pegangan hidup bagi seorang muslim. Secara intrinsik, shalat (ibadah) mengandung arti mendekatkan diri kepada Allah SWT (QS. 9:99). Orang yang rajin shalat, hati dan jiwa raganya dekat dengan Allah. Segala hal yang menimpa dirinya baik suka maupun duka selalu dikaitkan dengan Allah. Bahkan seorang hamba yang sedang shalat bisa menangis karena begitu dekatnya ia dengan Allah SWT. Sedangkan secara ekstrinsik, shalat mengandung arti pendidikan bagi individu atau kelompok (QS. 29:45). Shalat mengajarkan seseorang atau kelompok untuk bisa menjadi disiplin, tepat waktu, kepatuhan pada pemimpin, kebersamaan, dan lain sebagainya. Pendidikan dari shalat yang penuh makna tersebut dalam realitasnya belum banyak dilakukan oleh umat Islam. Shalat umumnya masih sebatas ritual individu belaka dan makna shalat belum banyak diterjemahkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari di masyarakat. Menyempitnya makna ibadah shalat kepada ibadah yang bersifat individual mengakibatkan munculnya akhlak sosial yang belum bisa dibanggakan dari kebanyakan umat Islam, yang menimbulkan pemisahan ibadah shalat dengan dimensi etika sosial. Orang yang rajin shalat mestinya peduli dan ikut berpartisipasi dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan dan persoalan-persoalan sosial yang ada di masyarakat. Masalah perburuhan, kemiskinan, ketidakadilan gender, toleransi agama, lingkungan hidup, penegakan hukum, kualitas pendidikan, dan moralitas bangsa merupakan masalah-masalah besar yang membutuhkan perhatian dari seorang muslim yang beriman kepada Allah dan melaksanakan shalat. Rasulullah melakukan isro mi’raj bukan sebuah pendakian spiritual (peningkatan iman) semata, tetapi lebih berorientasi kepada manusia di bumi melalui shalat dan zikir. Shalat dan zikir merupakan sebuah orientasi keilahian yang diterjemahkan dengan orientasi praksis untuk menciptakan salam (perdamaian) di antara sesama manusia. Rasulullah bukanlah seorang yang egois, beliau mi’roj dan bertemu dengan Allah, kemudian beliau berdiam diri dan asyik menjalankan ibadah kepada Allah di sidrat al-muntaha. Justru sebaliknya, Rasulullah setelah bertemu Allah dan menerima perintah shalat, beliau turun ke bumi untuk menjalani kehidupan dunia dan ikut terlibat dalam proses memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi pada zaman Rasulullah. Oleh karena itu, dalam memperingati isro mi’roj Nabi Muhammad tahun ini, hal terpenting yang perlu dibenahi di kalangan umat Islam, bagaimana kita bisa menyeimbangkan antara ibadah shalat dan perilaku sosial kita di masyarakat. Tunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang maju, toleran, progresif, berkualitas, dan berilmu karena mengejawantahkan nilai-nilai shalat. Wallahu a’lam bi al-shawab

No comments: