Sunday 15 April 2012

WACANA AL-QUR'AN TENTANG TUHAN

Pembahasan tentang Tuhan merupakan pembahasan yang tidak pernah selesai, baik di kalangan Filosof, Teolog, Ilmuwan, Budayawan dan para ahli lainnya. Tuhan selalu menarik untuk dibicarakan; siapa Tuhan, mengapa kita harus menyembah Tuhan, bagaimana kita berhubungan dengan Tuhan, bagaimana peran Tuhan dalam kehidupan manusia, dan berbagai pertanyaan lain yang senantiasa menghantui diri manusia. Menariknya Tuhan untuk selalu dibicarakan karena Tuhan bersifat non-empiris, sementara eksistensi dan peran Tuhan dalam kehidupan di alam dunia ini dapat dirasakan oleh manusia.
Adanya kematian, bencana alam, siang dan malam, musim hujan dan kemarau, serta berbagai fenomena alam lainnya merupakan simbol-simbol yang menunjukkan adanya peran Tuhan di dalamnya. Tragedi yang dialami manusia, seperti kematian dan bencana alam, menyebabkan manusia berupaya untuk mengungkap siapa yang berperan dibalik itu semua. Manusia meyakini ada kekuatan di luar diri manusia. Pada konteks inilah manusia meyakini bahwa kekuatan tersebut adalah Tuhan. Awalnya manusia mempersepsi kekuatan tersebut bersumber dari roh-roh yang ada di alam, yang kemudian melahirkan paham animisme. Selanjutnya, pemikiran manusia mengalami perkembangan dan manusia meyakini banyaknya kekuatan-kekuatan atau Tuhan-Tuhan yang membantu hidup manusia, maka lahirlah keyakinan banyak Tuhan atau politeisme.
Jika kita mengajukan pertanyaan, kapan manusia memiliki kesadaran mengenal adanya eksistensi dan peran Tuhan di alam semesta ini, nampaknya teramat sulit untuk diberikan penjelasan secara detail dan jelas. Sumber utama yang bisa kita yakini memberikan informasi tentang eksistensi Tuhan berasal dari teks-teks agama. Adam, di dalam teks al-Qur’an, diyakini sebagai orang pertama yang mengaku bersalah di hadapan Tuhan dan memohon ampun terhadap dosa-dosa yang dibuatnya (QS.7: 19-25). Dari peristiwa yang dialami Adam inilah yang kemudian berlanjut menjadi proses dramatisasi kehidupan manusia di alam semesta ini.
Proses kehidupan manusia dalam pencariannya terhadap Tuhan tidak bersifat linear artinya keyakinan Adam terhadap keesaan Tuhan tidak serta merta menjadikan seluruh manusia memiliki paham monoteisme (paham satu Tuhan). Potensi negatif atau pembangkangan yang terdapat dalam diri manusia memungkinkan manusia tidak percaya terhadap Tuhan (atheis dan agnotisme), membuat Tuhan-Tuhan yang banyak (politeisme), dan pencampuran keyakinan (sinkritisme) antara keyakinan terhadap Tuhan dengan Keyakinan terhadap kekuatan yang lain. Semua itu merupakan sesuatu yang sangat manusiawi. Justru dengan adanya potensi tersebut akan memberikan peluang bagi manusia untuk terus berjuang dalam mencari dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Inilah yang dalam konsep Islam disebut sebagai “ujian” bagi manusia untuk memilih jalan yang terbaik, jalan yang lurus, yakni jalan yang diridhai Tuhan dan jalan yang diberi ni’mat.
Pada konteks inilah dakwah Islam amat diperlukan untuk memberikan penjelasan tentang konsepsi Tuhan yang diyakini oleh Islam. Tuhan yang diyakini bukan hanya sebagai objek kajian dari pemikiran manusia saja, melainkan Tuhan yang senantiasa dirasakan kehadirannya dalam diri manusia, Tuhan yang aktif, Tuhan yang penuh kasih sayang, dan Tuhan yang menjadi tujuan manusia untuk bertemu. Di samping itu, Tuhan merupakan satu-satunya zat yang berkuasa dan memiliki otoritas penuh. Semua prinsip, hukum, adat kebiasaan yang berbeda dengan petunjuk Tuhan harus dijauhi. Semua teori atau ajaran yang tidak mengacu kepada petunjuk Tuhan dapat dianggap sebagai menolak kedaulatan Tuhan dan membikin Tuhan-Tuhan selain daripada Tuhan Esa yang sebenarnya. Tunduk dan patuh kepada Tuhan berarti membawa seantero hidup manusia ini sesuai dengan kemauan Tuhan yang diwahyukan.
Penyimpangan keyakinan terhadap Tuhan dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan syirik. Al-Qur’an menyebutkan dua ciri utama dari kemusyrikan yaitu: pertama, menganggap Tuhan mempunyai sekutu (syarik). Kedua, menganggap Tuhan mempunyai saingan (andad). Obyek sesembahan yg dilarang dan termasuk perbuatan syirik adalah menyembah berhala (QS. 6:74,7:138, 21:52), benda langit (41:37), benda mati (4:117), makhluk halus (6:101), dan tokoh yg dianggap Tuhan (4:171,5:116, 6:102, 19:82-92, 16:57, 17:40, dan 37:49). Sementara yang bisa dijadikan ilah sebagai saingan (andad) Tuhan adalah kecintaan (2:165), kataatan tanpa reserve terhadap ulama (9:31), fanatisme golongan, aliran (23:52-53, 30:31-32), kecintaan harta (9:24), dan hawa nafsu (25:43).
Persoalan tunduk dan patuh kepada Tuhan bagi manusia merupakan problem tersendiri. Tuhan yang eksistensinya sangat abstrak sulit untuk dapat ditangkap oleh manusia yang senantiasa berfikir di alam nyata atau realitas. Bagaimana harus tunduk dan mengetahui perintah-perintah-Nya, sementara Tuhan sendiri begitu abstrak bagi manusia? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu dijelaskan tentang fungsi syahadat yang kedua, yakni berkaitan dengan doktrin kerasulan atau kenabian. Menurut Al-Syahrastani, “kenabian merupakan rahmat yg diberikan oleh Allah kepada siapa saja hamba-Nya yang Dia kehendaki”.
Doktrin tersebut dianggap sebagai tanggapan Tuhan terhadap kebutuhan manusia akan petunjuk. Karena sangat mendasarnya keperluan itu, maka kenabian mulai dengan permulaan kehidupan manusia di dunia ini. Manusia pertama adalah juga nabi dan Rasul yang pertama. Karena kenabian adalah keperluan semua umat manusia, maka nabi-nabi bukan merupakan hak istimewa dari sesuatu ras atau wilayah tertentu. Menurut al-Qur’ân, Nabi dan Rasul dibangkitkan di semua bagian dunia ini. Mereka dituntut untuk menyampaikan dan mengamalkan kebenaran itu serta mengajak kepada umat manusia untuk tunduk dan patuh kepada Tuhan. Petunjuk Tuhan yang diajarkan kepada mereka diwahyukan dalam bentuk final dan sempurna kepada Nabi Muhammad saw yang bukan hanya menyampaikan kepada orang lain, tetapi juga mengamalkannya dan dengan sukses mendirikan masyarakat dan negara atas dasar wahyu itu.
Selain itu, doktrin kenabian disebabkan karena Akal manusia tidak mampu mengungkap hakekat kebenaran (QS. 2:216) dan Tuhan berkomunikasi dengan orang pilihan-Nya untuk mengajarkan manusia dalam beribadah pada Tuhan (QS. 22: 75). Untuk itulah, Tuhan mengutus para Nabi sesuai dengan waktu dan kondisi umat-nya “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan” (QS.5:48).
Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir mengajarkan misi yang sama dengan rasul-rasul sebelumnya yakni mengesakan Allah ”Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku (Q.S. 21:25). Allah adalah Rab (aktif) dan malik (penguasa). Allah adalah Tuhan Yang Esa (QS. 112:1-4), yang membantah konsep Yahudi bahwa uzair anak Allah (QS. 9:30) dan menyembah sapi (QS. 2: 67-71), serta membantah konsep Nasrani tentang trinitas (QS. 5:72-73).
Pengesaan terhadap Allah swt merupakan persoalan aqidah atau keyakinan. Manusia meyakini sesuatu manakala sesuatu tersebut dapat dilihat atau disaksikan secara langsung melalui indera manusia. Di samping itu, keyakinan manusia dapat diperoleh melalui berita yang diyakini kejujuran si pembawa berita. Kita tidak bisa memungkiri wujud sesuatu, hanya karena kita tidak bisa menjangkaunya dengan mata (indera). Contohnya kita dapat meyakini adanya waktu yang terus berputar dalam kehidupan manusia, namun kita tidak bisa menjangkau keberadaan waktu tersebut. Begitu juga keyakinan kepada Allah tidak harus dibangun melalui penginderaan secara langsung, melainkan melalui pemberitaan yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang ma’shum dan jujur.
Selain itu, manusia juga sejak lahir telah dibekali keimanan oleh Allah swt. Iman adalah fithrah setiap manusia “dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. 7:172).
Mengingat Allah Maha Absolut, maka antara Allah dan manusia selalu ada “jarak” yang amat jauh sehingga manusia bersikap “paradoksal” dalam memposisikan Allah. Allah yang diyakini sebagai yang teramat jauh, bahkan tidak terjangkau (transendent), tetapi sekaligus juga berada bersama, bahkan di dalam diri kita (immanent). Sebagai akibatnya, manusia menangkap kehadiran Allah melalui simbol-simbol yang disakralkan. Adanya jarak yang jauh antara Allah dan manusia, maka jarak itu dijembatani dengan nama-nama serta tanda-tanda dalam bahasa arab disebut asma (QS.21: 25, 20:14), ayat (QS. 20:113), dan alam (QS. 3:190-191).
Para ulama ketika memperkenalkan dan memberikan pemahaman tentang eksistensi dan peran Allah, melalui ilmu tauhid. Sayangnya, ilmu tauhid yang ada cenderung pada pemahaman yang bersifat intelektual dengan memperkenalkan hukum akal menjadi sifat wajib, mustahil dan jaiz. Umat Islam sangat hapal sekali dengan sifat wajib Allah, seperti wujud, qidam, baqa, mukhalafatu lilhawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan seterusnya, tetapi kurang memahami dalam praktek keseharian manusia sehingga hapalan tersebut tidak bisa mengatasi problematika kemanusiaan. Ilmu tauhid semacam itu tidak membuahkan elan vital (gairah hidup), melainkan hanya inner force (kekuatan batin).
Padahal inti pembahasan tauhid adalah pembahasan Allah. Sementara Allah senantiasa berada di dalam kehidupan manusia “tiada pertemuan antara tiga orang kecuali Tuhan yg keempat, juga tidak lima orang kecuali Tuhan yg keenam, dan tidak pula yg lebih sedikit atau lebih banyak kecuali Tuhan pun ada di sana” (QS. 58:7). Dengan demikian tauhid berperan sebagai pembangun kesadaran manusia dalam menjalani kehidupan. Bahkan, tauhid oleh Allah diibaratkan seperti pohon. Jika tauhidnya kuat, maka unsur lainnya (ibadah dan muamalah) akan kuat.“tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yg baik (tauhid) seperti pohon yg baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat” (QS. 14:24-25).
Oleh karena itu, pemahaman yang perlu dikembangkan dalam diri umat Islam tentang Allah, yakni secara individual, kita perlu menghadirkan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara mengingat Allah terus menerus “hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbilah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”(QS.33: 41-42). Kemudian mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan yang serba suci dan mulia dalam perilaku kita sehari-hari dan perlu diwujudkan dengan cara ikut berpartisipasi dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan dan persoalan-persoalan sosial yang ada di masyarakat. Isu-isu perburuhan dan ketenagakerjaan, kemiskinan, gender, pemberdayaan masyarakat, pluralisme agama, lingkungan hidup, kesadaran hukum, pendidikan, dan moralitas bangsa merupakan isu-isu besar yang membutuhkan perhatian dari seorang muslim yang bertauhid kepada Allah
Menurut Fazlurrahman, sebenarnya yang dituju oleh Al-Qur’an bukanlah Tuhan, melainkan manusia dan tingkah lakunya. Ketika manusia sekarang dihadapkan pada berbagai macam tantangan dan perkembangan sosial-kemasyarakatan yang begitu cepat, maka dibutuhkan tauhid yang tidak hanya menekankan keselamatan individu saja, tetapi juga keselamatan sosial. Oleh karena itu, semangat al-Qur’an untuk menggabungkan tauhid akidah dengan tauhid sosial perlu diwujudkan dalam kehidupan manusia. Bahkan, menurut Komaruddin Hidayat bahwa dalam pandangan al-Qur’an kesadaran spiritualitas seseorang terimpit erat dengan kesadaran kemanusiaannya. Makin tinggi kesadaran keberagamaan seseorang, mestinya makin tinggi juga kualitas kemanusiaannya.

No comments: