Tuesday 12 June 2012

MASYARAKAT ISLAM DAN PEMBERDAYAANNYA

Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab “syarikah” yang berarti perkumpulan. Istilah masyarakat yang berasal dari kata syarikah tersebut lebih dikenal dan begitu familiar bagi masyarakat Indonesia dibandingkan istilah Arab al-mujtama’ yang berarti masyarakat. Sementara, Naquib Alatas dan Anwar Ibrahim ketika memperkenalkan istilah masyarakat madani menggunakan istilah al-mujtama’ al-madani, bukan menggunakan istilah syarikah. Di dalam al-Qur’an, istilah masyarakat yang maknanya berhimpitan dengan kata syarikah dikenal dengan kata ummah. Ada kurang lebih 51 kali kata ummah digunakan oleh al-Qur’an dan 13 kali menggunakan kata umam. Istilah ummah/umam digunakan oleh al-Qur’an dalam dua cara: Pertama, ummah diartikan secara homonim (berdiri sendiri dan tidak berkaitan dengan arti masyarakat) yaitu waktu (QS. 11: 8), imam (QS. 16: 120), dan perilaku. Kedua, ummah dalam arti persekutuan masyarakat agama atau masyarakat Islam (QS. 43: 33). Arti kedua dari istilah ummah inilah yang dimaksudkan dengan masyarakat. Adapun definisi masyarakat, menurut Ralph Linton yang dikutip oleh Sidi Gazalba, yaitu kelompok manusia yang cukup lama hidup dan bekerjasama sehingga dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir mengenai dirinya sebagai kesatuan sosial yang mempunyai batas-batas tertentu. Sedangkan Murtadha Muthahhari mengartikan masyarakat adalah kelompok manusia yang saling terkait oleh sistem-sistem, adat istiadat, ritus-ritus dan hukum-hukum khas yang hidup bersama. Kapan masyarakat itu mulai ada di permukaan bumi ini? Jika mengacu kepada teori yang dikembangkan oleh al-Qur’an, masyarakat mulai ada dan terbentuk sejak zaman nabi Nuh as. Karena pada saat nabi Nuh sudah ada kaum atau kelompok manusia dan sudah ada syari’at (peraturan) yang menjadi pedoman dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh....” (QS. 42: 13). Menurut ajaran Islam, terbentuknya masyarakat pada zaman nabi Nuh tidak terlepas dari motivasi yang ada dalam diri manusia. Setiap individu secara fitrah (naluriah) memiliki sifat kemasyarakatan. Hal ini dapat diketahui dari realitas yang ada bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang bisa hidup sendirian dan tidak berkeinginan untuk berkelompok. Seluruh manusia pasti membutuhkan orang lain dan senantiasa berkeinginan untuk hidup berkelompok. Hidup berkelompok merupakan sifat bawaan, bukan karena keterpaksaan atau karena berdasarkan pilihan-pilihan yang dilakukan oleh individu. Dasar naluriah manusia hidup berkelompok disebabkan karena adanya perasaan badan yang membutuhkan rasa kehangatan. Laki-laki membutuhkan perempuan dan sebaliknya perempuan membutuhkan laki-laki. Dari kebutuhan tersebut lahirlah lembaga perkawinan dan pranata sosialnya. Selain itu, manusia berkumpul karena adanya usaha mencari keuntungan ekonomi atau untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum. Dari sanalah manusia pada awalnya melakukan model saling tukar menukar (barter) antara satu individu dengan individu lainnya, yang pada akhirnya terbentuk kelompok atau komunitas. Setelah adanya alat tukar berupa uang, manusia membentuk lembaga pasar dan pranata sosialnya. Al-Qur’an menjelaskan tentang kefitrahan manusia dalam membentuk kelompok seperti tertera dalam surat al-Hujurat ayat 13 ”Hai manusia, kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan seorang perempuan, dan telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Orang yang paling mulia di antara kamu ialah yang paling taqwa di antara kamu”. Dalam ayat ini ada falsafah keberadaan manusia yang diciptkan oleh Tuhan selalu hidup berkelompok-kelompok. Dengan dasar falsafah tersebut, maka hakekat dasar masyarakat adalah bersatu. Persatuan bisa berbentuk subyektif dan obyektif. Persatuan yang bersifat subyektif adalah persatuan yang didasarkan kepada agama. Dalam ajaran Islam, seluruh umat Islam adalah bersaudara, tidak mengenal batas-batas wilayah territorial, seperti tertera dalam al-Qur’an “Sesungguhnya orang mukmin adalah bersaudara” (QS. 49:10). Jika persaudaran secara subyektif tidak bisa tercapai dalam rangka bersatunya masyarakat, maka persatuan bisa dibentuk dalam kerangka persatuan yang bersifat obyektif, yakni kesatuan yang bersifat kemanusiaan. Kita berasal dari keturunan yang satu yaitu Adam dan Hawa. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 213 “manusia pada dasarnya adalah umat yang satu”. Bersatu dalam masyarakat bukan berarti tidak ada kebebasan individu, seakan-akan semuanya lebur menjadi satu seperti halnya senyawa kimiawi. Islam tetap menghargai kebebasan berpikir dan bertindak individu ketika ia bersatu dalam masyarakat. Persatuan yang dimaksud lebih pada konsep kebhinekaan dalam ketunggalan dan ketunggalan dalam kebhinekaan. Kalaupun di masyarakat terdapat perbedaan atau konflik akibat adanya gesekan dalam berinteraksi, tetapi Islam tidak menjadikan konflik sebagai tempat berangkat, sebaliknya Islam menganggap unit-unit sosial yang tampaknya berseberangan kepentingan sebagai pasangan. Konsep Islam ini berbeda dengan konsep Marxisme yang menyatakan bahwa terbentuknya masyarakat karena adanya konflik antara kaum borjuis dengan proleter yang masing-masing memperjuangkan hak-haknya masing-masing. Bertitik tolak dari hakekat masyarakat tersebut, amat disayangkan dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam manakala kegiatan dakwah yang dilakukan oleh individu atau organisasi dapat memecah belah masyarakat. Persatuan dan keharmonisan yang terdapat pada masyarakat jangan sampai dirasuki oleh kepentingan pragmatis yang berkedok agama. Memang kita tidak bisa menafikan adanya perbedaan dan konflik di masyarakat. Itu semua sudah menjadi sunnatullah. Islam disamping sebagai pedoman hidup (way of life) yang harus dipertahankan dan dibela, tetapi disisi lain Islam juga sebagai fenomena sosial. Islam tampil di permukaan dengan pelbagai macam variannya, yang diekspresikan oleh masing-masing kelompok dalam masyarakat, dimana antara satu dengan lainnya sama-sama Islam tetapi sangat mungkin berbeda dalam artikulasinya. Pada konteks inilah, kita perlu bersikap arif dan bijaksana. Dakwah-dakwah yang kita lakukan tetap berorientasi pada dakwah yang rahmatan lil ‘alamin. Kita perkuat pemahaman masyarakat secara intelektual bahwa apapun perbedaan yang ada, semua harus memiliki dasar yang dijadikan rujukan untuk berpendapat. Jika masing-masing memiliki dasar, umat Islam tidak perlu konflik dan berpecah belah, masing-masing berpegang teguh dengan landasan dasarnya. Kalaupun terlalu sulit untuk dipersatukan dan dipertemukan dalam kajian intelektual, maka perlu dibangun kesadaran bahwa kita adalah satu dan bersaudara sesama keturunan Adam atau pengikut nabi Muhammad saw. Kita tidak perlu merasa diri atau kelompoknya paling benar dan diterima Tuhan. Semua perjalanan keberagamaan kita adalah dalam rangka mencari kebenaran dan ridha Tuhan, bukan menjadi kebenaran itu sendiri atau menjadi Tuhan di dunia. Kita hanya bisa mendekat atau taqarub kepada-Nya dan berserah diri sambil berharap akan mendapatkan balasan di hari akhirat nanti. A. Prinsip-Prinsip Dasar Dalam Pengaturan Kehidupan Bermasyarakat Untuk mempersatukan masyarakat diperlukan tali pengikat yang kokoh. Secara individual, masing-masing anggota masyarakat telah dibekali oleh Tuhan sifat kemasyarakatan sebagai tali pengikatnya. Namun, tali pengikat tersebut perlu diperkuat dengan nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama atau bersumber dari Tuhan. Nilai-nilai yang bersumber dari manusia terkadang tidak mampu menghadapi gempuran daya tarik dunia yang begitu mempesona dan mudah hilang karena tidak relevan lagi dengan kehidupan. Oleh karena itu, Islam membangun masyarakatnya di atas landasan nilai-nilai yang diajarkan oleh Allah dan Rasulnya. ada beberapa prinsip-prinsip dasar dalam pengaturan kehidupan masyarakat, menurut ajaran Islam, yaitu: 1. Berporos pada keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip pertama dalam pengaturan masyarakat bertitik tolak dari konsep “inna lillah wa inna ilaihi raji’un” (sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah). Prinsip ini menjadi dasar dalam setiap gerak kehidupan manusia. Kehadiran manusia di dunia tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. Dari tidak ada menjadi ada. Artinya manusia diadakan oleh Tuhan. Begitu pula alam yang menjadi tempat tinggal manusia diciptakan Tuhan dan diatur oleh Tuhan. Dia berhak untuk meninggikan atau merendahkan ciptaan-Nya. Jika masyarakat yang ingin dibangun dapat berkembang dengan baik, maka masyarakat tersebut perlu memahami design Tuhan terhadap alam semesta dan seisinya. Manusia bisa memahami design Tuhan apabila manusia tersebut meyakini ajaran agama yang dibawa oleh utusan-Nya. Di dalam ajaran agama akan dijelaskan bagaimana manusia mengenal Tuhan, berterima kasih kepada Tuhan, mengembangkan diri, mengatur masyarakat, membangun negara dan lain sebagainya. Mengapa harus Tuhan Yang Maha Esa? Karena logika mengatakan jika satu mobil yang sama dikendarai oleh dua orang secara bersamaan akan menimbulkan konflik dan kecelakaan, satu supir ingin ke kanan dan supir yang lain ingin ke kiri. Begitu pun dengan Tuhan, jika dunia atau manusia dimiliki oleh dua Tuhan tentu akan menimbulkan konflik dan kebimbangan bagi manusia. Untuk itulah, Islam menolak umatnya apabila membuat persekutuan atau tandingan terhadap Tuhan yang diyakininya. 2. Melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Manusia yang merupakan unsur-unsur pembentuk suatu masyarakat memiliki kemerdekaan dalam berpikir dan berkehendak secara perorangan. Manusia secara individu tidak ditentukan oleh jiwa masyarakatnya, melainkan ia melestarikan haknya untuk berpikir dan bertindak. Manusia bertanggung jawab atas diri dan masyarakatnya. Setiap individu tidak boleh melakukan tindakan seenaknya atau sewenang-wenang tanpa memedulikan orang lain. Tindakan seseorang yang tidak baik pada dasarnya akan merusak individu dan masyarakatnya. Sebagai contoh, ada seorang warga di desa tertentu yang suka mabuk-mabukan dan mengganggu orang lain, maka tindakan yang dilakukan oleh orang tersebut bukan hanya merusak nama orang tersebut tetapi juga merusak nama baik warga secara keseluruhan. Oleh karena itu, dengan adanya amar ma’ruf nahi munkar akan muncul sikap saling menasehati atau saling mengingatkan antara yang satu dengan yang lainnya. Menurut Murtadha Mutahhari, konsep amar ma’ruf nahi munkar merupakan kode perilaku al-Qur’an yang mewajibkan individu untuk menyelamatkan masyarakat dari kehancuran dan kerancuan. Mengingat hukum interdependensi antara kondisi-kondisi lahiriah dan sikap moral manusia, berjalan timbal balik. Di saat-saat nilai moral itu dipegang teguh, maka kemajuan material pun akan diperoleh. Namun, bila nilai-nilai itu diabaikan, keruntuhan secara serentak pada moral dan material pasti tak terelakkan lagi. Oleh karena itu, partisipasi individu amat diperlukan dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar karena potensi berkembangnya kejahatan atau kebaikan juga bersumber dari individu-individu yang ada di masyarakat. Secara teknis, kewajiban untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar tidak ada penjelasannya dari al-Qur’an. Semuanya diserahkan kepada manusia untuk mengatur kewajiban tersebut disesuaikan dengan keadaan tempat dan waktu. Kapan dan bagaimana pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dilaksanakan tergantung pada waktu dan tempat di masing-masing wilayah. Hal yang pasti perubahan positif di masyarakat tidak mungkin tercapai kecuali bila masyarakat itu sendiri menyadari sepenuhnya pentingnya perubahan dan upaya yang sungguh-sunggug ke arah itu. Sebagai konsekuensi selanjutnya, menjadi kewajiban semua intelektual muslim untuk menempatkan persoalan kemasyarakatan sebagai bahan kajian dan analisa yang ditekuni tanpa henti, lalu menyampaikan hasil pemikiran dan analisanya itu semata-mata ia baktikan demi kemaslahatan bersama. 3. Menegakkan keadilan. Dalam setiap khutbah, khatib Jumat selalu memberikan pesan tentang arti penting bersikap adil dan ihsan (berbuat baik). Hal ini menunjukkan bahwa keadilan merupakan pilar kuat bagi terbentuknya masyarakat madani (al-mujtama’ al-madani). Tanpa keadilan yang barakar kuat di masyarakat, kesejahteraan dan kedamaian hidup di masyarakat hanyalah ilusi belaka dan menjadikan pertanyaan besar yang tiada ujung. Karenanya, pesan keadilan terus dikumandangkan minimal setiap khutbah jumat sebagai media untuk sosialisasi dimana kaum muslimin (laki-laki terutama) berkumpul untuk menunaikan ibadah shalat. Dalam realitas sosial-politik, saat ini kita dihadapkan oleh berbagai pertanyaan tentang nilai keadilan. Tatkala para penguasa di masa Orde Baru disinyalir terlibat berbagai kasus hukum dan proses pengadilan pun digelar, banyak dijumpai hal-hal yang ganjil dan menunggu keputusan yang benar-benar adil. Kasus Nazaruddin yang masih belum definitif saat ini juga sedang dinanti rakyat dan pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kasus ini juga akan berakhir dengan benar-benar adil? Adanya berbagai dugaan dan sampai pada proses tersangkanya seseorang juga tetap memberikan peluang besar terhadap pertanyaan akankah keadilan ada, atau hanya penyelesaian di bawah meja yang akan terjadi? Di luar kasus hukum, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga menyentak banyak pihak terutama apakah kenaikan tersebut akan disertai dengan peningkatan kualitas pelayanan yang selama ini masih dikeluhkan konsumen? Masyarakat hanya pada sebatas pertanyaan yang terkadang sudah “tahu sama tahu” jawabannya. Kenaikan harga BBM yang memiliki dampak cukup luas, khususnya bagi masyarakat kecil di tingkat bawah, menjadi dasar pertanyaan apakah keadilan akan terjadi atau dari kenaikan harga BBM tersebut penyalahgunaan dana kompensasi akan semakin merebak dan kedhaliman semakin menguat. Rakyat memang sudah lama diberikan tugas menunggu dan menunggu. Indonesia sebagai negara hukum dan akan selalu menghormati hokum, akankah mampu menciptakan kesadaran hukum secara universal terhadap martabat dan hak-hak asasi rakyat. Lewat hukum pengakuan sekaligus perlindungan terhadap manusia dilakukan. Untuk kepentingan tersebut, kita berharap penegak hukum dapat menjaga, mengawasi, memberi penyuluhan agar aturan hukum dipatuhi, menyidik, menuntut, mengadili, dan menghukum pihak-pihak yang melanggar hukum sesuai dengan hukum secara adil. Itulah tugas penegak hukum, polisi, jaksa, pengacara/penasehat hukum, dan hakim. Jika penegak hukum yang bertugas untuk menyebarkan keadilan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan hukum apalah jadinya negara yang kita sebut sebagai negara hokum. Wajar apabila kesengsaraan timbul di mana-mana dan bencana pun silih berganti. Sebab hukum yang diciptakan untuk mewujudkan nilai keadilan, kebenaran, ketertiban, dan sekaligus melindungi hak-hak dan martabat manusia baik secara individual maupun kolektif telah dilanggar dan dikhianati. Patut disadari bahwa hukum itu sendiri tidak selalu mampu membuat keadilan bisa terwujud, Justru, seringkali hukum melanggar keadilan itu sendiri. Demi tegaknya hukum, keadilan dapat saja dilanggar dan “diperkosa” sesuai nafsu pemegang hukum yang sering main-main dengan logikanya sendiri tanpa memperhatikan hati nurani dan keadilan sosial yang semestinya mereka pegang kuat-kuat. Jika hukum lepas dari etis-moral maka dapat dipastikan hukum akan nyaris menyerupai teknologi atau alat semata sehingga hukum bagaikan dua mata pedang yang menjaga seseorang sekaligus membunuh tergantung pada siapa yang memegangnnya. Oleh karena itu, Islam menjadikan keadilan sebagai prasyarat penting untuk membangun masyarakat. Keadilan merupakan hukum sosial yang harus dilaksanakan manakala ingin meraih kesuksesan dalam membentuk masyarakat. Keadilan dalam Islam merupakan perbuatan yang dapat mendekatkan pelakunya sebagai orang yang bertaqwa di hadapan Tuhan. Sebagaimana firman Allah “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. 5: 8). 4. Meletakkan adanya prinsip persamaan Persamaan dalam perlakuan dan pelayanan merupakan prinsip dasar dalam pembentukan masyarakat muslim. Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan pelayanan yang baik, tidak ada perbedaan antar si kaya dengan si miskin, penguasa atau rakyat jelata, berpendidikan atau tidak berpendidikan. Di mata Tuhan, semua memiliki kedudukan yang sama. Perbedaan hanya terletak pada ketaqwaan seseorang terhadap Tuhannya. Konsekuensi logis dari adanya persamaan tersebut, setiap individu di hadapan hukum memiliki kedudukan yang sama. Orang kaya atau penguasa ketika melakukan kesalahan harus mendapatkan hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya. Demikian juga, ketika orang miskin atau rakyat jelata melakukan kesalahan, tetap mendapatkan hukuman sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya. Rasulullah pernah menyatakan, apabila Fatimah anak Nabi melakukan kesalahan atau mencuri, maka beliau akan menghukum anaknya atau memotong tangannya. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah ingin menerapkan pemberlakuan yang sama dihadapan hukum bagi semua orang, tak terkecuali anak Nabi. Ada tiga alasan pokok yang menyebabkan konsep persamaan penting untuk dilaksanakan yaitu: Pertama, dengan konsep persamaan akan meminimalisir adanya konflik di masyarakat. Secara sosiologis, masyarakat dibangun di atas perbedaan-perbedaan baik secara etnis, budaya, agama dan bahasa. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut meniscayakan adanya gesekan dan konflik di masyarakat. Untuk menghindari konflik yang lebih besar, maka perlu dibangun kesadaran pada setiap individu bahwa mereka pada dasarnya sama dihadapan Tuhan. Kedua, adanya konsep persamaan akan melahirkan perlakuan hukum yang sama. Para penegak hukum akan memperlakukan sama kepada semua orang dalam menegakkan hukum. Bahkan, hukum mendapatkan penghargaan yang tinggi di hadapan masyarakat. Ketidakadilan dalam penegakan hukum salah satunya disebabkan karena para penegak hukum tidak memperlakukan sama kepada semua orang. Para penegak hukum melakukan tebang pilih dalam proses penegakan hukum. Si kaya dan penguasa lebih didahulukan, dipermudah dan bahkan dibebaskan dari jeratan hukum, sementara si miskin dan rakyat jelata dipersulit, diabaikan dan dijerat hukum secara maksimal. Ketiga, dengan adanya konsep persamaan, masyarakat akan saling tolong menolong dan saling menghargai antara satu dengan lainnya. Masyarakat sadar bahwa keberadaan mereka pada dasarnya berasal dari diri yang satu, yakni dari nabi Adam as. Perbedaan hanya terletak pada lapisan luar dan bersifat sementara. Kelebihan yang dimiliki bukanlah untuk dipamerkan dan menjadikan manusia untuk berlaku sombong. Kelebihan yang diberikan Tuhan merupakan bagian dari amanah yang harus dijalankan. Kelebihan dan kekurangan merupakan bagian dari gelombang kehidupan yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam melaksanakan pekerjaan. Tidak mungkin seorang yang diberikan kelebihan dapat berdiri sendiri tanpa ada orang yang kekurangan. Orang yang pintar tidak mungkin disebut pintar kalau tidak ada yang bodoh dan tidak ada yang diajarkan. Dengan demikian, orang yang pintar pasti membutuhkan orang yang bodoh. Sebaliknya, orang yang bodoh tidak bisa hidup sendirian dengan kebodohannya, ia pasti membutuhkan petunjuk dan arahan dari orang yang pintar dalam menjalani kehidupan yang lebih baik. Dengan adanya kesadaran akan saling ketergantungan dan persamaan tersebut akan melahirkan sikap untuk saling membantu dan saling menghargai antara sesama. 5. Mendahulukan Musyawarah Musyawarah merupakan konsep yang diajarkan al-Qur’an untuk menyelesaikan perselisihan di antara dua kelompok atau untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Musyawarah menjadi cii khas dan karakter dari masyarakat muslim. Mengedepankan musyawarah dalam berbagai hal merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh Rasulullah, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Imran (3) ayat 159:                               •     Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. Beliau sering meminta pendapat kepada para Sahabatnya ketika mengambil kebijakan di bidang sosial-kemasyarakatan. Sebagai contoh nabi meminta pendapat para Sahabat dalam menentukan lokasi pasukan muslimin dalam perang Badar. Ketika Nabi menentukan lokasi, seorang Sahabat al-Khubbab Ibn al-Mundzir bertanya “apakah tempat yang ditentukan itu telah diperintahkan Allah kepadamu atau pilihan tersebut adalah pilihanmu berdasarkan strategi perang dan tipu muslihat”. Ketika Nabi menjawab bahwa pilihan itu adalah pilihan berdasarkan pertimbangan beliau, barulah al-Khubbab menyarankan lokasi lain, yang ternyata disetujui oleh Nabi saw. Ada beberapa sikap yang diajarkan oleh al-Qur’an bagi mereka yang mau melaksanakan musyawarah yaitu: Pertama, seorang yang melakukan musyawarah, yang pertama harus dihindari adalah tutur kata yang kasar dan sikap keras kepala. Kedua, memberi ma’af dan membuka lembaran baru. Dalam musyawarah seringkali terjadi perbedaan pendapat, terkadang ada kalimat-kalimat yang dapat menyinggung perasaan atau ada perlakuan yang dinilai tidak wajar. Pada konteks inilah peserta musyawarah harus menyiapkan mental untuk senantiasa membuka pintu ma’af. Ketiga, permohonan ampunan dari Tuhan, disertai dengan tindakan bertawakkal kepada Allah swt. Sikap itulah yang perlu terus dikembangkan dan ditanamkan kepada setiap umat Islam dalam menjalankan musyawarah. Musyawarah merupakan diskusi bersama, bukan meminta pendapat dari orang-orang yang dianggap bijak dan memiliki segudang kearifan. Dengan diskusi bersama akan ada berbagai masukan dan alternatif dalam memecahkan berbagai persoalan. Kemudian keputusan yang diambil pun tidak berdasarkan kepentingan satu orang atau sekelompok orang, melainkan pada kepentingan dan kebutuhan bersama. 6. Memberikan ruang kebebasan Praktek yang dilakukan oleh Rasulullah dalam memberikan kebebasan kepada warganya dalam memeluk agama dan menyampaikan pendapat, telah terdokumentasikan dengan baik dalam Piagam Madinah. Piagam Madinah merupakan bukti historis bahwa Islam telah berhasil membentuk masyarakat kota dan masyarakat yang beradab. Keberhasilan yang dilakukan oleh Rasulullah telah menginspirasikan kepada generasi berikutnya untuk mengembangkan model masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah. Model tersebut kemudian diperkenalkan oleh Naquib Alatas, seorang intelektual dari Malaysia, dengan istilah al-mujtama’ al-madani (masyarakat madani), yang sekarang ini menjadi gerakan dan cita-cita dalam membangun masyarakat. Salah satu karakter dari masyarakat madani adalah adanya free public sphere, yakni adanya ruang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Jika ruang bebas tersebut tersumbat, maka kebebasan tidak akan tercipta dan masyarakat akan mengalami kesulitan dalam menyalurkan aspirasinya. Kebebasan yang diberikan Islam kepada masyarakatnya tetap berada pada koridor kebenaran dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Jika kebebasan yang diberikan tersebut dipergunakan untuk berbuat kemaksiatan dan dosa, maka Islam tidak memberikan toleransi. Kemudian, dalam menyalurkan kebebasan pun tidak diperkenankan manakala dilakukan secara anarkis dan radikal. Islam mengajarkan untuk menyampaikan aspirasinya dalam konteks hikmah dan penuh kedamaian. 7. Adanya sikap tanggung jawab sosial Al-Qur’an meletakkan dasar-dasar yang menjamin tanggung jawab bersama atas setiap orang dengan memerhatikan kemampuan masing-masing, apakah kontribusi tersebut dalam bentuk pekerjaan maupun intelektual. Di dalam al-Qur’an Allah menyatakan “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya” (QS. 2: 215). Dasar-dasar yang diletakkan oleh al-Qur’an tersebut diperkuat oleh hadits Nabi yang menyatakan bahwa “Sebaik-baik manusia adalah orang yang dapat memberikan kemanfaatan pada orang lain”. Memberikan kemanfaatan pada orang lain dapat berupa pemberian nafkah kepada keluarga, membayar pajak, zakat, pelayanan jasa, dan bisa juga melakukan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya merupakan wujud dari tanggung jawabnya untuk mengembalikan sebagian dari apa yang telah diberikan masyarakat kepadanya. Bagaimana pun upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam meraih kesuksesan, pasti tidak bisa dilepaskan dari peran masyarakat dalam mendukung kesuksesan orang tersebut. Sebagai wujud dari rasa terima kasihnya kepada masyarakat, maka setiap individu dapat bertanggung jawab kepada masyarakatnya. B. Pemberdayaan Masyarakat Konsep pemberdayaan sudah lahir sejak revolusi industri atau bahkan ada juga yang menyebut sejak lahirnya Eropa modern pada abad ke-18 atau zaman renaissance, yaitu ketika orang mulai mempertanyakan determinisme keagamaan. Kemudian konsep pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang mulai mempertanyakan makna pembangunan. Di Eropa, wacana pemberdayaan muncul ketika industrialisasi menciptakan masyarakat penguasa, faktor produksi dan masyarakat pekerja yang dikuasai. Sedangkan di negara-negara sedang berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disintegrasi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumber daya alam, dan alienasi masyarakat dari faktor produksi oleh penguasa. Pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun sebagai kerangka logik: Pertama, proses pemusatan kekuasaan pembangunan dari pemusatan penguasaan faktor produksi. Kedua, pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran. Ketiga, kekuasaan akan membangun bangunan atas dasar sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif, untuk memperkuat legitimasi. Keempat, Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum sistem politik, dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan disisi lain masyarakat yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless). Berdasarkan penelitian kepustakaan, proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses pemberian atau pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kecenderungan pemberdayaan jenis ini disebut kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Kedua, kecenderungan pemberdayaan yang dipengaruhi oleh karya Paulo Freire yang memperkenalkan istilah conscientization (penyadaran). Konsientisasi merupakan suatu proses pemahaman situasi yang sedang terjadi sehubungan dengan hubungan-hubungan politik, ekonomi, dan sosial. Seseorang menganalisis sendiri masalah mereka, mengidentifikasi sebab-sebabnya, menetapkan prioritas dan memperoleh pengetahuan baru. Dalam spektrum ini, pemberdayaan identik dengan kemampuan individu untuk mengontrol lingkungannya. Kesadaran kritis dalam diri seseorang dapat dicapai dengan cara melihat ke dalam diri sendiri serta menggunakan apa yang didengar, dilihat dan dialami untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam kehidupannya. Dalam arti sempit pemberdayaan berkaitan dengan sistem pengajaran profesional yang memiliki standar sesuai dengan kebutuhan kerja. Menurut Isbandi Rukminto Adi bahwa pemberdayaan atau pengembangan masyarakat lahir dari tradisi ilmu pendidikan dan bidang pekerjaan sosial. Mereka meyakini bahwa dalam pengalaman bangsa Inggris, pengembangan masyarakat merupakan perkembangan dari pendidikan massa atau pendidikan masyarakat (community education). Sedangkan dalam arti luas pemberdayaan merupakan sebuah proses yang mendorong masyarakat untuk mengkonstruksi sebuah makna dan pengalaman baru tentang kebebasan yang mereka pilih. Selanjutnya Robinson memperjelas konsep pemberdayaan dengan mengemukakan bahwa empowerment is a personal and social process, a liberating sense of one’s own strengths, competence, creativity and freedom of action, to be empowered is to feel power surging into one from other people and from inside, specially the power to act and growth, to become in Paulo Freire’s term “more fully human”. Untuk memahami lebih jauh, proses pemberdayaan atau pengembangan masyarakat. Berikut ini akan penulis uraikan tiga teori yang ada dalam ilmu Sosiologi, yaitu teori struktural fungsional, teori konflik, dan teori kritis. Ketiga teori tersebut, meskipun sudah lama dan banyak mendapatkan kritik dari para Sosiolog Modern, tetapi pengaruh teori tersebut masih dirasakan dan dapat diterapkan dalam menganalisis masyarakat pada masa sekarang. Masih banyak teori-teori Sosiologi lain yang dapat digunakan untuk menganalisis perkembangan masyarakat di era modern ini, seperti teori strukturasi yang dikembangkan oleh Anthony Giddens, teori Mcdonaldization yang dikembangkan oleh Ritzer, dan lain sebagainya. Namun, dengan keterbatasan waktu dan pemahaman yang penulis miliki, maka pada kesempatan ini, penulis tidak menguraikan teori-teori tersebut. Teori struktural fungsional merupakan salah satu teori utama dalam Sosiologi yang dipengaruhi oleh pemikiran Emile Durkheim (1858-1917) dan dikembangkan secara sistematis oleh Talcott Parsons. Ada dua asumsi dasar yang digunakan oleh teori struktural fungsional: Pertama, masyarakat terbentuk atas sub struktur-sub struktur yang dalam fungsi-fungsi mereka masing-masing saling bergantung sehingga perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi satu sub struktur dengan sendirinya akan tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam substruktur-substruktur lainnya pula. Oleh karena itu, tugas analisis sosiologis adalah menyelidiki kenapa yang satu mempengaruhi yang lain, dan sampai sejauhmana perubahan tersebut bisa berpengaruh pada yang lainnya. Kedua, setiap sub struktur yang telah mantap berfungsi sebagai penopang aktivitas-aktivitas atau substruktur-substruktur lainnya dalam suatu sistem sosial. Contoh-contoh substruktur-substruktur ini dalam masyarakat adalah keluarga, perekonomian, politik, agama, pendidikan, hukum dan lain sebagainya. Setiap substruktur dilestarikan oleh peranan-peranan yang dimainkan oleh orang-orang dalam status mereka masing-masing di dalam substruktur-substruktur ini. Akhirnya, peranan-peranan ini tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan memahami aturan-aturan yang tercipta berkat konsensus umum masyarakat. Selanjutnya, prinsip dasar tersebut dikembangkan oleh Talcott Parsons dalam menganalisis terjadinya proses perubahan di masyarakat. Menurutnya, ada empat jenis proses perubahan: pertama, proses keseimbangan yang mengacu pada proses yang membantu mempertahankan batas-batas sistem. Proses ini mungkin statis atau dinamis. Di dalam dua jenis keseimbangan ini proses berlangsung terus, hanya saja dalam keseimbangan dinamis terdapat proses perubahan yang sudah terpola. Kedua, perubahan struktural dalam suatu sistem sosial adalah perubahan dalam kultur normatif sistem sosial bersangkutan. Ketiga, diferensiasi struktural, proses ini menimbulkan perubahan di dalam subsistem, tetapi tidak mengubah struktur sistem sosial secara keseluruhan. Keempat,evolusi masyarakat yakni proses yang melukiskan pola perkembangan masyarakat sepanjang waktu. Berdasarkan uraian di atas dengan mengutip pendapat Van Den Berghe bahwa ada tujuh ciri-ciri umum yang dimiliki oleh teori struktural fungsional yaitu: 1. Masyarakat harus dianalisis sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari berbagai bagian yang saling berinteraksi. 2. Hubungan yang ada bisa bersifat satu arah atau hubungan yang bersifat timbal balik. 3. Sistem sosial yang ada bersifat dinamis, dimana penyesuaian yang ada tidak perlu banyak merubah sistem sebagai satu kesatuan yang utuh. 4. Integrasi yang sempurna di masyarakat tidak pernah ada, oleh karenanya di masyarakat senantiasa timbul ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan. tetapi ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan ini akan dinetralisir lewat proses pelembagaan. 5. Perubahan-perubahan akan berjalan secara gradual dan perlahan-lahan sebagai suatu proses adaptasi dan penyesuaian. 6. Perubahan merupakan hasil penyesuaian dari luar, tumbuh oleh adanya diferensiasi dan inovasi. 7. Sistem diintegrasikan lewat pemilikan nilai-nilai yang sama. Dengan mengacu kepada teori tersebut, maka perubahan pada individu tidak semata-mata ditentukan oleh individu itu sendiri, melainkan ada berbagai unsur yang saling terkait. Karena, menurut teori struktural fungsional, di dalam masyarakat terdapat berbagai macam lembaga, dimana masing-masing lembaga memiliki fungsi sendiri-sendiri. Untuk menciptakan sebuah sistem sosial yang saling terkait diperlukan sebuah bangunan, dimana perilaku individu dapat dikembangkan ke dalam sistem sosial. Inilah yang kemudian oleh Talcott Parsons disebut sebagai “The Structure of Social Action”. Menurutnya, ada beberapa elemen pokok tentang konsep perilaku individu yang dapat dikembangkan ke dalam sistem sosial: Pertama, aktor sebagai individu yang didorong oleh motif dan nilai. Kedua, aktor memiliki tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, aktor memiliki berbagai cara-cara yang mungkin dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan tersebut. Keempat, aktor dihadapkan pada pelbagai kondisi dan situasi yang mempengaruhi pemilihan cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kelima, aktor dikomando oleh nilai-nilai, norma-norma dan ide-ide dalam menentukan tujuan yang diinginkan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Keenam, perilaku, termasuk bagaimana aktor mengambil keputusan tentang cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan dipengaruhi oleh ide-ide dan situasi kondisi yang ada. Dalam perkembangan sejarah berikutnya, teori fungsional struktural mendapatkan kritikan dari teori konflik yang berakar dari teori Karl Marx (1818-1883). Kemudian teori konflik berkembang pada pertengahan abad ke-20 yang dikembangkan oleh ahli Sosiologi Jerman, Max Weber (1864-1920) dan Georg Simmel (1858-1918). Beberapa tokoh terkenal lain yang ikut mengembangkan teori konflik adalah Ralf Dahrendrof, Lewis Coser, Randall Collin dan lain sebagainya. Ada beberapa asumsi yang dikembangkan oleh teori konflik, yaitu: Pertama, manusia sebagai makhluk hidup memiliki sejumlah kepentingan paling dasar yang mereka inginkan dan berupaya untuk mendapatkan kepentingan tersebut. Kedua, kekuasaan mendapatkan penekanan sebagai pusat hubungan sosial. Kekuasaan bukan hanya merupakan sesuatu yang langka dan tidak terbagi secara merata, sehingga merupakan sumber konflik, tetapi juga pada hakekatnya kekuatan itu bersifat pemaksaan. Ketiga, ideologi dan nilai-nilai dipandang sebagai suatu senjata yang digunakan oleh kelompok-kelompok yang berbeda dan mungkin bertentangan untuk mengejar kepentingan mereka sendiri. Ideologi dan nilai sama sekali bukan merupakan sarana untuk mencapai integrasi dan mengembangkan identitas sautu bangsa. Berdasarkan asumsi tersebut, teori konflik memandang masyarakat sebagai arena pertarungan dalam memperebutkan kekayaan, kekuasaan dan prestise antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Mengapa demikian? Menurut Randall Collin, setiap individu ingin memiliki kekayaan, kekuasaan dan prestise. Dalam usaha memiliki hal-hal tersebut, tidak ada individu yang mau mengalah secara sukarela. Berdasarkan hal tersebut, dalam masyarakat akan senantiasa ada konflik sosial. Ditambah lagi, karena kekuasaan dan prestasi merupakan barang langka, sedangkan kekuasaan dan prestasi terkait erat dengan kekayaan, maka setiap individu senantiasa ingin mendapatkan bagian kekayaan yang lebih banyak daripada yang dimiliki orang lain. Konflik-konflik yang timbul sebagai akibat perebutan kekayaan, kekuasaan dan prestise dapat terjadi dalam pelbagai bentuk. Manfaat apa yang bisa diambil dari teori konflik bagi pengembangan masyarakat? secara sepintas memang teori konflik kurang memberikan manfaat bagi pengembangan masyarakat, tetapi teori konflik dapat memberikan pemahaman bagi kita bahwa di dalam masyarakat tidak sunyi dari konflik. Karena menurut Dahrendrof, masyarakat memiliki dua wajah, yaitu konflik dan konsensus. Masyarakat tidak mungkin ada tanpa konflik dan konsensus, yang merupakan prasyarat bagi masing-masing. Jadi, kita tidak mungkin berkonflik kecuali telah terjadi konsensus sebelumnya. Konflik juga diperlukan untuk mendorong perubahan dalam struktur sosial. Tatkala konflik semakin intens, perubahan yang terjadi pun makin radikal. Perubahan dalam masyarakat merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar. Seperti halnya teori struktural fungsional yang mendapat kritik, teori konflik pun tidak terlepas dari berbagai kritik karena mengandung kelemahan-kelemahan. Teori konflik dalam pembahasannya terlalu makro sehingga kurang memberikan pemahaman tentang pikiran dan tindakan individu. Begitu juga teori konflik dikritik karena mengabaikan adanya keteraturan dan stabilitas serta berideologi radikal Teori konflik mendapatkan kritikan dari teori kritis, terutama yang dikembangkan oleh Jurgen Hubermas yang mengembangkan teori tindakan komunikatif. Menurut Thomas McCharty, ada tiga tujuan teori tindakan komunikatif yang dikembangkan oleh Habermas, yaitu: 1. Mengembangkan konsep rasionalitas yang tidak lagi terikat oleh premis-premis subjektif filsafat modern dan teori sosial. 2. Mengkonstruksi konsep masyarakat dua level yang mengintegrasikan dunia kehidupan dan paradigma sistem. 3. Membuat sketsa tentang modernitas yang menganalisis patologi-patologinya dengan suatu cara yang lebih menyarankan adanya perubahan arah daripada pengabaian proyek pencerahan. Kritik Habermas terhadap teori konflik, khususnya berkaitan dengan konsep materialisme sejarah Marx melahirkan teori tentang perkembangan masyarakat. Ia menjelaskan bahwa masyarakat pada hakekatnya komunikatif dan yang menentukan perubahan sosial bukanlah semata-mata perkembangan kekuatan produksi atau teknologi, melainkan proses belajar dalam dimensi praktis etis. Dalam bahasa yang lain, perubahan masyarakat banyak ditentukan oleh komunikasi sosial yang berakar pada kehidupan sosial yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan dalam sejarah kehidupan manusia. adanya konsep komunikasi sosial inilah, teori kritis yang dikembangkan oleh Jurgen Hubermas masih banyak dipakai dalam menganalisis perubahan masyarakat pada era informasi sekarang ini. Jika konsep pemberdayaan atau pengembangan masyarakat tersebut di atas dikaitkan dengan ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an, banyak ayat yang membahasnya, diantaranya: pentingnya kemampuan dan kesadaran individu untuk melakukan perubahan diri (QS. 13: 11), membebaskan manusia dari berbagai belenggu kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan (QS. 3:110), jangan meninggalkan generasi yang lemah (QS. 4: 9), memperhatikan kaum dhuafa (QS. 107: 1-7), mengatasi masalah kemiskinan (QS. 90: 12-16), dan lain sebagainya. Konsep-konsep yang berbasis teologis tersebut perlu dijabarkan lebih lanjut dalam konteks yang lebih sosiologis atau memenuhi sasaran masyarakat yang menjadi lahan dakwah. Siapa dan apa kriteria orang yang disebut dhuafa, strategi apa yang digunakan dalam membebaskan kemiskinan, bagaimana cara agar umat islam tidak meninggalkan generasi yang lemah, perubahan seperti apa yang diharapkan oleh Islam, siapa saja yang terlibat dalam melakukan proses pemberdayaan, dan lain sebagainya. Semua pertanyaan tersebut menjadi pekerjaan rumah para da’i atau aktivis Islam dalam menjabarkan pemberdayaan masyarakat yang lebih nyata di masing-masing wilayah dan tempat yang bisa jadi berbeda-beda.

No comments: