Friday 12 November 2010

AKTUALISASI NILAI-NILAI QURBAN DALAM KEHIDUPAN

Istilah hari raya qurban dalam pelafalan orang Indonesia seringkali disebut dengan istilah hari raya korban. Padahal makna korban lebih identik dengan arti mangsa seperti kata korban kecelakaan, korban bencana. Jika makna ini dikaitkan dengan hari raya idul adha berarti hari dimana harus ada korban yang siap untuk dimangsa, yakni daging. Makna ini menjadi sangat sederhana dan bisa menimbulkan salah tafsir. Jika seorang berkata ”kalbuku sakit”, maksud sebenarnya adalah qalbu (hati) yang sakit, tetapi pengucapannya kalbu, dalam bahasa arab berarti anjing. Oleh karena itu, istilah hari raya korban perlu diluruskan menjadi hara raya qurban, yang berasal dari bahasa arab qaraba yang berarti dekat. Jadi orang yang berqurban adalah orang yang mendekatkan diri kepada Allah.
Mendekatkan diri kepada Allah menjadi kata kunci dan hakekat dari perayaan idul qurban. Pada kata inilah terjadi titik temu antara orang mampu yang berqurban dengan orang tidak mampu yang mendapatkan daging qurban. Mendekatkan diri menjadi hak setiap individu dalam menjalankan ajaran agamanya. Orang yang berqurban tidak akan mendapatkan manfaatnya manakala dirinya jauh dari Tuhannya. Demikian juga, orang yang mendapatkan daging qurban tidak memetik hasilnya apabila dirinya tidak dekat dengan Tuhannya. Firman Allah swt:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Artinya: Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Kabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Kabil). Ia berkata (Kabil): "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa".(Q.S. Al-Maidah: 27)
Dalam mendekatkan diri kepada Allah swt, manusia oleh Allah diberikan potensi besar berupa akal, nafsu dan hati. Akal yang diberikan oleh Allah hendaknya difungsikan secara maksimal, baik dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan, berinovasi dalam memperkaya kehidupan, maupun dalam rangka membangun hubungan dengan Tuhan. Sebagai bangsa yang dianugerahkan sumber daya alam yang berlimpah, sudahkah kita memfungsikan akal kita secara maksimal? Pertanyaan ini perlu kita ajukan dalam diri kita secara terus menerus agar menjadi bahan introspeksi diri. Bangsa yang maju dan bangsa yang besar adalah bangsa yang memfungsikan akal dengan sebaik-baiknya. Indikatornya, bangsa ini adalah bangsa yang cinta dan peduli pada pendidikan masyarakatnya, bangsa yang mampu menggali kekayaan alamnya, dan bangsa yang hidupnya dibangun melalui pola pikir dan perilaku yang rasional.
Meskipun demikian, akal bukanlah satu-satunya alat yang dapat mengantarkan kita pada kebahagiaan yang sejati. Akal manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan. Betapa banyak kita menyaksikan peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini, akal tidak mampu menjangkaunya. Peristiwa tsunami, gempa bumi, dan masalah-masalah gaib merupakan sebagian contoh peristiwa-peristiwa yang sulit dijangkau oleh akal manusia. Pada konteks ini manusia harus mengakui adanya alat diri lain yang perlu diikuti yaitu hati nurani. Hati nurani inilah yang perlu dipedomani agar manusia dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Hati dalam diri manusia menjadi benteng pertahanan. Jika hati ini sakit atau tertutup dengan nilai-nilai kebaikan, maka manusia akan mengalami kerugiaan dan terjerumus dalam kehidupan yang jauh dari Tuhan.
Selain akal dan hati, manusia juga diberikan nafsu. Dengan nafsu manusia berani untuk melawan kejahatan. Dengan nafsu, manusia dapat mengembangkan kasih sayang, dan dengan nafsu juga manusia dapat terjerumus dalam kenistaan. Untuk itulah nafsu yang diberikan Allah pada manusia hendaknya diarahkan pada nafsu yang bersifat positif. Manusia boleh berambisi dalam meraih kesuksesan, pangkat, jabatan, dan berbagai posisi, tetapi ambisi tersebut harus disesuaikan dengan kompetensi, profesionalitas dan moralitas yang baik. Jangan kita mengorbankan diri kita sendiri hanya untuk meraih kesuksesan duniawi yang sifatnya sementara.
Dalam memaksimalkan ketiga alat yang diberikan oleh Allah, kita bisa belajar dari peristiwa qurban yang dilakukan oleh Ibrahim AS. Ibrahim yang dilahirkan dalam lingkungan manusia yang menyembah berhala berupa binatang-binatang dan patung-patung yang terbuat dari bebatuan. Suatu benda yang tidak dapat menghidupkan atau mematikan apalagi menciptakan. Keadaan masyarakat pada saat itu tidak memfungsikan akalnya dengan sebaik-baiknya. Mereka tidak dapat berfikir dengan baik, mengapa patung yang tidak bisa berbuat apa-apa, disembah dan dihormati.
Berbeda dengan masyarakatnya pada saat itu, Ibrahim mencoba memaksimalkan akalnya. Dia memperhatikan dan mengkaji bintang, bulan, matahari, yang pada saat itu dianggap sebagai kekuatan. Melalui penalaran yang matang akhirnya Ibrahim mampu menyimpulkan bahwa benda-benda tersebut bukanlah Tuhan yang memberikan kekuatan. Benda-benda tersebut hanyalah makhluk dan ciptaan-Nya. Akhirnya Ibrahim menemukan Tuhannya. Ia yakin Tuhan Allah sebagai Tuhan yang Esa dan Tuhan yang wajib disembah. Dari pengalaman Ibrahim inilah lahir satu prinsip penting dalam menjalankan agama yakni orang yang beragama harus berangkat dari satu Keyakinan kuat kepada Allah SWT. Keyakinan inilah yang menjadi pondasi dalam menjalani kehidupan keberagamaannya.
Keyakinan Ibrahim ini diuji oleh Allah melalui peristiwa penyembelihan anaknya Ismail. Anak yang diharapkan oleh keluarga Ibrahim cukup lama. Ibrahim sudah tua belum dikarunia anak dari pernikahannya dengan siti sarah. Akhirnya siti Sarah menganjurkan untuk menikahi pembantunya Siti Hajar agar dia memperoleh keturunan. Melalui pernikahan dengan Siti hajar akhirnya Ibrahim memperoleh anak yang bernama ismail, dan tidak berlangsung lama siti Sarah (isteri pertama Ibrahim) mengandung dan melahirkan Ishak as. Ujian utama kepada Ibrahim berupa nafsu. Apakah ibrahim berani untuk mengorbankan anaknya, tegakah ibrahim mengorbankan anaknya demi keyakinannya kepada Allah, siapkah Ibrahim mengorbankan nafsu dirinya untuk mempertahankan anaknya? Nyatanya Ibrahim mampu menyalurkan nafsunya dengan baik, ia berani, punya tekad yang kuat, dan hati yang lapang.
Manusia akan terhalang berhubungan dengan Tuhannya manakala manusia tersebut tertutup hatinya oleh keego-an dirinya. Manusia dibimbing oleh hawa nafsu untuk terus mengejar keaku-annya. Manusia selalu mengejar harta dan menumpuk-numpuknya, tergila-gila pada jabatan, segala kepandaian dikuasai, dan segala kekuatan dimilikinya. Sementara kedekatan dirinya kepada Tuhan senantiasa diabaikan. Contoh yang sederhana, manusia selalu menganggap dirinya tidak mampu untuk berqurban. Padahal di sisi lain ia mampu membeli televisi yang harganya sama dengan hewan qurban. Merasa tidak puas dengan televisi, manusia membeli kulkas, membeli emas, membeli kendaraan, dan sebagainya. Sementara untuk membeli hewan qurban yang harganya tidak seberapa selalu beralasan tidak mampu. Inilah contoh sederhana betapa manusia banyak yang mementingkan keegoan dirinya dan mengabaikan perintah Tuhannya untuk berqurban.
Menyembelih hewan ternak dan membagi-bagikan dagingnya kepada sanak kerabat, tetangga dan teman dekat merupakan wujud nyata latihan untuk mengendalikan hawa nafsu dan egoisitas ke-aku-an agar tunduk dan patuh di hadapan Tuhan. Selain itu, kita juga dapat berbagi protein kepada mereka-mereka yang selama ini belum banyak mendapatkan protein. Jika pada ramadlan yang lalu ada kewajiban setiap individu (berupa zakatfitrah) untuk memberikan bekal karbohidrat bagi manusia. Sekarang umat Islam dianjurkan untuk melengkapinya dengan memberikan protein yang juga menjadi kebutuhan manusia. Allah sama sekali tidak membutuhkan darah dan dagingnya tetapi Allah hanya akan menilai ketaqwaan yang mengiringi penyembelihan hewan qurban.
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُون
Artinya: Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik (QS. Al-hadid: 16).
Para ulama banyak memberikan penjelasan tentang hikmah dan fadilah dari peristiwa qurban, diantaranya: menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim, mendidik jiwa ke arah taqwa, mengikis sifat tamak, menjalin hubungan kasih sayang dan sebagainya. Dari sekian hikmah tersebut, hal terpenting yang dapat dijadikan pelajaran dan pegangan dari peristiwa qurban yakni adanya ujian dalam menjalani kehidupan dan keberagamaan ”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Q.S. Al-Mulk:2). Ujian inilah yang menjadi ukuran kualitas seseorang. Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad telah menjalani berbagai cobaan, ada yang dimakan ikan hiu, ada yang dibakar, ada yang terkena penyakit, ada yang dipenjara, dan sebagainya. Begitu juga, para wali, orang-orang sukses banyak mendapatkan ujian dan tantangan dalam menjalani kehidupannya.
Untuk menjalani ujian dengan baik, maka manusia membutuhkan alat petunjuk yang menjadi pedoman hidupnya. Alat inilah yang disebut dengan hati. Rasulullah bersabda:
ألا وإن فى الجسد مضغة اذا صلحت صلح الجسد كله واذا فسدت فسد الجسد كله الا وهي القلب
Artinya: Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat sekerat daging, jika sekarat daging tersebut baik, maka seluruh jasad akan baik. Namun jika sekarat daging tersebut rusak, maka seluruh jasad jug akan rusak, ingatlah sekerat daging yang dimaksud adalah hati. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Sebagai kata akhir, marilah peringatan hari idul adha kali ini dapat dijadikan sebagai bahan introspeksi diri di akhir tahun. sudahkah tiga potensi yang diberikan Allah berupa akal, nafsu dan hati difungsikan dengan sebaik-baiknya? Pertanyaan ini sejatinya terus menerus menghiasi diri ini agar kita sebagai individu dan makhluk social dapat berbuat maksimal dan mampu menjalankan perannya sebagai hamba dan Khalifah Allah di muka bumi. Akhirnya, marilah kita berdo’a kepada Allah swt seraya menundukkan kepala kehadirat-Nya. Kita mohon ampun atas segala dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat dan kita memohon mudah-mudahan Allah memberikan hidayah dan taufik-Nya sehingga kita dapat memaksimalkan potensi yang diberikan oleh Allah dalam menjalani kehidupan ini. Amin 3x Ya Rabbal Aalamin.

No comments: