Friday 12 November 2010

PENDIDIKAN KARAKTER DAN LIFE SKILL BAGI PEMUDA INDONESIA

Ekspektasi masyarakat terhadap kaum muda amat besar dalam mengawal perubahan-perubahan yang ada di Indonesia. Paling tidak, ada dua alasan besar mengapa masyarakat memiliki ekspektasi yang besar terhadap kaum muda. Pertama, pemuda pada umumnya memiliki idealisme, intelektual dan semangat untuk melakukan perubahan. Kedua, dalam catatan sejarah di Indonesia, pemuda angkatan 28, angkatan 45, angkatan 66, angkatan 74 dan angkatan 98 telah menorehkan sejarah yang gemilang dalam melakukan perubahan dan perbaikan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia.
Ekspektasi masyarakat yang besar tersebut jangan sampai ternodai oleh ulah para pemuda yang kurang bertanggung jawab dalam mempertahankan eksistensi dan perannya. Mereka hanya bangga sebagai pemuda, tetapi sikap dan perilakunya hanya berhura-hura, malas-malasan, dan acuh tak acuh dengan kegiatan sosial-kemasyarakatan. Demikian juga, masyarakat tidak ingin dibebankan oleh pemuda akibat sikap dan perilaku yang mereka lakukan seperti tawuran, konflik pemuda, narkoba dan sebagainya.
Masyarakat berharap agar para pemuda mengambil bagian dalam mengusung proses perubahan[1] yang terjadi di Indonesia. Bagi masyarakat, perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Tanpa perubahan hidup ini tidak memiliki makna apa-apa. Perubahan yang diharapkan oleh masyarakat bukan hanya pada perubahan kelembagaan dan sistem pemerintahan saja, melainkan juga pada perubahan yang bersifat kultural. Artinya pola pikir dan sikap masyarakat juga perlu berubah seiring dengan tuntutan reformasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, masyarakat berharap perubahan sistem pemerintahan, kelembagaan, dan kultur dapat berimplikasi pada perubahan kehidupan masyarakat yang lebih adil, demokratis dan sejahtera.
Harapan besar masyarakat akan tercapai manakala pemuda memiliki karakter dan keahlian hidup (life skill). Karakter merupakan filsafat pribadi tentang nilai-nilai hidup yang paling mendasar, seperti dermawan, kreatif, disiplin, adil dan sebagainya. Sedangkan keahlian hidup (life skill) adalah kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan sehingga ia dapat menjalani kehidupan dengan baik. Keahlian hidup dapat diwujudkan dalam bentuk kesadaran social (social awareness), kemampuan membangun tim dan menjalin interaksi secara konstruktif.
Persoalannya, bagaimana membentuk karakter dan keahlian hidup itu dilakukan di kalangan pemuda? Jika dilakukan melalui proses pendidikan apakah pendidikan karakter dan keahlian hidup itu sama dengan memberikan pendidikan agama atau pendidikan kewarganegaraan yang masuk dalam kurikulum? Jika tidak, bagaimana proses pendidikannya?
Makalah singkat ini mencoba menawarkan arah dan proses pendidikan karakter dan keahlian hidup bagi para pemuda. Namun, sebelumnya Penulis akan menguraikan tentang perlunya pengakuan dari elemen masyarakat terhadap peran yang dilakukan oleh pemuda. Tanpa ada pengakuan yang kuat dari masyarakat, maka keberadaan dan peran pemuda menjadi tidak berarti apa-apa.
A. Pengakuan Peran Pemuda di Masyarakat
Menurut Ramlan, jumlah generasi muda yang begitu besar bisa berarti keuntungan sekaligus kerugian bagi bangsa Indonesia yang sedang membangun. Ia merupakan keuntungan jika dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan pembangunan, akan tetapi kerugianlah yang akan terjadi jika mereka menjadi beban dan tanggungan bagi anggota masyarakat lainnya.[2] Mengingat komposisi generasi muda yang berusia antara 15-35 tahun merupakan jumlah terbesar dari penduduk Indonesia, yaitu sebesar 37% dari total Penduduk Indonesia yang 220 juta.[3]

Jumlah generasi muda yang besar tersebut terkadang hanya dijadikan sebagai komoditas politik belaka bahwa pemuda merupakan agen perubahan dan generasi yang sangat diharapkan eksistensinya. Sementara, pengakuan nyata terhadap generasi muda sebagai kategori sosial yang menjadi elemen penting dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kurang mendapatkan tempat.[4] Pemuda masih dianggap anak-anak apabila mereka belum menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, pekerjaan tetap dan memiliki emosi yang stabil.[5] Karenanya, banyak pemuda yang pragmatis dengan mengambil sikap acuh tak acuh dengan problematika yang berkembang di masyarakat atau hanya tekun belajar untuk meraih prestasi yang tinggi tanpa peduli dengan kehidupan orang lain.
Akibat lemahnya pengakuan terhadap pemuda, mereka mengalami problem identitas yang berpotensi menggiring pada melemahnya ikatan-ikatan sosial di antara pemuda dan masyarakat. Mereka mengalami disorientasi sosial terhadap fungsi dan perannya sebagai pelaku perubahan.[6] Padahal salah satu hal yang membuat peran pemuda menjadi sangat penting adalah karena keberadaan pemuda yang mengisyaratkan adanya semangat perubahan.[7] Jiwa mereka masih “segar” dan “baru”. Pemuda cenderung berani mengambil keputusan tanpa takut akan resiko yang mereka hadapi. Tidak heran jika Soekarno mengatakan “berikan sepuluh pemuda untukku, akan kuguncangkan dunia ini”.[8]
Masyarakat Indonesia yang sedang mengalami krisis multidimensional ini membutuhkan adanya perubahan-perubahan yang positif dan inovatif. Menurut Rikard Bagun, arus perubahan sendiri bisa menjamin hukum besi yang membinasakan. Lebih-lebih bagi mereka atau bangsa yang tidak siap beradaptasi dan melakukan antisipasi. Sebaliknya, bagi yang mampu beradaptasi, perubahan selalu menghadirkan peluang yang menawarkan kesempatan baru bagi kemajuan.[9] Untuk itulah, pemuda perlu mendapatkan tempat dan perhatian dari para orang tua, pendidik, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, pemimpin agama, pemimpin Negara dan berbagai elemen masyarakat lainnya.
Mengapa pemuda membutuhkan adanya pengakuan? Masa pemuda adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada masa inilah, pemuda mencari identitas dirinya. Dengan adanya pengakuan statusnya yang pasti, pemuda merasa aman dalam menjalankan aktivitasnya dan hal ini ikut membina pribadi dan penyesuaian diri pemuda. Jika pengakuan terhadap pemuda tidak ada, mereka merasa gelisah dan terkadang melakukan tindakan-tindakan yang seakan-akan menentang nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Di samping itu, dengan adanya pengakuan, pemuda merasa terayomi dan terbimbing dalam menjalani kehidupannya.
Apalagi di era modern ini, pemuda dihadapkan pada berbagai informasi negatif yang begitu membanjir dalam kesehariannya, baik yang bersumber dari televisi, internet, film, buku-buku dan majalah-majalah. Informasi negatif yang diterima secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pola pikir dan sikap pemuda di masyarakat. Ditambah lagi, pemuda dihadapkan pada kehidupan yang tidak menentu dan terkadang banyak menimbulkan konflik. Semua itu akan menambah beban bagi pemuda untuk menapaki kehidupannya.

B. Pendidikan Karakter dan keahlian hidup Bagi Pemuda Indonesia
Upaya yang bisa dilakukan dalam rangka membentuk karakter dan keahlian hidup pemuda adalah melalui proses pendidikan. Pendidikan maknanya lebih luas daripada pembinaan maupun pengajaran. Pendidikan tidak hanya transfer of knowledge, melainkan juga transfer of values. Dalam pendidikan ada proses-proses penanaman nilai-nilai. Oleh karena itu, menurut Abdul Munir Mulkhan, dalam pendidikan perlu dikembangkan kepribadian yang mandiri dan kreatif serta memiliki moralitas dan spiritualitas yang dapat menggerakkan seluruh sendi kehidupan dalam menjalankan tugas sebagai hamba Allah dan khalifah Allah.[10]
Di dalam al-Qur’an, istilah pendidikan (rabb--tarbiyah)[11] berkaitan dengan peran orang tua sebagai perantara Tuhan di muka bumi dalam mendidik atau sebagai murabbi. Peran ini merupakan perwujudan dari salah satu sifat atau nama Allah yang ditanamkan kepada anak yaitu Rabb, sang pemelihara. Orang tua diharapkan dapat menghidupkan sikap tauhid rububiyah pada diri anak. Sikap ini adalah sebagai pengakuan akan Allah sebagai satu-satunya zat yang telah menciptakan, memelihara, memberi rezeki dan segala nikmat yang ada. Pendidikan juga berkaitan dengan wiqayah (penjagaan)[12] dari hal-hal yang dapat merusak moralitas dan spiritualitas anak. Karenanya, orang tua melakukan preventif dengan cara memberikan lingkungan yang kondusif dan bimbingan yang baik. Al-Qur’an juga mengaitkan pendidikan dengan mau’idzah (wa’adz)[13] seperti yang dilakukan oleh Luqman kepada putranya. Wa’adz merupakan nasehat menyangkut berbagai kebajikan dengan cara menyentuh hati.[14] Orang tua berperan dalam memberikan nasehat kepada anaknya agar anak dapat berada dalam bimbingan dan jalan Allah. Bertitik tolak dari penjelasan yang ada di dalam al-Qur’an tersebut berarti pendidikan adalah proses pemeliharaan, penjagaan dan penasehatan yang dilakukan oleh orang tua atau masyarakat.
Proses pendidikan, menurut Albert Bandura dapat dilakukan melalui Learning by response concuequences yaitu proses belajar dari pengalaman individu dan Learning through modelling yaitu proses belajar dengan cara meniru perjalanan orang lain yang diperolehnya melalui observasi terhadap bentuk-bentuk tingkah laku yg terdapat pada lingkungan sosialnya. Artinya pendidikan karakter dan keahlian hidup pemuda dapat dilakukan dengan cara memberikan pengalaman langsung kepada pemuda tentang karakter-karakter pemuda Indonesia dan keahlian hidup yang dibutuhkan pemuda Indonesia dalam menghadapi kehidupan modern dan global. Bisa juga dilakukan dengan cara mencontoh karakter dan keahlian hidup yang dilakukan oleh para tokoh panutan.[15]
Proses tersebut tentunya tidak dilakukan secara instan---sebatas pelatihan atau seminar---melainkan melalui proses panjang (long life education) dan berkelanjutan (sustainable). Dalam bahasa Islam, pendidikan harus dilakukan dari mulai rahim hingga liang lahad (utlub al-‘ilm min al-mahd ila al-lahd). Karenanya, pendidikan karakter dan ketrampilan hidup melibatkan semua orang, dari mulai orang tua, guru, tokoh masyarakat, ustadz dan para aktivis organisasi. Begitu juga, pendidikan karakter dan keahlian hidup tidak bisa diberikan seperti halnya pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan yang lebih banyak mengandalkan kemampuan kognitif saja. Mengingat pendidikan karakter dan keahlian hidup akan melibatkan semua kemampuan yang ada pada pemuda yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.
Kemudian dalam proses pendidikan karakter dan keahlian hidup, pemuda jangan hanya dijadikan sebagai obyek saja, tetapi perlu dilibatkan sebagai subyek atau pelaku. Karenanya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua atau masyarakat berkaitan dengan pemuda agar dalam proses pendidikan tidak mengalami hambatan yang signifikan, diantaranya:
Pertama, penampilan fisik merupakan aspek penting bagi pemuda dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Biasanya mereka mempunyai standar-standar tertentu tentang sosok fisik ideal yang mereka dambakan. Pemuda perlu menanamkan keyakinan bahwa keindahan lahiriah bukanlah makna yang sesungguhnya dari kecantikan dan ketampanan. Kecantikan dan ketampanan sejati justru bersumber dari hati nurani, akhlak serta kepribadian yang baik.
Kedua, pada umumnya pemuda ingin memperoleh kebebasan emosional. Mereka ingin bebas melakukan apa saja yang mereka sukai. Terkadang, mereka mencoba hal-hal yang baru dan menantang meskipun melanggar etika dan norma yang berlaku di masyarakat. Tindakan yang mereka lakukan tersebut disebabkan karena mereka tidak ingin hanya menjadi obyek dari orang tua atau orang lain. Mereka ingin menjadi orang dewasa. Karenanya, mereka berusaha agar pendapat atau pikiran-pikirannya diakui dan disejajarkan dengan orang dewasa. Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemuda dengan orang tua, biasanya pemuda cenderung lari dan berkumpul dengan pemuda yang lainnya. Dengan demikian, ikatan emosional antar pemuda amat kuat dan menjadi penting keberadaannya.
Ketiga, kemampuan untuk melakukan interaksi sosial juga sangat penting dalam membentuk konsep diri yang positif, sehingga dia mampu melihat dirinya sebagai orang yang kompeten dan disenangi oleh lingkungannya. Konsep pergaulan semestinya lebih ditekankan kepada hal-hal yang positif, seperti untuk mempertegas eksistensi diri atau guna menjalin persaudaraan serta menambah wawasan yang bermanfaat. Dengan demikian, maka diharapkan dia dapat memiliki gambaran yang wajar tentang dirinya sesuai dengan kenyataan.
Keempat, setiap kelebihan atau potensi yang ada dalam diri manusia sesungguhnya bersifat laten. Artinya, ia harus digali dan terus dirangsang agar keluar secara optimal. Dengan mengetahui dan menerima kemampuan diri secara positif, maka seorang pemuda diharapkan lebih mampu menentukan yang tepat terhadap apa yang akan ia jalani, seperti memilih sekolah atau jenis kegiatan yang akan diikutinya.
Kelima, bagi keluarga muslim atau keluarga yang beragama, nampaknya harus mulai ditanamkan pemahaman bahwa pemuda sudah termasuk baligh. Artinya dia sudah taklif atau bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban agama serta menanggung sendiri dosa-dosanya apabila melanggar kewajiban-kewajiban tersebut. Dengan pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai moral dan agama, maka lingkungan yang buruk tidak akan membuatnya menjadi buruk. Bahkan boleh jadi, si pemuda sanggup proaktif mempengaruhi lingkungannya dengan kerangka agama.
Di samping itu, pemuda juga perlu memiliki motivasi yang kuat dan standar nilai yang dijadikan pedoman. Menurut Sidi Gazalba, maju dan mundurnya masyarakat dalam proses perubahannya ditentukan oleh nilai yang dipedomani. Oleh karena itu, jika pemuda ingin merubah karakternya, diperlukan pedoman nilai. Pancasila sebagai ideology bangsa merupakan salah satu pedoman nilai yang dapat dijadikan dasar dalam pendidikan karakter dan keahlian hidup. Kemudian nilai-nilai yang ada di Pancasila, secara substansial tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.[16]

C. Penutup
Sebagai kata akhir, penulis berkeyakinan bahwa pemuda merupakan aktor penting yang dapat merubah kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemuda perlu memiliki karakter dan ketrampilan hidup agar pemuda dapat berperan dalam mengisi perubahan yang ada di Indonesia.
Karakter dan ketrampilan hidup dapat dibentuk melalui proses pendidikan yang berlangsung lama dan berkelanjutan. Karenanya, prosesnya membutuhkan keterlibatan dari berbagai pihak. Bukan hanya pemuda saja, melainkan seluruh elemen masyarakat perlu terlibat. Disamping itu, diperlukan juga adanya pedoman yang dapat dijadikan standar dalam melakukan proses transformasi nilai dalam diri pemuda. Nilai Pancasila dapat dijadikan sebagai pedoman yang bisa mengantarkan pemuda memiliki karakter dan ketrampilan hidup.
Wallahu ‘alam bi al-shawab

[1] Perubahan yang dimaksudkan tentunya perubahan yang mengarah pada perbaikan dan kemajuan, bukan perubahan yang menghancurkan dan merendahkan masyarakat, seperti bencana alam, perusakan fasilitas umum, konflik, dan sebagainya.
[2] Ramlan, Problematika Pemuda Dewasa ini dan Solusinya, dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol.XVIII, No. 2, 2001, hal.188.
[3] BPS. (n.d.). Data Statistik Indonesia. Retrieved Mei 2008, from http://www.datastatistik-indonesia.com
[4] Pandu Dewanata & Chavchay Saifullah, Rekonstruksi Pemuda, Kementerian Negara Pemuda dan Olah raga, 2008, hal. 13.
[5] Zakiah Daradjat Mengatakan “pada masyarakat yang telah maju, dimana kepandaian dan ketrampilan yang diperlukan untuk dapat hidup tidak bergantung kepada orang lain, dapat aktif dalam masyarakat dan dapat diberi tanggung jawab sebagai seorang dewasa yang matang sangat banyak, maka pemuda perlu menempuh masa yang panjang dalam pendidikan dan masa pemudanya menjadi lebih panjang. Selain itu, problem pemuda yang dideritanya jauh lebih banyak karena perjuangan untuk mencapai kedudukan dalam masyarakat itu lama dan banyak macamnya”. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang), Cet, 15, 1996, hal. 71.
[6] Aziz Syamsudin, 23 Karakter Pemuda Pilihan, (Jakarta: RMBOOKS), 2009, hal.xiii.
[7] Aziz Syamsudin, 23 Karakter.....hal. 3. Sedangkan menurut Muhammad Hatta, pemuda memiliki peran penting karena: pertama, pemuda masih murni jiwanya dan ingin melihat pelaksanaan secara jujur apa-apa yang telah diperjuangkan rakyat. Kedua, pemuda dididik secara ilmiah yang tujuannya untuk mencari kebenaran. Muhammad Hatta, Peranan Pemuda Menuju Indonesia Merdeka Indonesia Adil dan makmur, (Bandung: Angkasa), 1966, hal. 12.
[8]Dikutip dari Pandu Dewanata & Chavchay Saifullah, Rekonstruksi.....hal. 7.
[9] Rikard Bagun, “Tuntutan Perubahan Perilaku”, Kompas Jum’at 26 Juni 2009.
[10] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: SI-Press), 1993, hal. 236.
[11] QS. Al-Isra ayat 24: وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
[12] QS. At-Tahrim ayat 6 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
[13] QS. Luqman ayat 13 وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
[14] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz 11, (Jakarta: Lentera Hati), cet. Ke-IX, 2008, hal. 126.
[15] Buku yang dapat dijadikan rujukan untuk mencontoh beberapa tokoh yang memiliki karakter kuat adalah buku Aziz Syamsudin, 23 Karakter Pemuda Pilihan, (Jakarta: RMBOOKS), 2009.
[16]Agama dalam hal ini dijadikan sebagai sumber nilai yang kebenaran bersifat absolut.

No comments: