Wednesday 3 September 2008

manajemen diri

MANAJEMEN DIRI DALAM AKTIVITAS DAKWAH
Oleh: Abdul Basit

Pendahuluan
Manajemen sebagai ilmu lahir dari dunia Barat, tetapi inspirasi tentang perlunya manajemen dalam berbagai hal bersumber dari Al-Qur’an. Dalam surat al-Hasyr ayat 18
يايهاالذين امنوا اتقواالله ولتنظرنفس ماقدمت لغد واتقواالله ان الله خبير بما تعملون
Allah memerintahkan kita untuk merencanakan masa depan dengan memperhatikan situasi dan potensi diri berdasarkan ajaran Allah menuju pada tujuan keberuntungan jangka panjang dengan penuh kesungguhan dan menyerap sifat-sifat Allah ke dalam diri sumber daya manusia. Perintah Allah tersebut mengisyaratkan tentang pentingnya manajemen dalam kehidupan manusia.
Berkenaan dengan aktivitas dakwah, keberadaan manajemen amat dibutuhkan. Seorang da’i ketika hendak menyampaikan dakwahnya perlu mempertimbangkan kebutuhan dasar dari mad’u baik secara psikologis maupun sosial. Dakwah tidak akan efektif manakala obyek dakwah yang sedang lapar diberikan ceramah oleh seorang da’i. Begitu juga, seorang petani yang membutuhkan modal untuk pengembangan pertaniannya hanya diberikan ceramah-ceramah yang sifatnya teoritis tanpa memberikan solusi langsung. Jika manajemen diabaikan dalam aktivitas dakwah tentu akan berimplikasi pada keberlangsungan dakwah. Aktivitas dakwah akan mengalami penurunan, dakwah akan ditinggalkan oleh umatnya, dan lebih jauhnya agama menjadi mandul atau tidak bisa berperan dalam kehidupan masyarakat.
Manajemen dalam kacamata Barat diartikan sebagai “getting things done through people” (mengupayakan agar sesuatu dapat terlaksana melalui orang lain).[1] Dari pengertian tersebut, manajemen terkait dengan organisasi dan kepemimpinan atau dalam bahasa yang berbeda organisasi amat membutuhkan manajemen dan manajemen membutuhkan peranan dari kepemimpinan. Mengingat tulisan ini tidak dimaksudkan untuk penguatan pada organisasi dakwah seperti yang penulis ungkapkan pada bagian awal, maka manajemen dalam tulisan ini lebih diarahkan pada peran kepemimpinan. Dalam perspektif Islam, seperti yang diungkapkan dalam hadits, setiap individu adalah pemimpin. Hadits tersebut menegaskan bahwa manajemen berawal dari diri sendiri. Tidak seperti pandangan Barat bahwa manajemen muncul karena ada orang lain. Pandangan Islam inilah yang dijadikan titik pijak dalam tulisan ini, yakni bagaimana memanaj diri seorang muballigh atau muballighah sehingga mereka dapat lebih maksimal dalam menjalankan perannya. Sebelum memberikan penjelasan lebih jauh, terlebih dahulu dijelaskan tentang pengertian dakwah sehingga ada persamaan persepsi dalam memahami dakwah.

Pengertian Dakwah
Istilah dakwah merupakan istilah yang diperkenalkan langsung oleh Allah melalui ayat al-Qur’an. Istilah dakwah tersebut bisa bermakna ajakan kepada jalan kebaikan والله يدعوا الى دار السلام (QS. Yunus: 25) dan bisa pula mengajak kepada kejahatan رب السجن أحب الي ممايدعونني اليه (QS. Yusuf:33). Karenanya istilah dakwah biasanya diikuti dengan kata Islam sehingga maknanya menjadi jelas yakni dakwah Islam.
Selain kata dakwah itu sendiri, Al-Qur’an juga banyak memperkenalkan istilah-istilah dakwah yang maknanya berhimpitan dan bahkan sering digunakan sebagai makna dakwah seperti amar ma’ruf nahi munkar, tabligh, taushiyat, nasehat, ta’lim, tadzkir, tabsyir dan tandzir, tanbih, dan sebagainya.
Begitu banyaknya istilah dakwah yang diperkenalkan oleh al-Qur’an, para ulama berbeda-beda dalam menafsirkan makna dakwah. Ada yang memaknai dakwah itu identik dengan Islam itu sendiri artinya setiap aktivitas yang dilakukan oleh umat Islam disebut dengan aktivitas dakwah.[2] Pemahaman ini semakin diperkuat dengan hadits yang mewajibkan bahwa setiap individu memiliki kewajiban untuk berdakwah, seperti hadits riwayat muslimمن رأى منكم منكرا فليغيره بيده فان لم يستطع فبلسانه وان لم يستطع فبقلبه وهو اضعف الايمان" Pemahaman semacam ini memang tidak ada salahnya, hanya saja dalam konteks manajemen dakwah, pemahaman semacam ini memiliki banyak kelemahan. Dakwah menjadi aktivitas yang bersifat natural, kurang memiliki tujuan yang jelas dan lebih jauh lagi dakwah tidak bisa menjadi kajian ilmu. Semua bidang kehidupan (pendidikan, ekonomi, politik, budaya, psikologi, dan sebagainya) menjadi bagian dari dakwah.
Di sisi lain, ada juga pemahaman dakwah yang begitu sempit, dakwah dimaknai dengan tabligh/ceramah saja. Pemahaman semacam ini yang banyak berkembang di masyarakat. Seorang da’i adalah seorang yang pintar bicara. Dengan pemahaman semacam ini tidak heran jika ada orang yang memiliki retorika baik tetapi pemahaman keagamaannya lemah lebih terkenal atau popular dibandingkan dengan seorang yang memiliki kedalaman ilmu agama tetapi kurang memiliki kemampuan dalam retorika. Konsekuensi logisnya akan lahir da’i-da’i karbitan pada era sekarang ini.
Jika dicermati lebih dalam dari ayat-ayat al-Qur’an yang memperkenalkan istilah dakwah, ada tiga unsur penting berkenaan dengan dakwah yaitu:
1. Tabligh, yakni proses penyampaian baik secara lisan maupun tulisan
أبلغكم رسلت ربي وانصح لكم واعلم من الله مالاتعلمون (QS. Al-A’raf ayat 62)
2. Perubahan (change) dan pengembangan (developmental), makna ini diistilahkan dalam al-Qur’an “Ahsanu ‘amala” sebagaimana firman Allah dalam surat Fushilat ayat 33 yang berbunyi: ومن احسن قولا ممن دعا الى الله وعمل صالحا وقال انني من المسلمين dan bisa juga diturunkan dari makna-makna amar ma’ruf nahi munkar yang banyak disebutkan dalam al-Qur’an.
3. Keteladanan. Dalam ajaran Islam, keteladanan diistilahkan dengan akhlak. Akhlak merupakan tugas utama dari Nabi sebagaimana sabda Beliau “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Tugas ini juga menjadi tugas para pengikutnya yang menyatakan dirinya sebagai muslim (QS. Yusuf: 108) dan karenanya mencontoh kepada Rasulullah sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ahzab ayat 21 “sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

Kompetensi Muballigh
Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam menjalankan perannya. Bagi muballigh, kompetensi memiliki kedudukan yang penting karena menjadi prasyarat utama untuk dapat melaksanakan perannya sebagai muballigh. Menurut penulis, paling tidak, ada empat kompetensi utama yang mesti dimiliki oleh seorang muballigh[3] yaitu:
1. Kompetensi Personal
Kompetensi personal berkenaan dengan kepribadian seorang muballigh yang menjadi daya tarik bagi mad’u. Muballigh hendaknya memiliki penampilan yang menarik, bertutur kata yang baik, bersikap dan berperilaku lemah lembut, penyayang, penuh perhatian, demokratis, dan tawadlu.
2. Kompetensi Sosial
kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan seorang muballigh dalam bergaul dengan sesamanya. Muballigh hendaknya memiliki keahlian social dengan cara menumbuhkan sikap simpati dan empati kepada sesamanya. Sikap ini ditunjukkan dengan cara berprasangka baik dengan mad’u, sikap saling menyayangi, saling tolong menolong, saling menasehati, bermusyawarah, mau berbaur dengan masyarakat, dan memiliki toleransi yang tinggi.[4]
3. Kompetensi Substantif
Kompetensi substantif berkenaan dengan kemampuan seorang muballigh dalam penguasaan terhadap pesan-pesan atau materi-materi yang akan disampaikan. Dalam hal ini, seorang muballigh harus memiliki pengetahuan dan wawasan yang mendalam tentang Islam baik yang menyangkut akidah, syari’ah maupun muamalah.
4. Kompetensi Metodologis
kompetensi metodologis berkenaan dengan kemampuan dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah secara efektif dan efisien.

Upaya Peningkatan Kompetensi Muballigh
Upaya peningkatan kompetensi muballigh yang bersifat personal dan social dapat dilakukan secara langsung oleh muballigh itu sendiri dengan cara menumbuhkan kesadaran pada dirinya bahwa muballigh merupakan seorang prominent figure (tokoh terkemuka) di masyarakat karenanya segala tutur kata, sikap, dan perilakunya menjadi sorotan masyarakat. Menumbuhkan kesadaran diri dapat dilakukan dengan cara muhasabah (diri cermin)[5], meminta kepada orang lain yang dapat dipercaya untuk menilai diri muballigh seperti yang dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah dengan membentuk dua saudara, atau mengikuti training seperti yang dilakukan oleh ESQ Training.
Demikian juga dengan peningkatan kompetensi yang bersifat substantif hendaknya diupayakan secara terus menerus. Muballigh jangan merasa puas dan cukup dengan keilmuan yang dimilikinya sekarang. Ilmu senantiasa mengalami perkembangan sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat yang notabene mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman dan situasi yang terus berubah dari waktu ke waktu, bahkan dari menit ke menit. Waktu era orde lama, memakai dasi merupakan perbuatan yang dilarang oleh sebagian umat islam karena dianggap meniru perilaku orang Barat (Belanda), tetapi pada era sekarang banyak Kyai atau ustadz yang banyak memakai dasi dalam kegiatan-kegiatan dakwah. Contoh lain, zaman Rasulullah belum ada yang namanya asuransi. Sekarang manusia butuh asuransi untuk menjamin kehidupan diri dan generasinya menjadi lebih baik, maka diadakan asuransi.
Apalagi melihat kecenderungan masyarakat sekarang ini dan pada masa depan yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan menggunakan cara berfikir rasional dan pemanfaatan teknologi tinggi. Dalam hal ini, muballigh tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu yang berbasiskan agama saja, melainkan juga ilmu-ilmu dasar yang mendukung kebutuhan hidup manusia seperti ilmu ekonomi, politik, psikologi, dan sosiologi. Muballigh dituntut bagaimana mengaitkan ilmu-ilmu agama yang dimiliki dengan ilmu-ilmu lainnya atau mengaitkan dengan tema-tema yang sedang up to date seperti tema demokrasi, HAM, good governance, masyarakat madani dan sebagainya. Dengan cara tersebut tidak lagi terkesan muballigh hanya menyampaikan materi-materi dakwah yang tidak jauh dengan surga dan neraka atau mad’u menjadi enggan untuk menghadiri majlis ta’lim/pengajian karena materinya tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan mad’u pada era kekinian.
Sebenarnya untuk mendapatkan materi-materi dasar yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia tidak harus melalui pendidikan formal yang tinggi, tetapi jika memungkinkan memang lebih baik. Muballigh dapat memanfaatkan buku-buku bacaan yang dimiliki oleh anak-anak kita, majalah-majalah, menonton televisi, mendengarkan radio, dan bisa mengikuti forum-forum semacam ini. Walhasil, muballigh dituntut untuk banyak membaca buku/majalah/artikel dan lingkungan sebagai sumber utama dalam menyampaikan pesan-pesan dakwahnya.
Adapun cara meningkatkan kompetensi yang bersifat metodologis dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Peningkatan kemampuan berceramah
Ceramah atau berbicara di depan umum merupakan prasyarat dasar bagi seorang muballigh. Memang setiap orang memiliki kemampuan untuk berbicara di depan umum, tetapi kepandaian berbicara di depan umum tidak dimiliki oleh setiap orang. Kepandaian berbicara membutuhkan latihan dan eksperimen terus menerus. Semakin sering seorang muballigh dilatih dan diterjunkan dalam aktivitas ceramah akan semakin pandai dalam berbicara. Dalam ilmu dakwah, melatih berbicara dikenal dengan khitobah atau dalam ilmu komunikasi dikenal dengan istilah retorika atau public speaking. Retorika merupakan seni berbicara atau menyampaikan pesan secara efektif. Maksud dari efektif adalah penggunaan bahasa yang baik, tujuan atau sasaran tercapai, waktu yang tepat, tempat yang tepat, dan mengesankan. Kepandaian dalam berretorika tidak identik dengan kepandaian dalam membuat humor. Karenanya dalam retorika hal-hal penting yang harus dikembangkan adalah: body language (bahasa tubuh), sistematika pesan, dan intonasi.
2. Mengenal kebutuhan mad’u dengan baik
Sekurang-kurangnya muballigh dalam menyampaikan pesan-pesan harus memperhatikan kebutuhan psikologis dan sosiologis dari mad’u. lebih baik lagi apabila muballigh dapat mengenali karakteristik dari mad’u seperti tingkat pendidikan, ideologi yang digunakan, sistem nilai/tradisi yang dipakai, dan pemahaman keagamaannya. Pengenalan ini dimaksudkan agar apa yang disampaikan oleh muballigh dapat diterima oleh mad’u dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kebutuhan psikologis manusia berupa kebutuhan yang bersifat kognitif dan afektif. Kebutuhan yang bersifat kognitif dapat berupa kebutuhan akan informasi dan kebutuhan untuk menambah keyakinan atau kepercayaan. Sedangkan kebutuhan yang bersifat afektif adalah kebutuhan yang menyangkut emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek baik senang, sedih, takut, malu, dan sebagainya.
Kebutuhan sosiologis adalah kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan rasa aman dapat berupa kebutuhan makan, sandang dan papan. Sedangkan kebutuhan aktualisasi diri dapat berupa pengakuan dari orang lain akan eksistensinya dan kebutuhan untuk dilibatkan dalam berbagai aktivitas masyarakat.
Dalam prakteknya memang terkadang tidak mudah untuk membedakan satu kebutuhan dengan kebutuhan yang lainnya. Yang pasti janganlah muballigh memaksakan materinya kepada seluruh mad’u. Kita perlu menghindari terjadinya da’i kaset artinya materi yang sama diputar dalam beragam obyek. Materi dakwah harus menyesuaikan dengan mad’unya.( خاطب الناس بقدر عقولهم ). Untuk itulah muballigh perlu mengenal kecenderungan masyarakat, situasi dan kondisi, serta waktu menyampaikan. Sebagai contoh, Orang yang terpelajar atau masyarakat perkotaan membutuhkan penguatan keyakinan atau informasi tentang agama yang dijalaninya sehingga tidak bertabrakan dengan kehidupan modernnya, seperti adanya asuransi, pembelian saham, donor ginjal, kehidupan sufi modern, dan sebagainya.
Contoh lain, ketika kita berbicara di depan jama’ah tahlilan dengan jama’ah arisan harus dibedakan baik dari sisi materi, bahasa tubuh maupun intonasi pembicaraan. Demikian juga berbicara di depan orang banyak (di lapangan) dengan berbicara di depan orang yang sedikit (di dalam kelas) harus dibedakan. Orang yang di lapangan cenderung emosional, sedangkan orang yang berada di dalam kelas cenderung rasional. Muballigh juga memperhatikan waktu-waktu atau tanggal-tanggal penting seperti hari HIV/Aids sedunia, hari buruh sedunia, hari kebangkitan nasional, hari pendidikan, hari lingkungan, dan sebagai. Sesuaikan materi-materi yang disampaikan dengan peristiwa-peristiwa yang ada sehingga pendengar merasa dekat dengan kebutuhannya.

Penutup
Demikianlah gambaran singkat untuk meningkatkan kemampuan muballigh/ muballighah. Upaya peningkatan yang disampaikan di atas akan berhasil manakala ada kemauan yang keras dari para muballigh/muballighah dalam meningkatkan diri dan kemampuannya dalam menyampaikan dakwah. Kemauan muballigh/muballighah dalam meningkatkan dirinya akan berimplikasi besar pada peningkatan kualitas umat Islam. Mengingat dakwah yang ada di Indonesia merupakan dakwah yang bersifat peningkatan, bukan dakwah perluasan. Selain itu, masih banyak umat Islam yang masih membutuhkan dakwah. Akhirnya, penulis berharap mudah-mudahan kegiatan semacam ini dapat menjadi pemicu bagi muballigh/muballighah dalam mengembangkan dirinya dan terus berupaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam Indonesia.

Wallahu a’lam bi al-Shawab

[1] Ulumul Qur’an No. 6 Vol. II. 1990, hal. 19
[2] Pendapat ini diungkapkan oleh Hasan Al-Bana, seorang pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir.
[3] Menurut Abdul Munir Mulkhan kompetensi muballigh ada dua yaitu kompetensi yang bersifat substantif dan kompetensi yang bersifat metodologis. Penulis menambahkan dua kompetensi lagi agar lebih jelas dengan cara menurunkan apa yang disebut oleh Mulkhan dengan kompetensi substantif yang meliputi akhlak dan penguasaan materi. Lihat Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, Yogyakarta: SI Press, 2002.
[4] Menurut al-Bayanuni, seorang da’i/muballigh adalah seorang yang احسان الظن بالمسلمين, ان يستر على الناس عيوبهم, ان يخالط الناس حيث تحسن الخلطة ويعتزلهم حيث بحسن الاعتزال, ان ينزل الناس منازلهم ويعرف لأهل الفضل فضلهم, ان يتعاون مع غيره من الدعاة ويشاورهم ويتناصح معهم, lihat Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni, al-Madkhal ila ‘Ilm al-da’wah, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1991, hal. 163-167.
[5] Diri cermin adalah istilah yang diperkenalkan oleh Charles Horton Cooley (1922) dengan istilah looking-glass self dengan cara kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita, dan kita mengalami perasaan bangga atau kecewa orang mungkin merasa sedih atau malu. Lihat Joseph A. Devito, The Interpersonal Communication Book, New York: Longman, 2001, hal. 60

No comments: