Tuesday 12 June 2012

DAKWAH MELALUI FILM DAN SINETRON: SEBUAH ALTERNATIF

Dengan ilmu hidup menjadi terarah, Dengan seni hidup menjadi indah dan, Dengan agama hidup menjadi bermakna A. Pendahuluan Dalam pertemuan warga di Rukun Tetangga, penulis mendapatkan pepatah dari seorang purnawirawan ABRI seperti yang tertera di atas. Pepatah itu Beliau ungkapkan dalam rangka mengajak para warga untuk mengikuti kegiatan seni suara yang Beliau adakan setiap malam sabtu. Tujuan kegiatan itu sederhana saja yakni untuk mengisi hiburan dan kegiatan warga. Bagi penulis, pepatah tersebut memberikan inspirasi untuk melihat realitas yang ada dan sekaligus menjadi titik tolak dalam tulisan ini. Betapa pepatah yang diungkapkan tersebut begitu mendalam apabila direnungi dan dilaksanakan. Fenomena yang ada di masyarakat ternyata antara ilmu, seni dan agama berjalan di rel masing-masing. Ilmu berkembang di dunianya tanpa mempertautkan dengan seni dan agama. Seni juga berjalan dengan melodinya sendiri tanpa memperhatikan nilai agama dan perkembangan ilmu pengetahuan. Demikian pula agama berjalan dengan alurnya tanpa mengindahkan nilai seni dan ilmu pengetahuan. Dengan keterbelahan ini, dalam realitas kita menyaksikan ada ATM untuk kondom, Bank sperma, kloning, perampokan Bank melalui teknologi komunikasi, foto telanjang demi keindahan, karikatur yang menelanjangi agama orang lain demi ekspresi kebebasan, banyaknya tato dan perhiasan yang melekat di tubuh manusia yang dianggap tabu demi keindahan, sikap para pemeluk agama yang menghancurkan tempat tinggal dan tempat ibadah sesamanya, bom bunuh diri demi agama, perang atas nama Tuhan, dan segudang realitas yang dapat kita saksikan setiap hari, bahkan setiap menit melalui berbagai media. Melihat fenomena-fenomena yang ada di masyarakat, terlalu simplistis apabila disimpulkan dari satu penyebab saja, yakni adanya keterbelahan antara dunia ilmu pengetahuan, seni, dan agama. Banyak faktor yang mempengaruhi dan melatarbelakangi lahirnya berbagai fenomena yang ada di masyarakat. Paling tidak, penulis ingin memberikan satu nuansa baru bahwa dari sekian benang kusut yang ada di masyarakat, ada sedikit benang yang bisa diluruskan dan dapat memberikan nuansa yang lebih mengembirakan. Mengingat ketiga bidang tersebut menjadi substansi bagi kehidupan manusia. Mungkinkah ketiganya bisa berjalan secara beriringan dan berkelindan serta bagaimana hal tersebut bisa dibangun sehingga akan melahirkan kedamaian dan kesejahteraan bagi umat manusia? Di kalangan umat Islam kajian tentang kesenian relatif sedikit. Kalau pun ada, kajian kesenian yang dilakukan oleh para Ulama lebih menekankan pada aspek fiqih dan teologis. Seni dilihat dari sudut pandang hitam-putih, apakah boleh atau tidak boleh (haram). Demikian juga secara teologis, seni dianggap sebagai sekuler sehingga menjauhkan manusia dari Tuhan. Dengan anggapan ini seni sulit berkembang di kalangan umat Islam. Karena umat Islam terbebani oleh justifikasi fiqih dan teologi yang menjadi pandangan hidupnya. Implikasinya, umat Islam tidak bisa berkreasi dan berinovasi lebih jauh dalam bidang seni. Padahal seni sangat membutuhkan ekspresi dan kreativitas individu. Berkenaan dengan tulisan ini, penulis ingin menjelajahi lebih jauh bagaimana pandangan Islam tentang dakwah, seni dan dakwah alternatif di masa depan. Tulisan ini akan dirangkai melalui paradigma besar terlebih dahulu agar dapat dioperasionalkan dalam tataran yang lebih strategis dan teknis. B. Dakwah Sebagai Aktivitas, Seni, dan Ilmu. Menurut Ismail Raji al-Faruqi, tidak ada agama yang dapat menghindari dakwah, jika ia memiliki kekuatan intelektual. Menolak dakwah berarti menolak kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan orang lain terhadap apa yang diklaim sebagai kebenaran agama. Tidak menuntut persetujuan berarti tidak serius dengan klaim itu atau berarti menyatakan klaim itu subyektif, partikularis atau relatif secara mutlak, karena itu tidak berlaku bagi orang lain selain pembuat klaim itu. Berdasarkan pendapat di atas berarti dakwah merupakan sebuah keharusan. Apalagi setelah Rasulullah wafat, kewajiban dakwah menjadi sebuah keniscayaan bagi umat Islam untuk terus menerus mensyiarkan agama Islam. Kewajiban ini sudah menjadi ketentuan (doktrin) Ilahiah yang dinyatakan secara langsung di dalam al-Qur’an seperti Q.S. al-Imran ayat 104, an-Nahl ayat 125, dan surat Yusuf ayat 108. Konsekuensi logis dari kewajiban tersebut, umat Islam perlu mengembangkan kreasi dan inovasi dalam melakukan aktivitas dakwah. Dakwah tidak hanya bualan atau permainan kata-kata saja, tetapi membutuhkan penalaran kritis sesuai dengan tingkat kemampuan obyek dakwah. Dakwah selalu terbuka terhadap bukti baru, alternatif baru, membangun bentuk baru berulang-ulang, memperhatikan temuan baru ilmu pengetahuan, dan memperhatikan kebutuhan baru situasi manusia. Dakwah juga tidak boleh memaksakan kehendak kepada jama’ahnya. Obyek dakwah harus merasa bebas sama sekali dari ancaman dan harus benar-benar yakin bahwa kebenaran yang diperolehnya merupakan hasil penilaiannya sendiri. Karenanya semua manusia boleh menilai dan mengapresiasi dakwah, sehingga kebenaran dan rahmatan lilalamin benar-benar tercipta. Dalam catatan sejarah, sejak Nabi Nuh memiliki kesadaran untuk mengajak kaumnya mengikuti aturan Tuhan, maka pada saat itu telah berlangsung aktivitas dakwah. Nabi Nuh mengajarkan tentang amar ma’ruf nahi munkar kepada para pengikutnya. Demikian pula Nabi-Nabi selanjutnya memberikan misi yang sama menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dalam rangka tunduk dan patuh kepada sang Khalik Allah SWT. Aktivitas dakwah semakin terorganisir dengan baik dan menjadi dakwah Islam setelah Rasulullah menerima wahyu dan menyebarkan agama Islam kepada umatnya. Pada saat itu dakwah disebarkan dengan berbagai cara baik dengan lisan, tulisan, dan perbuatan. Sayangnya generasi setelah Rasulullah tidak menindaklanjuti dakwah menjadi kajian keilmuan. Kalaupun ada, dakwah baru sebatas seni penyampaian (retorika). Dalam era globalisasi dan informasi ini, tuntutan terhadap profesionalisme semakin menguat. Karenanya dakwah perlu menyiapkan kader-kader profesional agar dakwah dapat diterima oleh masyarakat. Menyiapkan tenaga profesional memerlukan keilmuan sebagai landasan dan etika dalam tataran teknisnya. Untuk membuat film dakwah, majalah atau koran dakwah, konselor di lembaga dan profesi dakwah lainnya tentu harus ada tenaga profesional. Disinilah arti penting adanya perguruan tinggi atau lembaga-lembaga dakwah yang menyiapkan tenaga-tenaga profesional. Kelemahan yang ada selama ini, umat Islam belum memiliki tenaga-tenaga da’i profesional. Kalau pun ada, da’i yang dimaksud lebih berorientasi pada kemampuan retorika (muballigh). Kondisi demikian bisa dimaklumi mengingat dalam perjalanan panjang sejarah Islam, dakwah banyak disebarkan melalui ceramah. Bahkan, setiap minggu ada kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar bahwa umat Islam melakukan aksi ceramah (khutbah). Tidak heran kemudian masyarakat menangkap bahwa perlu ada kader-kader yang disiapkan untuk pandai merayu dan menarik penonton. Maka diadakanlah lomba da’i yang ditentukan oleh selera pasar seperti halnya lomba Indonesian Idol, lomba dangdut atau akademi fantasi. Lomba ini tidak ditentukan pada sejauhmana kedalaman da’i dalam menguasai ajaran Islam. Unsur yang terpenting bagaimana da’i bisa membuat orang tertawa dan mampu memikat penonton. Belum lagi umat Islam dihadapkan pada muballigh-muballigh yang muatan dakwahnya tidak jauh dari surga-neraka. Umat Islam tidak mendapatkan muatan bagaimana berdemokrasi, bagaimana menegakkan HAM, bagaimana berpolitik yang santun, bagaimana merekayasa masyarakat, bagaimana merespons zaman yang terus berubah dan sebagainya. Muballigh cenderung normatif dalam kajian-kajiannya. Bahkan, terkadang ada sebagian muballigh yang cenderung reaktif dan provokatif. Begitu bencana tsunami menimpa aceh, di berbagai mimbar muballigh seakan-akan “menghukum rakyat aceh” bahwa kejadian itu pantas untuk rakyat aceh dengan berbagai interpretasinya. Begitu juga, akhir-akhir ini ada sebagian muballigh yang mengutuk Ahmadiyah dan karikatur yang dimuat di majalah Jyllands Posten Denmark, sehingga kekerasan-kekerasan di masyarakat tidak bisa dielakkan. Saya tidak bermaksud untuk menafikan peran muballigh dan mengecilkan semangatnya. Sebagai seorang yang profesional mestinya muballigh bisa bersikap lebih bijak dengan tidak menjadi Tuhan, melainkan berada pada tingkat kemanusiaannya. Muballigh juga bisa belajar dan mengkaji perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih sehingga bisa memberikan muatan Islam yang lebih compatible dengan perkembangan zaman. Di samping itu, perlu diciptakan da’i-da’i profesional yang memiliki keahlian di bidangnya. Dengan cara itu dakwah bisa tampil dalam berbagai varian dan lini kehidupan, sehingga dakwah sebagai pengemban misi Islam bisa tercapai. Dakwah bisa dilakukan dengan cara-cara damai dan usaha-usaha yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sekarang masyarakat butuh makan, pengetahuan, ketrampilan dan suasana yang harmonis. Dakwah akan ditinggalkan masyarakat apabila dakwah tidak beranjak dari cara-cara normatif yang selama ini dipakai. Selain dakwah membutuhkan tenaga profesional, dakwah juga membutuhkan wahana atau situasi yang memungkinkan dakwah bisa berkembang dengan baik. Dalam tataran realitas dakwah belum dijadikan sebagai bagian dari sistem kehidupan bermasyarakat. Dakwah masih diposisikan secara marginal untuk urusan-urusan akhirat. Seorang da’i hanya diposisikan sebagai tukang do’a, pemimpin tahlilan/yasinan, pengusir roh jahat, guru ngaji, dan pemimpin shalat. Keberhasilan dan kegagalam masyarakat atau bangsa seringkali hanya diukur dari sisi ekonomi, politik, pendidikan, hukum, budaya dan ideologi. Dakwah tidak pernah diperhitungkan sebagai bagian yang bisa menyumbang atau merusak tatanan masyarakat. C. Seni Dalam Perspektif Islam. Pada bagian awal penulis telah menyinggung bahwa kajian seni jarang diminati dan digeluti oleh umat Islam. Sewaktu penulis kuliah program pascasarjana di IAIN Jakarta, penulis sempat terkaget dan heran ada mata kuliah pilihan yang namanya kesenian Islam. Dalam benak penulis ada pertanyaan, apa ada yang namanya seni Islam dan bagaimana wujud atau model kesenian islam itu? Pertanyaan ini muncul bisa dijadikan karena ada pandangan yang berkembang selama ini di masyarakat dan adanya praktek-praktek kesenian yang membentuk image penulis pada saat itu bahwa seni itu sekuler dan jauh dari nilai-nilai Islam. Bisa juga pandangan ini muncul karena kajian kesenian selama ini berkutat pada kajian fiqih dan teologi yang memunculkan wacana boleh dan tidak boleh (haram) kesenian tersebut. Salah satu contoh buku berjudul “al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar” yang ditulis oleh Abi Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khilal yang hidup pada tahun 311 H dan ditahqiq oleh Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha, diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, Beirut, 1986, membahas tinjauan hukum berkaitan dengan nyanyian, seruling, qasidah, not-not musik, dan syair. Contohnya: dimakruhkan mendengar qasidah (Akhbarana Ismail bin Ishak al-Tsaqafi Anna Aba Abd Allah suila ‘an isma’i al-qashaid faqaala: akrihhu) dan bid’ah mendengarkan dan membaca not-not musik (wa anna Abuu Bakr al-Marwaji qaala: suila Abu ‘Abd Allah ‘an al-qiraah bi-alhan faqaala: bid’ah, la yusma’). Sebaliknya, ketika penulis membaca buku Ismail Raji al-Faruqi dan Lamya al-Faruqi tentang Atlas Budaya Islam dan buku karya Sayyed Husein Nasr, Islamic Art and Spirituality ternyata seni Islam bersumber dari al-Qur’an dan al-Qur’an digambarkan sebagai karya seni pertama dalam Islam. Lebih jauh al-Faruqi menjelaskan bahwa seni Islam dilihat sebagai ekspresi Qur’an dalam warna, garis, gerak, bentuk, dan suara. Ada tiga alasan: Pertama, seni Islam mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan al-Qur’an, mengajar dan memperkuat persepsi tentang transendensi Tuhan dalam diri manusia. Kedua, al-Qur’an memberikan model pertama dan utama bagi kreativitas dan produksi estetis. Ketiga, al-Qur’an memberikan kepada peradaban Islam ideologi yang diekspresikan di dalam seninya, al-Qur’an juga memberikan model kandungan dan bentuk artistik yang pertama dan terpenting, serta al-Qur’an memberikan material terpenting bagi ikonografi seni Islam. Bertitik tolak dari pandangan di atas, seni sebaiknya tidak dipandang secara ideologis (fiqih oriented). Karena jawaban halal, haram, dan mubah sekalipun, tetap saja industri hiburan yang memanfaatkan karya dan kreatifitas seni akan tetap berlalu. Jawaban keagamaan terhadap seni sama sekali tidak akan mengubah produksi dan kreatifitas karya seni. Untuk itulah, penulis sepakat dengan pendapat M. Amin Abdullah bahwa seni perlu didekati dengan pendekatan keilmuan. Sekarang ini, hampir semua karya seni telah diproduksi dengan menggunakan teknologi canggih, yang semuanya dimungkinkan juga karena aktivitas keilmuan itu sendiri. Dengan sudut pandang keilmuan memungkinkan umat Islam dapat berkreasi lebih luas di bidang seni dan lebih selektif dalam memanfaatkan seni bagi kehidupan keberagamaan. Setelah memahami kedudukan seni, sudah seharusnya umat Islam membangun kesadaran akan perannya dalam membangun dan mengembangkan kreasi di bidang seni. Tanpa kesadaran akan peran, sebuah visi akan menjadi angan-angan. Tanpa kesadaran akan peran, sebuah strategi hanya akan menciptakan peran dan sebuah program yang baik akan menjadi omong kosong. Oleh karena itu, seni dapat dimanfaatkan dalam kegiatan-kegiatan dakwah. Namun perlu dicatat bahwa seni jangan hanya dianggap sebagai alat dakwah. Jadikan seni sebagai sebuah ekspresi seseorang yang bersifat universal artinya jika pelaku seni adalah umat Islam, maka seni yang dilakukan merupakan cerminan dari ekspresi seorang muslim, yakni seni yang bernuansa Islam. Dengan cara seperti ini akan memberikan peluang besar bagi uamt Islam untuk mengembangkan kreatifitas di bidang seni. Jika seni hanya dijadikan alat untuk perjuangan dakwah, penulis khawatir nantinya nuansa dakwahnya lebih kental dibandingkan dengan seninya, akhirnya orang menjadi tidak tertarik untuk melihatnya. Kemungkinan lain, si pelaku seni hanya bisa berakting demi seni dan menarik orang untuk mengikuti pesan dakwahnya, sementara seni hanya sekedar alat, tentulah kalau tujuannya sudah tercapai alatnya boleh ditinggalkan. Benar apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo, belum pernah ia mendengar ada orang masuk Islam setelah membaca puisi Sutardji Calzoum Bachri, atau menonton lukisan Amri Yahya atau melihat film Rhoma Irama, atau menyaksikan koreografi Huriah Adam, atau mendengar lagu Sam Bimbo. Untuk itulah, Kuntowijoyo mengatakan ada tiga fungsi seni yaitu: Pertama, seni dapat berfungsi sebagai ibadah, tazkiyah, tasbih, shadaqah dan sebagainya bagi pencipta dan penikmatnya. Kedua, seni dapat dijadikan identitas kelompok. Ketiga, seni dapat berarti syiar lambang kejayaan. Dengan tiga fungsi tersebut, seni Islam akan lahir dari para pengikutnya dan Islam akan ditampilkan dengan sejuk dan damai manakala dengan menggunakan seni karena seni tidak memaksa orang untuk menonton atau membacanya. D. Dakwah di Televisi Kehadiran televisi bagi masyarakat industri bagaikan “agama baru”. Betapa tidak, televisi telah menggeser agama-agama konvensional. Khotbahnya didengar dan disaksikan oleh jamaah yang lebih besar dari jemaah agama apapun. Rumah ibadahnya tersebar di seluruh pelosok bumi, ritus-ritusnya diikuti dengan penuh kekhidmatan dan dapat menggetarkan hati serta mempengaruhi bawah sadar manusia. Kehadiran televisi juga telah mengambil sebagian besar waktu manusia untuk menonton televisi. Menurut Broadcasting Yearbook (1985) rumah-rumah di Amerika Serikat, 25 % menonton TV di waktu pagi, 30 % di waktu sore, dan 63 % di waktu malam (jam 8-11), dan hampir ¾ atau 84 % dari mereka adalah menonton televisi. Selain kehadiran televisi yang luar biasa dahsyatnya, televisi juga memberikan pengaruh sosial, politik, ekonomi dan budaya. Secara sosial, televisi mempengaruhi efek psikologis dari para penonton, terutama pengaruh kekerasan dan hubungan antar jenis. Secara politik, televisi mempengaruhi struktur politik, opini publik, dan kultur politik. Secara ekonomi, televisi dapat mempengaruhi pola konsumsi individu/masyarakat dan harga-harga di pasar. Terakhir, secara budaya televisi berpengaruh terhadap perkembangan budaya di berbagai negara. Mengingat dampak televisi yang luar biasa bagi masyarakat, maka kegiatan-kegiatan dakwah pada era sekarang perlu diarahkan kepada pemanfaatan media elektronik, khususnya televisi. Dalam prosesnya umat Islam jangan hanya terjebak pada kegiatan-kegiatan dakwah yang selama ini berkembang di masyarakat, dakwah dengan menggunakan model-model ceramah. Umat Islam perlu menciptakan kreasi dan model baru dalam berdakwah di televisi. Secara garis besar, program di televisi dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Program-program fiksi dan reality programs. Program fiksi dapat berupa film-film cartoon atau sitcom (film atau sinetron yang menampilkan kehidupan keluarga dengan menampilkan tokoh-tokoh fiktif). Sementara program realitas dapat berupa berita-berita, dokumen-dokumen (seperti acara ABRI, keindahan alam, kreasi kerajinan dan sebagainya), memasak, olah raga, dan acara hiburan (musik) secara live. Umat Islam dapat mengisi program-program televisi yang fiksi. Saat ini program-program fiksi lebih banyak menampilkan kekerasan-kekerasan. Anak-anak kita setiap hari dalam beberapa jam ditampilkan film-film cartoon yang menampilkan kekerasan. Dalam suatu laporan dari Pusat Penelitian Anak bahwa program-program televisi untuk orang dewasa jauh lebih sedikit kekerasannya dibandingkan dengan program komersial untuk anak. Ada kurang lebih 20 sampau 25 aksi kekerasan perjam diberikan kepada anak melalui cartoon, sementara 3 sampai 5 aksi kekerasan selama perjam diberikan kepada orang dewasa. Belum lagi ditambah dengan sinetron-sinetron atau film-film keluarga yang menampilkan kekerasan-kekerasan pada anak seperti sinetron ratapan anak tiri, si jamin dan si joan, joshua oh joshua, tangisan anak tiri, dan sebagainya. Demikian juga, sinetron/film remaja yang banyak menampilkan aksi-aksi kekerasan yang ditayangkan pada jam-jam tayang dimana anak-anak sulit untuk menghindar dan tidak mau beranjak dari hadapan televisi, seperti kodrat, putri cahaya, pinokio, bawang putih-bawang merah, anakmu bukan anakku, maling kundang, dan banyak lagi sinetron remaja yang sedang digandrungi seluruh station televisi. Kekerasan-kekerasan yang ditampilkan oleh televisi itu sangat berpengaruh terhadap perilaku anak-anak. Televisi akan membentuk pikiran anak-anak, terutama imagenya tentang kekerasan. Selain itu, televisi juga mampu mendistorsi jalan pikiran anak-anak tentang realitas kehidupan sehingga anak-anak mudah frustasi, kurang bersahabat, dan lebih agresif. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, diantaranya: pertama, sebelum usia tujuh tahun, anak tidak mampu menghubungkan cerita dari awal hingga akhir atau tidak memahami alur (plot) cerita. Kedua, anak lebih mengingat aksi fisiknya dibandingkan dengan percakapan-percakapan yang ada. Ketiga, sebelum usia lima tahun anak belum mampu membedkan antara hayalan dengan realita, akibatnya anak mudah sekali untuk berperilaku kekerasan. Memang harus diakui juga bahwa pada saat ini di beberapa station televisi sedang maraknya sinetron-sinetron religius. Keberadaan sinetron ini, paling tidak, dapat meramaikan syiar Islam dan sekaligus dapat meminimalisir adanya adegan-adegan kekerasan di televisi. Kita sebagai umat Islam semestinya bersyukur dan berterima kasih kepada para pengelola station televisi dan rumah produksi (production house) beserta para aktor/aktris yang terlibat dalam sinetron-sinetron religius. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang menurut penulis perlu diperbaiki dan dikembangkan di masa depan. Pertama, sinetron-sinetron yang ada pada umumnya masih berkutat pada tema-tema penebalan iman atau penghukuman Allah atas pendosa. Sayangnya, penebalan iman yang disampaikan hanya dilihat dengan kacamata hitam putih. Si pendosa mendapatkan hukuman di dunia ini, biasanya menjelang kematian atau di tempat pemakaman. Hukuman yang diberikan seakan-akan benar terjadi, padahal dalam realitas bisa jadi hal tersebut sulit ditemukan keberadaannya. Apakah benar itu sebuah hukuman Tuhan ataukah itu hanya gejala alamiah yang disebabkan oleh penyakit yang diderita oleh makhluknya. Kejadian yang belum jelas dasarnya kemudian dijustifikasi oleh seorang Ustadz tentang kebenaran cerita tersebut berdasarkan kutipan ayat atau hadits. Akibatnya penonton diarahkan pada pemahaman keagamaan yang dangkal dan akal yang diberikan Tuhan tidak difungsikan secara kritis dan analitis. Kedua, ada sebagian sinetron yang bersifat sinkretis (penggabungan unsur mistik dengan unsur agama), terkadang unsur mistiknya lebih kuat. Sinetron semacam ini sulit untuk dikatakan bisa menebakan iman seseorang, justru dapat membawa seseorang kepada jurang kemusyrikan. Banyak cerita-cerita aneh yang sulit diterima secara logika atau nalar kritis seorang manusia. Dalam ajaran Islam, aktivitas-aktivitas yang berbau mistik (magic) dilarang dalam Islam, karena hal tersebut dapat menimbulkan kemusyrikan. Ketiga, terkadang penonton televisi dipamerkan dengan akting dari para aktor/aktris sinetron religius yang begitu bagus keislamannya. Tetapi di tempat yang sama penonton juga dipamerkan oleh aktor/aktris sinetron religius dengan perilaku yang justru bersebrangan dengan apa yang dimainkan. Dalam ungkapan lain, si aktor/aktris dalam sinetron religius bisa jadi Ustadz, tetapi di luar sinetron bisa jadi “penjahat” atau bisa mengotori ajaran agama itu sendiri. Jadi masih banyak aktris/aktor yang hanya memenuhi tuntutan pasar atau rating saja. Mereka belum menjadikan apa yang diperankannya itu sebagai ekspresi keimanannya sebagai seorang muslim dalam mengembangkan seni. Bertitik tolak dari urain di atas, peluang besar menantang kita sebagai umat Islam untuk mengisi kekosongan-kekosongan atau kelemahan-kelemahan yang ada. Film-film fiksi (cartoon) anak-anak yang membawa nuansa sejuk, penuh pendidikan dan memiliki nilai-nilai keagamaan menjadi lahan empuk untuk dikembangkan. Begitu juga, film-film/sinetron-sinetron keluarga yang bertitik tolak dari realitas dan mampu membangkitkan semangat untuk berusaha keras serta jauh dari aksi-aksi kekerasan. Berkaitan dengan sinetron religius, masih banyak tema-tema yang bisa diangkat ke permukaan dan relevan dengan realitas umat Islam. Kehidupan sosial keagamaan remaja, seorang muslim taat yang sukses berkarir dari bawah, kehidupan keberagamaan masyarakat pedesaan yang unik dan bersahaja, santri yang sukses dalam berwiraswasta, dan sebagainya. Angkatlah tema-tema yang bisa memotivasi dan menjadi contoh bagi umat Islam untuk menjadi maju dalam kehidupan dunia dengan tetap memperhatikan nilai-nilai keislaman dan buatlah alur cerita yang tidak begitu kental dengan nuansa dakwahnya. Pada prinsipnya nilai-nilai Islam menjadi warna dalam alur cerita di dalam sinetron. Itulah yang penulis maksudkan bahwa seni tidak bisa dilepaskan dengan dakwah. Dalam seni terpancar nilai-nilai Islam sehingga orang terpanggil untuk mengikuti. Demikian juga, dakwah yang sejuk dan tidak memaksa merupakan cerminan rasa estetika (seni) yang ada pada diri da’i yang bisa disalurkan melalui media atau secara langsung. Untuk terciptanya keinginan tersebut, upaya-upaya yang bisa dilakukan adalah: Pertama, merubah paradigma dakwah di masyarakat dengan cara da’i/lembaga dakwah/Perguruan Tinggi menampilkan atau mensosialisasikan aktivitas-aktivitas dakwah secara variatif sehingga pemahaman umat tentang dakwah semakin terbuka. Kedua, mengajak dan memberikan pemahaman keagamaan kepada para aktor/aktris seniman bahwa mereka adalah bagian dari umat Islam yang sedang melakukan dakwah kepada para penonton/pembacanya. Karenanya ekspresi, tutur kata dan perilakunya dapat menjadi contoh bagi masyarakat dalam menjalankan kehidupannya. Ketiga, masyarakat perlu mendapatkan pemahaman yang utuh dan mendalam tentang agama dan media massa. Mengingat antara media massa dengan agama terjadi interaksi yang kontroversial. Media massa dengan tuntutan industrialisasi bisa jadi menampilkan sesuatu yang dianggap “haram” bagi agama. Karenanya sikap selektif dan menjadi penonton/pembaca akktif (active recipient) sangat diperlukan di era informasi ini. Keempat, perlu dibentuk dan difungsikan institusi-institusi atau komunitas-komunitas/klub-klub yang concern dalam pengembangan dakwah yang menggunakan media, khususnya media elektronik. Sebenarnya sudah ada lembaga-lembaga yang concern di bidang audio-visual seperti komunitas FUN yang merupakan gabungan dari institusi-institusi: M-Screen (divisi audio-visual KAMMI), sigma (divisi audio-visual UNJ), mimazah (mahasiswa/i Islam IKJ), Mer-C, Forum Lingkar Pena, Teater Kanvas, Teater Bening, dan Lembaga seni Budaya Muhammadiyah. Lembaga-lembaga semacam ini perlu diberdayakan dan disupport oleh lembaga atau umat Islam sehingga menghasilkan karya-karya terbaik untuk pengembangan Islam. Kelima, adanya kerjasama yang baik antar lembaga/komunitas/klub yang concern pada dakwah melalui audio-visual dan juga kerjasama dengan production house yang telah memiliki reputasi dan kepedulian terhadap kemajuan bangsa serta kerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang memungkinkan untuk dilakukan. Keenam, perlu diadakan kegiatan-kegiatan pameran, lomba karya seni (produksi audio-visual), dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat memacu umat Islam untuk berpartisipasi dan berkreasi. Ketujuh, umat Islam diupayakan memiliki station televisi yang dapat mengimbangi station-station yang ada. Sebagai catatan akhir, penulis ingin menyampaikan satu rumus yang diberikan oleh Malik bin Nabi bahwa untuk tercapai peradaban masa depan yang gemilang (arah peradaban), kuncinya adalah adanya prinsip moral plus cita rasa keindahan. Prinsip moral didapat melalui unsur agama yang disebarkan melalui aktivitas dakwah dan cita rasa keindahan didapat melalui unsur seni. Keduanya dakwah dan seni dapat berkolaborasi menuju peradaban yang penuh kedamaian sesuai dengan karakter Islam itu sendiri. Oleh karena itu, dakwah yang ditampilkan melalui seni, terutama dalam bentuk film dan sinetron menjadi pilihan alternatif untuk dakwah di masa depan. Buku yang ditangan Saudara ini dapat dijadikan salah satu bahan untuk memperdalam pemahaman tentang dakwah melalui sinetron dan film. Karenanya, Penulis apresiatif terhadap karya yang ditulis oleh Saudara Zaenal Arifin. Karya ini memberi sumbangsih besar dalam pengembangan dakwah melalui film dan sinetron. Apalagi tokoh yang dibidik dalam karya ini adalah Deddy Mizwar, seorang senior, penulis, aktor, dan da’i, yang tidak asing lagi dalam dunia perfilm-an dan sinetron. Karya ini layak untuk dibaca dan dikritisi agar umat Islam dapat mengambil pelajaran untuk diterapkan dalam pengembangan dakwah dan juga bisa mencontoh tokoh yang ditulis ini dalam pengembangan dunia perfilm-an dan sinetron. Semoga.. DAFTAR PUSTAKA A. Muis, Komunikasi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1986. Hasan Hanafi, Agama Kekerasan dan Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2001. Ismail Raji al-Faruqi dan Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Bandung: Mizan, 2001. Jhon L. Esposito, Islam The Straight Path, New York: Oxford University Press, 1988. Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Mesjid, Bandung: Mizan, 2001. Leo W. Jeffres, Mass Media Process and Effects, Illinois: Waveland Press, 1986. M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Bandung: Mizan, 2000. Malik Bin Nabi, Membangun Dunia Baru Islam, Bandung: Mizan, 1994. Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Bogor: Litera Antar Nusa, 2000. Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000. S. Yunanto et al, Gerakan Militan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara, Jakarta: FES & The Ridep Institute, 2003. Thomas W. Arnold, Sejarah Da’wah Islam, Jakarta: Widjaja, 1981. Tarmizi Taher, Aspiring for the Middle Path Religious Harmony in Indonesia, Jakarta: Censis, 1997. Http://anglefire.com/television, Televisi and Violence.

No comments: